Backlog Rumah Perlu Solusi Tepat
loading...
A
A
A
MEMILIKI rumah menjadi impian setiap orang. Namun hingga saat ini nyatanya masih banyak masyarakat yang belum dapat memiliki rumah. Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk mengatasi tingginya angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) rumah di Indonesia.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta. Jumlah tersebut juga belum termasuk pertumbuhan keluarga baru yang diperkirakan sekitar 700.000-800.000 per tahun. Padahal sebelumnya sering disampaikan pemerintah bahwa angka backlog rumah “hanya” 11,4 juta.
Kebutuhan penyediaan rumah bagi masyarakat ini bisa dipenuhi sekitar 40% oleh private sector, sedangkan yang berasal dari intervensi pemerintah hanya sekitar 20%. Sisanya, yaitu sebanyak 40%, tidak dapat terpenuhi sehingga dengan itu disebut dengan backlog.
Dari jumlah yang belum terpenuhi tersebut, 40% mampu membeli rumah tetapi perlu ada bantuan pemerintah berupa subsidi dan 20% lainnya sama sekali tak mampu memiliki rumah.
Tentunya bila tidak ada solusi yang tepat, selisih kebutuhan masyarakat tersebut akan terus menumpuk hingga ke tahun-tahun selanjutnya. Kalau setiap tahun dibutuhkan sekitar 1 juta rumah dan hanya 60% yang bisa dipenuhi baik dari private maupun intervensi pemerintah, akan selalu ada backlog.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menargetkan pembangunan 5 juta unit rumah dalam waktu lima tahun, yaitu periode 2020-2024. Pemerintah akan terus meningkatkan jumlah rumah tangga yang dapat menghuni rumah layak dari 56,75% menjadi 70% pada 2020-2024.
Pada 2022, Kementerian PUPR menyediakan beberapa program bantuan pembiayaan perumahan, seperti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp23 triliun untuk 200.000 unit rumah, mengadakan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp888,46 miliar untuk 22.586 unit rumah, serta memfasilitasi pembiayaan perumahan melalui BP Tapera sebesar Rp9,81 triliun untuk 109.000 unit rumah.
Sejak 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melaksanakan Program Sejuta Rumah guna mengatasi kelangkaan atau backlog perumahan nasional. Adapun realisasi program itu sejak 2015 hingga 2021 mencapai 6,87 juta unit rumah. Kendati demikian, program Sejuta Rumah juga ternyata belum bisa mengurangi backlog rumah.
Pemenuhan kebutuhan tempat tinggal masih menjadi salah satu masalah bagi Indonesia. Hal ini diperparah dengan semakin mahalnya harga properti akibat lahan yang sempit di daerah perkotaan yang masih menjadi tempat utama bagi masyarakat dalam mencari nafkah.
Tingginya proses urbanisasi atau perpindahan masyarakat dari desa ke kota merupakan dampak dari ekonomi Indonesia yang sejauh ini bisa tetap tumbuh tinggi. Namun pertumbuhan urbanisasi yang cukup tinggi juga menjadi ancaman ekonomi bisa tetap tumbuh secara berkelanjutan, terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal.
Apa implikasinya kalau tidak diselesaikan? Kita akan melihat urbanisasi di Indonesia adalah urbanisasi yang tidak terstruktur sehingga masyarakat makin banyak yang tinggal di tempat yang kumuh, dan makin sulit pula mengaturnya.
Kota-kota besar dan menengah di Indonesia nanti akan mengalami persoalan yang sama apabila kita tidak mampu menyelesaikan dan melakukan response policy mulai dari sekarang. Masalah backlog perumahan tidak akan berhenti karena setiap tahun angkanya akan terus bertambah.
Baca Juga: koran-sindo.com
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta. Jumlah tersebut juga belum termasuk pertumbuhan keluarga baru yang diperkirakan sekitar 700.000-800.000 per tahun. Padahal sebelumnya sering disampaikan pemerintah bahwa angka backlog rumah “hanya” 11,4 juta.
Kebutuhan penyediaan rumah bagi masyarakat ini bisa dipenuhi sekitar 40% oleh private sector, sedangkan yang berasal dari intervensi pemerintah hanya sekitar 20%. Sisanya, yaitu sebanyak 40%, tidak dapat terpenuhi sehingga dengan itu disebut dengan backlog.
Dari jumlah yang belum terpenuhi tersebut, 40% mampu membeli rumah tetapi perlu ada bantuan pemerintah berupa subsidi dan 20% lainnya sama sekali tak mampu memiliki rumah.
Tentunya bila tidak ada solusi yang tepat, selisih kebutuhan masyarakat tersebut akan terus menumpuk hingga ke tahun-tahun selanjutnya. Kalau setiap tahun dibutuhkan sekitar 1 juta rumah dan hanya 60% yang bisa dipenuhi baik dari private maupun intervensi pemerintah, akan selalu ada backlog.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menargetkan pembangunan 5 juta unit rumah dalam waktu lima tahun, yaitu periode 2020-2024. Pemerintah akan terus meningkatkan jumlah rumah tangga yang dapat menghuni rumah layak dari 56,75% menjadi 70% pada 2020-2024.
Pada 2022, Kementerian PUPR menyediakan beberapa program bantuan pembiayaan perumahan, seperti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp23 triliun untuk 200.000 unit rumah, mengadakan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp888,46 miliar untuk 22.586 unit rumah, serta memfasilitasi pembiayaan perumahan melalui BP Tapera sebesar Rp9,81 triliun untuk 109.000 unit rumah.
Sejak 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melaksanakan Program Sejuta Rumah guna mengatasi kelangkaan atau backlog perumahan nasional. Adapun realisasi program itu sejak 2015 hingga 2021 mencapai 6,87 juta unit rumah. Kendati demikian, program Sejuta Rumah juga ternyata belum bisa mengurangi backlog rumah.
Pemenuhan kebutuhan tempat tinggal masih menjadi salah satu masalah bagi Indonesia. Hal ini diperparah dengan semakin mahalnya harga properti akibat lahan yang sempit di daerah perkotaan yang masih menjadi tempat utama bagi masyarakat dalam mencari nafkah.
Tingginya proses urbanisasi atau perpindahan masyarakat dari desa ke kota merupakan dampak dari ekonomi Indonesia yang sejauh ini bisa tetap tumbuh tinggi. Namun pertumbuhan urbanisasi yang cukup tinggi juga menjadi ancaman ekonomi bisa tetap tumbuh secara berkelanjutan, terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal.
Apa implikasinya kalau tidak diselesaikan? Kita akan melihat urbanisasi di Indonesia adalah urbanisasi yang tidak terstruktur sehingga masyarakat makin banyak yang tinggal di tempat yang kumuh, dan makin sulit pula mengaturnya.
Kota-kota besar dan menengah di Indonesia nanti akan mengalami persoalan yang sama apabila kita tidak mampu menyelesaikan dan melakukan response policy mulai dari sekarang. Masalah backlog perumahan tidak akan berhenti karena setiap tahun angkanya akan terus bertambah.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)