Pemilu 2024 di IKN
loading...
A
A
A
Khairul Fahmi
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pemilu Fakultas Hukum Universitas Andalas
PADA pertengahan Februari lalu, Presiden Joko Widodo secara resmi mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). UU ini tidak hanya sebatas mengatur bagaimana kerangka pembentukan, pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus IKN, melainkan juga mengatur sejumlah dampak pembentukan IKN, salah satunya terhadap penyelenggaraan pemilu di wilayah baru tersebut. Pengaturan ini tentu sangat beralasan karena desain pemerintahan khusus IKN menyebabkan penyelenggaraan pemilu di sana akan berbeda dengan daerah lain.
Bila dibaca, UU IKN setidaknya menyinggung tiga hal berkenaan dengan pemilu. Pertama, di IKN hanya diselenggarakan pemilu nasional. Pemilu nasional dimaksud mencakup pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan anggota DPD. Kedua, dengan ditetapkannya IKN, penataan daerah pemilihan (dapil) dan alokasi kursi legislatif pusat, provinsi dan kabupaten/kota di daerah terdampak perlu dilakukan. Ketiga, KPU diberi mandat untuk menyusun dan menetapkan daerah pemilihan anggota DPR dan DPD di IKN dengan berkonsultasi bersama Otorita IKN.
Representasi Lokal
Dengan hanya melaksanakan pemilu nasional, dipastikan tidak akan ada representasi lokal di daerah khusus IKN layaknya seperti daerah khusus DKI, DIY, Aceh dan Papua. Idealnya, sebagai sebuah satuan pemerintahan daerah khusus setingkat provinsi, IKN tetap mesti memiliki lembaga representasi daerah seperti daerah khusus lainnya. Sebab, jika IKN ditempatkan sebagai satuan pemerintahan daerah, maka sesuai Pasal 18 ayat (3) UUD 1945, pemerintahan daerah memiliki DPRD sebagai lembaga representasi rakyat daerah. Hanya saja, dengan status khusus yang dilekatkan pada IKN, terdapat ruang bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan bentuk kekhususan IKN sendiri sesuai Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Sampai batas ini, ketiadaan lembaga representasi daerah yang berkonsekuensi terhadap tidak adanya pemilu tingkat daerah di IKN agaknya dapat dimaklumi.
Sebagai imbangannya, keterwakilan warga negara di IKN betul-betul harus terfasilitasi secara baik di DPR dan DPD. Sebab, berbagai kebijakan pemerintah yang berdampak bagi rakyat di daerah khusus IKN mesti atas persetujuan wakil rakyat. Sehubungan dengan itu, tidak satu pun kebijakan yang membebani rakyat seperti pungutan bersifat memaksa yang dapat diterapkan kecuali atas persetujuan rakyat sendiri.
Masalah Penataan Dapil
Sejalan dengan itu, sebagai konsekuensi logis pembentukan daerah baru, penataan dapil pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara menjadi sangat urgen dilakukan. Penataan dapil DPR dan DPD diperlukan karena wilayah yang awalnya masuk dalam Provinsi Kaltim telah dikeluarkan dan ditetapkan menjadi daerah baru setingkat provinsi. Sebagai daerah baru, IKN akan menjadi dapil sendiri dalam pengisian anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, bila hari ini terdapat delapan alokasi kursi DPR untuk dapil Kaltim, maka penataan perlu dilakukan dengan cara membagi alokasi kursi yang tersedia di Kaltim atau dengan menambah alokasi kursi DPR untuk IKN tanpa mengganggu jumlah kursi yang ada bagi Kaltim. Demikian pula dengan DPD, juga akan ada penambahan empat kursi DPD sebagai konsekuensi pembentukan daerah provinsi baru.
Kedua, penataan dapil DPRD Provinsi Kaltim juga penting dilakukan karena dengan berkurangnya wilayah provinsi juga akan berdampak terhadap pergeseran jumlah warga negara di Kaltim. Pergeseran jumlah warga akan memengaruhi keberadaan dapil dan alokasi kursi DPRD Provinsi Kaltim. Warga negara yang awalnya memiliki hak untuk memilih anggota DPRD Kaltim tidak lagi berhak memilih. Sebab, ia bukan lagi warga provinsi yang bersangkutan sehingga juga tidak lagi memiliki hak representasi di sana. Hal yang sama juga berlaku untuk dapil dan alokasi kursi bagi DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara dan DPRD Kabupaten Panajam Paser Utara, sehingga penataan dapil kabupaten juga penting dilakukan.
Sekalipun UU IKN telah memberikan kerangka penataan dapil untuk pemilu legislatif di IKN, namun apa yang diatur UU IKN masih menyisakan sejumlah persoalan. Pertama, mandat penataan dapil DPR dan DPD di IKN diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), padahal sesuai UU Pemilu, pengaturan dan penataan dapil anggota DPR dan DPD bukanlah wewenang KPU. Penataan dapil DPR dan DPD merupakan wewenang pembentuk UU, di mana dapil dan alokasi kursi dituangkan secara langsung dalam UU Pemilu.
Demikian juga dengan penataan dapil DPRD Kaltim, juga bukan wewenang KPU, tetapi ditetapkan langsung dalam UU Pemilu. Terkait hal ini, bagaimana mungkin KPU akan melaksanakan mandat Pasal 13 ayat (3) UU IKN, sementara hal yang akan dilakukan KPU bertabrakan dengan ketentuan UU Pemilu? Untuk keluar dari polemik ini, UU Pemilu perlu diubah, setidaknya terkait pengaturan dapil DPR, DPD, dan DPRD untuk provinsi Kaltim.
Kedua, terkait pelaksanaan pemilu 2024 di IKN. Ada dua alternatif kebijakan yang bisa ditawarkan. Alternatif pertama, Pemilu 2024 dilaksanakan di IKN sesuai skema yang diatur UU IKN. Pilihan ini berkonsekuensi terhadap keharusan untuk menyelesaikan penataan dapil dengan mengubah UU Pemilu dan mendata pemilih yang masih “labil” di IKN. Pilihan ini agak sedikit berat karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan sementara waktu yang tersisa menjelang Pemilu 2024 sudah semakin sempit.
Alternatif kedua, pemilu 2024 dilaksanakan di wilayah IKN namun tidak dalam posisi IKN sebagai provinsi baru. Dalam hal ini, warga negara yang tinggal di IKN tetap ikut memilih anggota DPR, DPD, DPRD Kaltim dan DPRD kabupaten setempat seperti biasa. Sebagai konsekuensinya, pemilih yang tinggal di IKN tetap didata sebagai pemilih Provinsi Kaltim. Pilihan ini mungkin lebih rasional, namun tetap memerlukan regulasi yang mengaturnya. Jika tidak diatur, ketidakpastian hak pilih warga negara di IKN akan terjadi. Pada saat yang sama, KPU juga akan mengalami kesulitan dalam menentukan status pemilih yang ada di wilayah IKN. Pilihan-pilihan ini tentu harus segera diputuskan agar pemilu di IKN tidak menyisakan masalah konstitusional hak pilih warga negara di kemudian hari.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Prabowo Mulai Berkantor di IKN 2028, Istana: Paling Lambat 2029 IKN Sudah Bisa Jadi Ibu Kota Politik
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pemilu Fakultas Hukum Universitas Andalas
PADA pertengahan Februari lalu, Presiden Joko Widodo secara resmi mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). UU ini tidak hanya sebatas mengatur bagaimana kerangka pembentukan, pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus IKN, melainkan juga mengatur sejumlah dampak pembentukan IKN, salah satunya terhadap penyelenggaraan pemilu di wilayah baru tersebut. Pengaturan ini tentu sangat beralasan karena desain pemerintahan khusus IKN menyebabkan penyelenggaraan pemilu di sana akan berbeda dengan daerah lain.
Bila dibaca, UU IKN setidaknya menyinggung tiga hal berkenaan dengan pemilu. Pertama, di IKN hanya diselenggarakan pemilu nasional. Pemilu nasional dimaksud mencakup pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan anggota DPD. Kedua, dengan ditetapkannya IKN, penataan daerah pemilihan (dapil) dan alokasi kursi legislatif pusat, provinsi dan kabupaten/kota di daerah terdampak perlu dilakukan. Ketiga, KPU diberi mandat untuk menyusun dan menetapkan daerah pemilihan anggota DPR dan DPD di IKN dengan berkonsultasi bersama Otorita IKN.
Representasi Lokal
Dengan hanya melaksanakan pemilu nasional, dipastikan tidak akan ada representasi lokal di daerah khusus IKN layaknya seperti daerah khusus DKI, DIY, Aceh dan Papua. Idealnya, sebagai sebuah satuan pemerintahan daerah khusus setingkat provinsi, IKN tetap mesti memiliki lembaga representasi daerah seperti daerah khusus lainnya. Sebab, jika IKN ditempatkan sebagai satuan pemerintahan daerah, maka sesuai Pasal 18 ayat (3) UUD 1945, pemerintahan daerah memiliki DPRD sebagai lembaga representasi rakyat daerah. Hanya saja, dengan status khusus yang dilekatkan pada IKN, terdapat ruang bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan bentuk kekhususan IKN sendiri sesuai Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Sampai batas ini, ketiadaan lembaga representasi daerah yang berkonsekuensi terhadap tidak adanya pemilu tingkat daerah di IKN agaknya dapat dimaklumi.
Sebagai imbangannya, keterwakilan warga negara di IKN betul-betul harus terfasilitasi secara baik di DPR dan DPD. Sebab, berbagai kebijakan pemerintah yang berdampak bagi rakyat di daerah khusus IKN mesti atas persetujuan wakil rakyat. Sehubungan dengan itu, tidak satu pun kebijakan yang membebani rakyat seperti pungutan bersifat memaksa yang dapat diterapkan kecuali atas persetujuan rakyat sendiri.
Masalah Penataan Dapil
Sejalan dengan itu, sebagai konsekuensi logis pembentukan daerah baru, penataan dapil pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara menjadi sangat urgen dilakukan. Penataan dapil DPR dan DPD diperlukan karena wilayah yang awalnya masuk dalam Provinsi Kaltim telah dikeluarkan dan ditetapkan menjadi daerah baru setingkat provinsi. Sebagai daerah baru, IKN akan menjadi dapil sendiri dalam pengisian anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, bila hari ini terdapat delapan alokasi kursi DPR untuk dapil Kaltim, maka penataan perlu dilakukan dengan cara membagi alokasi kursi yang tersedia di Kaltim atau dengan menambah alokasi kursi DPR untuk IKN tanpa mengganggu jumlah kursi yang ada bagi Kaltim. Demikian pula dengan DPD, juga akan ada penambahan empat kursi DPD sebagai konsekuensi pembentukan daerah provinsi baru.
Kedua, penataan dapil DPRD Provinsi Kaltim juga penting dilakukan karena dengan berkurangnya wilayah provinsi juga akan berdampak terhadap pergeseran jumlah warga negara di Kaltim. Pergeseran jumlah warga akan memengaruhi keberadaan dapil dan alokasi kursi DPRD Provinsi Kaltim. Warga negara yang awalnya memiliki hak untuk memilih anggota DPRD Kaltim tidak lagi berhak memilih. Sebab, ia bukan lagi warga provinsi yang bersangkutan sehingga juga tidak lagi memiliki hak representasi di sana. Hal yang sama juga berlaku untuk dapil dan alokasi kursi bagi DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara dan DPRD Kabupaten Panajam Paser Utara, sehingga penataan dapil kabupaten juga penting dilakukan.
Sekalipun UU IKN telah memberikan kerangka penataan dapil untuk pemilu legislatif di IKN, namun apa yang diatur UU IKN masih menyisakan sejumlah persoalan. Pertama, mandat penataan dapil DPR dan DPD di IKN diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), padahal sesuai UU Pemilu, pengaturan dan penataan dapil anggota DPR dan DPD bukanlah wewenang KPU. Penataan dapil DPR dan DPD merupakan wewenang pembentuk UU, di mana dapil dan alokasi kursi dituangkan secara langsung dalam UU Pemilu.
Demikian juga dengan penataan dapil DPRD Kaltim, juga bukan wewenang KPU, tetapi ditetapkan langsung dalam UU Pemilu. Terkait hal ini, bagaimana mungkin KPU akan melaksanakan mandat Pasal 13 ayat (3) UU IKN, sementara hal yang akan dilakukan KPU bertabrakan dengan ketentuan UU Pemilu? Untuk keluar dari polemik ini, UU Pemilu perlu diubah, setidaknya terkait pengaturan dapil DPR, DPD, dan DPRD untuk provinsi Kaltim.
Kedua, terkait pelaksanaan pemilu 2024 di IKN. Ada dua alternatif kebijakan yang bisa ditawarkan. Alternatif pertama, Pemilu 2024 dilaksanakan di IKN sesuai skema yang diatur UU IKN. Pilihan ini berkonsekuensi terhadap keharusan untuk menyelesaikan penataan dapil dengan mengubah UU Pemilu dan mendata pemilih yang masih “labil” di IKN. Pilihan ini agak sedikit berat karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan sementara waktu yang tersisa menjelang Pemilu 2024 sudah semakin sempit.
Alternatif kedua, pemilu 2024 dilaksanakan di wilayah IKN namun tidak dalam posisi IKN sebagai provinsi baru. Dalam hal ini, warga negara yang tinggal di IKN tetap ikut memilih anggota DPR, DPD, DPRD Kaltim dan DPRD kabupaten setempat seperti biasa. Sebagai konsekuensinya, pemilih yang tinggal di IKN tetap didata sebagai pemilih Provinsi Kaltim. Pilihan ini mungkin lebih rasional, namun tetap memerlukan regulasi yang mengaturnya. Jika tidak diatur, ketidakpastian hak pilih warga negara di IKN akan terjadi. Pada saat yang sama, KPU juga akan mengalami kesulitan dalam menentukan status pemilih yang ada di wilayah IKN. Pilihan-pilihan ini tentu harus segera diputuskan agar pemilu di IKN tidak menyisakan masalah konstitusional hak pilih warga negara di kemudian hari.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Prabowo Mulai Berkantor di IKN 2028, Istana: Paling Lambat 2029 IKN Sudah Bisa Jadi Ibu Kota Politik
(bmm)