Bensin Premium, Polusi Udara,dan Penyakit Tidak Menular

Kamis, 25 Juni 2020 - 08:00 WIB
loading...
Bensin Premium, Polusi Udara,dan Penyakit Tidak Menular
Tulus Abadi
A A A
Tulus Abadi

Ketua Pengurus Harian YLKI

Di saat masyarakat sedang “euforia” melakukan kenormalan baru (New normal), tetiba menyeruak kabar (wacana) bahwa pemerintah dan PT Pertamina (Persero) akan menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di Kota Jakarta. Kendati kabar itu dibantah oleh VP Communication PT Pertamina, namun telah membuat sebagian warga Jakarta gundah-gulana. Kegelisahan mereka memang bisa dipahami, mengingat wabah virus korona telah menggergaji kemampuan ekonominya. Apalagi konsumsi bensin premium di Kota Jakarta masih signifikan (30 persenan). Wacana itu tercetus, selain bentuk kepatuhan regulasi, yakni Permen KLHK No. 20/2017 tentang emisi gas buang pada kendaraan bermotor, juga untuk penyederhanaan jenis BBM yang terlalu variatif. Itu alasan Dirut Pertamina dalam suatu acara.

Namun wacana tersebut idealnya tak menimbulkan kegelisahan. Pasalnya hal serupa sudah pernah dilakukan di Kota Jakarta (2018), bahkan waktu itu bensin premium telah dikendalikan secara ketat di seluruh Pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Sayangnya kebijakan tersebut mati suri, sebab beberapa hari menjelang mudik Lebaran (2018), Menteri ESDM (Ignasius Jonan) mewajibkan SPBU Pertamina di Pulau Jawa (termasuk Jakarta) untuk menjual kembali bensin premium. Alasannya untuk membantu pemudik dan menjaga daya beli masyarakat (alasan klise).

Selain soal kepatuhan regulasi dan tendensi untuk penyederhanaan jenis/kategori BBM, adakah hal yang lebih urgen sehingga bensin premium, pertalite dan solar harus hengkang dari Kota Jakarta?

Jika basis rujukannya aspek lingkungan, sosial ekonomi, bahkan aspek kesehatan, maka penghapusan bensin premium dari kota Jakarta adalah sebuah keniscayaan. Dari sisi lingkungan dan kualitas udara, faktanya Jakarta telah diberikan predikat sebagai satu kota terpolusi di dunia. Buktinya adalah hasil ukur oleh AQI (Air Quality Indeks) pada Juli 2019, Jakarta berposisi sebagai kota terpolusi di dunia, dengan skor 175, alias kota tidak sehat (unhealthy). Dan skor tersebut bersifat konstan (tetap), bahkan kadang mengalami kenaikan. Rentang nilai indeks kualitas udara versi AQI adalah 0 sampai dengan 500. Makin tinggi tingkat skornya, makin tinggi pula tingkat polusinya di suatu wilayah, rinciannya: kategori bagus (0-50), kategori moderat (51-100), kategori tidak sehat bagi kelompok rentan (101-150), kategori tidak sehat (151-200), kategori sangat tidak sehat (201-203), dan kategori berbahaya dengan skor 301-500.

Tingginya emisi gas buang, sektor transportasi darat menjadi penyebab utama. Hal ini dibuktikan oleh Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta, sebaran penyebab polusi di Jakarta adalah: transportasi darat (75 persen), pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen). Sangat logis sektor transportasi darat berkontribusi sangat signifikan. Sebab Penggunaan kendaraan bermotor pribadi untuk sarana mobilitas warga masih dominan, baik roda empat dan atau bahkan roda dua. Saat ini lebih dari 13 juta unit sepeda motor dan lebih dari 6 (enam) juta unit ranmor roda empat dimiliki warga Jakarta. Belum lagi ranmor warga Bodetabek yang saban harinya menggerojoki Kota Jakarta, jumlahnya tak kurang dari 1 (satu) juta orang.

Sejatinya tingginya penggunaan ranmor pribadi tidak serta merta menjadi pencemar utama secara signifikan, jika bahan bakar yang digunakan berkualitas bagus dan ramah lingkungan. Lihatlah langit udara negara-negara di Eropa yang tetap cerah membiru, karena jenis BBM yang digunakan standar Euro 6. Inilah bedanya dengan Kota Jakarta, tingginya penggunaan kendaraan pribadi, berkelindan dengan tingginya pencemaran karena jenis BBM yang digunakan berkualitas rendah dan tidak ramah lingkungan yaitu: premium, pertalite dan solar. Ketiga jenis BBM inilah yang menjadi sumber utama polutan Kota Jakarta dan Bodetabek. Ketiga jenis BBM tersebut belum memenuhi standard Euro. Bahkan bensin premium (RON 88) standar Euro 1 pun tidak lulus. Untuk memenuhi kualifikasi BBM ramah lingkungan dan memenuhi standar Euro, minimal harus RON 91 dan atau CN 51 untuk kategori diesel.

Tingginya polusi di Jakarta menimbulkan kerugian berganda yang sangat serius, baik dari sisi lingkungan, kesehatan atau bahkan kerugian ekonomi. Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebutkan bahwa 80 persen penyakit tidak menular (Non Comunicable Desease) di Kota Jakarta pemicu utamanya adalah polusi, sehingga masyarakat di Jakarta menjadi gampang sakit. Korelasi dengan hal itu Jika merujuk pada hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, membuktikan 4 dari 5 penyebab kematian terbanyak di Indonesia adalah penyakit tidak menular,yaitu stroke (21,1 persen), jantung koroner (12,9 persen), diabetes mellitus (DM) dengan komplikasi (6,7 persen), tuberkulosis (5,7 persen), dan hipertensi dengan komplikasi (5,3 persen). Jenis penyakit ini sangat tinggi prevalensinya mendera warga Jakarta. Bahkan 1,4 juta warga Jakarta adalah menderita penyakit asma. Selain karena faktor gaya hidup, aspek kualitas udara luar ruang (polusi) berkontribusi signifikan terhadap tingginya prevalensi penyakit tidak menular tersebut.

Tidak berhenti di situ saja, dampak polusi udara juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat dahsyat. Sebuah kajian mendalam oleh tim peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (2015), mengestimasikan bahwa secara nasional kerugian ekonomi akibat polusi udara mencapai Rp373,1 triliun/tahun, atau setara dengan 5,03 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Dari kerugian sebesar itu, rinciannya adalah 60,09 persen untuk biaya mortalitas (berupa kematian dini) dan 39,1 persen untuk biaya mordibitas (dengan komponen 50 persen untuk biaya perawatan rumah sakit), akibat penyakit pernafasan. Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk perawatan akibat pencemaran udara sebesar Rp1,53 juta atau 6,7 persen dari pendapatan per kapita. Ini kerugian skala nasional, namun kerugian terbesar adalah kota besar di Indonesia, terutama Jakarta dan Bodetabek. Apalagi setelah Jakarta dan Bodetabek terhubung oleh akses tol Transjawa dan Trans Sumatera, aliran ranmor pribadi menyerbu Kota Jakarta; dan dampaknya udara di Jakarta kian pekat, kian polusi.

Merujuk pada konfigurasi permasalahan tersebut, ada beberapa catatan simpulan dan saran terkait fenomena tersebut, yakni, pertama, penghapusan bensin premium di Jakarta seharusnya bukan wacana saja, alias bukan isapan jempol belaka. Sudah terlalu lama masyarakat dan lingkungan Jakarta, Bodetabek bahkan kota-kota besar di Indonesia tercemar oleh polutan bahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan dan tidak pula berkualitas. Kerugian sosial ekonominya terbukti sangat kentara. Kedua, dari sisi daya beli (ability to pay), BBM semacam premium lebih pantas untuk warga di luar Pulau Jawa, khususnya bagian timur Indonesia. Mereka lebih berhak daripada warga Jakarta. Ketiga, penghapusan bensin premium, sudah sangat mendesak, sebab jenis bensin premium dengan kadar RON 88, nyaris tidak ada lagi di dunia. Pertamina sangat kesulitan untuk mendapatkan jenis BBM seperti ini, di pasaran internasional sangat terbatas. Akibatnya Pertamina harus mengolah ulang (blending) agar sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni Perpres No. 43/2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Agar BBM memenuhi standar Euro dan kategori ramah lingkungan, cukup dengan jenis BBM dengan RON 91 (kategori bensin) dan CN 51, untuk kategori diesel. Setelah premium, pertalite dan solar dihapus, kita dorong agar Pertamina lebih transparan dan akuntabel terkait harga dasar BBM-nya. Sehingga kendati dengan RON dan CN lebih tinggi (memenuhi standard Euro dan ramah lingkungan), harganya tetap terjangkau konsumen.

Konsumen sebagai pengguna BBM harus punya tanggung jawab moral, BBM adalah energi fosil yang berdampak negatif terhadap lingkungan global. Konsumen harus punya spirit untuk menjaga dan tidak merusak lingkungan global, dengan menggunakan BBM yang ramah lingkungan dan berkualitas standar. Bagaimanapun premium/pertalite/solar adalah produk substandar yang tak layak lagi dijual/dipasarkan lagi. Warga Jakarta berhak atas kualitas udara yang sehat dan bersih, tanpa cemaran polutan dari BBM yang rendah kualitasnya. Hembusan asap hitam dari tingginya BBM yang tidak ramah lingkungan, adalah pelanggaran hak bagi seluruh warga Jakarta. Sudah saatnya Kota Jakarta menggeliat menjadi kota yang ramah, sehat dan layak ditinggali warganya. Bukan wajah kota yang angker dan tidak sehat, tersebab oleh sandaera polusi udara yang kian akut dan pekat. (*)
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0775 seconds (0.1#10.140)