BPET MUI: Sistem Khilafah Sudah Selesai, Tak Perlu Diwacanakan Lagi

Rabu, 29 Juni 2022 - 19:41 WIB
loading...
BPET MUI: Sistem Khilafah...
Ketua Badan Penanggulangan Ektremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Muhammad Syauqillah memandang bahwa sistem khilafah telah selesai sejak lama. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Ketua Badan Penanggulangan Ektremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Muhammad Syauqillah memandang bahwa sistem khilafah telah selesai sejak lama. Karena itu, tidak perlu lagi diperdebatkan implementasinya dan mewacanakan sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia.

"Kekhilafahan itu sudah berhenti di era Khulafaur Rasyidin, setelahnya muncul berbagai dinasti hingga era Usmani (Turki) yang selesai pada tahun 1923. Penggunaan terminologi khalifah juga sudah selesai (tidak perlu diperdebatkan), Usmani menggunakan kata khalifah untuk menyebut penguasa. Jadi tidak perlu lagi diwacanakan sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia," kata Muhammad Syauqillah dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/6/2022).

Kepala Program Studi Kajian Terorisme, Universitas Indonesia (UI) ini melanjutkan, Usmani sejatinya menggunakan sistem pemerintahan daulah bukan khilafah, sehingga disebut Daulah Usmaniyah bukan Khilafah Usmaniyah. Hal ini yang banyak tidak diketahui oleh para pengusung atau simpatisan Ideologi Khilafah.



"Sehingga pasca Usmani, banyak sekali wilayah yang mendeklarasikan diri sebagai negara, bangsa, baik dalam bentuk kerajaan dan sebagainya, termasuk Indonesia yang memilih sebagai negara Pancasila. Dan kita sudah selesai Pancasila itu," katanya.

Menurut Syauqi, dalam perjalanannya, Indonesia melalui para founding fathers, ulama, serta para tokoh, telah menyepakati diri sebagai darul ahdi wal syahadah atau negeri yang penuh dengan kedamaian serta darul mitsaq atau negeri kesepakatan. Sistem yang dipakai telah bersepakat dalam konteks berbangsa dan bernegara.

"Bagi yang masih mengampanyekan khilafah, perlu sadari betul bahwa para ulama terdahulu telah melakukan ijtihad, dan telah bersepakat atas rumusan dalam bernegara," kata peraih PhD Ilmu Politik dari Marmara University ini.

Islam, kata Syauqi, mengajarkan dalam konteks berbangsa bernegara. Hal-hal yang mengatur seperti kehakiman, kementerian, wilayatul qadha, serta keuangan ada dalam sejarah Islam dan merupakan produk ijtihad.

Baca juga: Wapres Tegaskan Khilafatul Muslimin Menyimpang: Harus Disetop

Untuk itu, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI ini menilai perlu ada upaya nyata dari berbagai stakeholder guna mewaspadai ideologi khilafah yang kian hari semakin massif hingga masuk pada lini-lini kehidupan masyarakat.

"Ini berkenaan dengan literasi masyarakat, tentang bagaimana sessungguhnya sejarah dan makna khilafah itu perlu dilihat, kalau ada berbagai macam versi dan sejarah sebaiknya dibaca semua dan dipertimbangkan seperti apa (kebenarannya)," kata Gus Syauqi.

Kemudian juga perlu adanya langkah atau kampanye yang berkesinambungan terkait narasi alternatif yang juga harus sesuai atau mendekati kepada bahasa dan selera konten anak muda. "Misalnya tentang terminologi kekhilafahan, terminologi khalifah, sejarah misalnya, itu kampanyenya harus simultan dan berkesinambungan," katanya.

Dari sisi pemerintah, Syauqillah juga mengharapkan adanya upaya konkret guna memotong gerak kelompok radikal pengusung khilafah melalui penguatan kontra narasi dan wacana yang didiseminasikan melalui semua lini dan sumber daya yang ada. Selanjutnya melalui penguatan regulasi.

"Mau tidak mau, hampir 90% ini berkenaan dengan ideologi dan harus direspons, tidak bisa didiamkan begitu saja. Harus ada regulasi yang jelas dan matang, artinya harus dengan memperhatikan hak-hak asasi warga negara karena ini terkait," ujar Penulis Buku Ketahanan Keluarga, Paradoks Radikalisme dalam Keluarga Indonesia ini.

Menurutnya, regulasi yang diharapkan tidak hanya penindakan hukum tegas kepada pelaku, tapi juga menyediakan metode soft approach yang berisi pola pembinaan dan deradikalisasi agar siapa pun yang pernah terjerumus dalam ideologi kontemporer tersebut dapat kembali ke pelukan NKRI.

"Kita punya penegakan hukum tapi di sisi lain kita punya soft approach, sudah lengkap sebetulnya apa yang kita punya. Ini hanya fase sampai kita bisa menciptakan regulasi yang tepat. Ini akan berjalan seiring perkembangan fenomena, hasil kajian/penelitian hingga tercipta formulasi yang tepat," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1735 seconds (0.1#10.140)