Air Mata Ya Lal Wathan dari Jantung Kota Mekkah

Kamis, 07 Juli 2022 - 11:10 WIB
loading...
Air Mata Ya Lal Wathan...
Wakil Bendahara PBNU Nuruzzaman. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
JAKARTA - Nuruzzaman
Wakil Bendahara PBNU

ORANG-ORANGbersarung, berbaju batik, dan berkopiah hitam bercampur dengan mereka yang berbaju dan bersurban putih. Semuanya membaur dan saling bertegur sapa. Sebagian bergerombol di teras depan sambil merokok. Sebagian langsung memasuki hotel dan naik ke lantai atas melalui lift. Begitu keluar dari lift di lantai R, langsung terdengar suara gemuruh orang-orang beristighatsah. Suasananya persis dengan suasana acara-acara NU yang biasa kita temui di Indonesia.

Ya, itu memang acara pertemuan NU internasional yang diselenggarakan Pengurus Cabang Internasional Nahdlatul Ulama (PCI NU) Arab Saudi. Acara ini rutin diselenggarakan di setiap musim haji. Acara ini mempertemukan orang-orang NU dari berbagai penjuru dunia yang sedang berhaji. Tidak hanya para pengurus NU, jamaah haji yang merasa sebagai orang NU pun banyak yang datang, terutama mereka yang pemondokannya dekat dengan lokasi acara.

Acara kali ini bertempat di Hotel Arkan Bakkah 2 di wilayah Mahbas Jin. Hotel ini hanya berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Masjidilharam. Melalui terowongan di bawah gunung batu, Anda hanya butuh waktu tujuh menit pakai mobil untuk sampai ke lokasi paling suci bagi umat Islam. Bisa dikatakan, acara ini dilaksanakan di jantung Kota Mekkah.

Seperti biasa di acara-acara NU, setelah pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, acara dilanjutkan dengan menyanyikan Indonesia Raya yang disambung dengan lagu Ya Lal Wathan. Semua hadirin berdiri. Di sinilah suasana yang awalnya biasa berubah menjadi terasa heroik bercampur syahdu.

Saya mungkin sudah ratusan kali melantunkan lagu Ya Lal Wathan. Tapi baru kali ini saya menyanyikannya sambil menahan air mata. Saya tahu orang-orang di sekitar saya juga mengalami hal yang sama. Bahkan ada yang sampai tidak kuat menahan tangisnya. Suasana menjadi syahdu di tengah hentakan birama 1-2.

Di jantung Kota Mekkah ini, kami berkumpul, berdiri bersama dan mengikrarkan kecintaan kami terhadap Tanah Air tercinta Indonesia. Bait-bait lagu itu membangkitkan gemuruh di dada. Ketika mulut kami lantang menyanyikannya, semangatnya menjalari sekujur tubuh. Tiba-tiba lisan kami tak sanggup melafalkannya karena huruf-hurufnya tersangkut di kerongkongan bercampur isak tangis. Mata kami memerah menahan air mata. Mata ini telah berubah menjadi telaga.

Di saat banyak orang menjadikan Islam Arab Saudi sebagai dalih untuk mendelegitimasi Islam yang tumbuh dan berkembang di atas bumi Nusantara, kami di sini menyempurnakan Islam kami dengan berhaji, dan pada saat yang sama berkumpul membaca tahlil dan melantunkan shalawat. Di saat banyak orang yang ketaatan kepada Islam membawanya kehilangan cinta terhadap Indonesia, di sini kami menziarahi Ka'bah sambil tetap memeluk erat cinta kami pada Tanah Air.

Kami membayangkan, bagaimana kiai kami, Kiai Abdul Wahab Chasbullah, yang menimba ilmu di Mekkah, ketika pulang ke Tanah Air tidak berdakwah untuk melenyapkan Indonesia atas nama Islam. Tapi sebaliknya, keislamannya justru menguatkan kecintaannya kepada Indonesia. Mari resapi kembali syair yang digubahnya: "Pusaka hati wahai Tanah Airku; Mencintamu adalah bagian dari imanku; Jangan biarkan nasibmu; Bangkitlah, hai bangsaku! Indonesia negeriku; Engkau adalah panji martabatku; Siapa yang datang mengancammu akan hancur di bawah keperkasaanmu".

Hati siapa yang tidak bergetar ketika lagu itu dinyanyikan bersama di jantung Kota Mekkah. Mata siapa yang sanggup tak berkaca-kaca. Lagu ini bukan diciptakan oleh seorang komponis. Lagu ini diciptakan seorang kiai lulusan Mekkah di tahun 1916, 12 tahun sebelum para pemuda nasionalis menggelar Kongres Pemuda dan mengikrarkan Sumpah Pemuda yang legendaris itu.

Ya Lal Wathan bergemuruh di sebuah hotel di jantung Kota Mekkah. Hati kami menggemuruh dalam syahdu, menyadari betapa kuatnya cinta kami kepada Tanah Air. Tak pernah sedikit pun kami melepas cinta ini karena ia menjadi bagian dari iman kami.

Tangis ini bukan tangis kesedihan, tapi menyadari bahwa sejauh apa pun kami meninggalkan Indonesia, dia ada di sini, di dada ini. Semangat ini bergetar bersama debaran iman menyonsong ibadah wukuf di bawah teriknya matahari Padang Arafah.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1459 seconds (0.1#10.140)