Kepala BPOM: Pelabelan Bahaya Galon BPA untuk Lindungi Masyarakat
loading...
A
A
A
Draf peraturan pelabelan risiko BPA yang dipublikasi BPOM pada November 2021 antara lain mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draf juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan kurun tiga tahun sejak pengesahan.
"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan," katanya.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang menggunakan kemasan PET (Polietilena tereftalat)," katanya menyebut jenis kemasan plastik yang bebas BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang.
Sebelumnya, berbagai kalangan menyuarakan dukungan atas regulasi pelabelan risiko BPA, termasuk dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, kalangan peneliti lintas ilmu dari berbagai universitas dan DPR.
Dari Surabaya, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof Junaidi Khotib, termasuk yang mendesak BPOM segera menerbitkan aturan pelabelan risiko BPA agar masyarakat tidak terus-menurus terpapar BPA yang ada pada galon guna ulang. Saat ini, katanya, masyarakat belum lagi mengetahui bahaya besar dari paparan BPA.
"Bagaimana bisa tahu bila label peringatannya belum pernah ada," katanya.
Dukungan juga datang dari Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof Andi Cahyo Kumoro. Menurutnya, pelepasan BPA pada galon guna ulang rentan terjadi bila galon sampai tergores atau terpapar sinar matahari langsung. Efeknya, paparan BPA bisa memunculkan gangguan pada sistem saraf dan perilaku anak, sementara pada ibu hamil, bisa memicu keguguran.
"Di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA," katanya.
"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan," katanya.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang menggunakan kemasan PET (Polietilena tereftalat)," katanya menyebut jenis kemasan plastik yang bebas BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang.
Sebelumnya, berbagai kalangan menyuarakan dukungan atas regulasi pelabelan risiko BPA, termasuk dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, kalangan peneliti lintas ilmu dari berbagai universitas dan DPR.
Dari Surabaya, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof Junaidi Khotib, termasuk yang mendesak BPOM segera menerbitkan aturan pelabelan risiko BPA agar masyarakat tidak terus-menurus terpapar BPA yang ada pada galon guna ulang. Saat ini, katanya, masyarakat belum lagi mengetahui bahaya besar dari paparan BPA.
"Bagaimana bisa tahu bila label peringatannya belum pernah ada," katanya.
Dukungan juga datang dari Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof Andi Cahyo Kumoro. Menurutnya, pelepasan BPA pada galon guna ulang rentan terjadi bila galon sampai tergores atau terpapar sinar matahari langsung. Efeknya, paparan BPA bisa memunculkan gangguan pada sistem saraf dan perilaku anak, sementara pada ibu hamil, bisa memicu keguguran.
"Di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA," katanya.
(abd)