Dualisme Bursa Timah Ancaman Kedaulatan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kedaulatan bangsa adalah perjuangan yang maha penting. Itu tidak terlepas dari tujuan perjuangan untuk menyejahterakan rakyatnya sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kedaulatan juga terkait semua hasil sumber daya alam dikelola dan diproduksi untuk tujuan tersebut. Sudah seberapa jauhkah pencapaian menuju tujuan yang mulia ini dilaksakan oleh penyelenggara negara.
"Berangkat daripada tujuan ini, nurani saya menjadi terusik di tengah kondisi pandemi virus Covid-19 setelah membaca artikel mengenai kondisi bursa timah Indonesia yaitu Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) yang dibangun atas dasar kebijakan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pada bulan Agustus 2013, dengan tujuan agar Indonesia sebagai negara penghasil timah nomor dua dunia terbesar dunia dapat menjadi penentu harga timah dunia," kata pemerhati kebiajakan publik, Yoga Duwarto dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews, Senin (22/6/2020).
Yoga merujuk ucapan Gita Wirjawan kala itu, yakni untuk apa Indonesia mampu berproduksi mengolah sumber daya alam khususnya hasil timah yang sedemikian baik dan besar, kalau kemudian semua menjadi sia-sia karena hasilnya tidak memiliki manfaat besar akibat harga jualnya sangat rendah serta tidak menguntungkan bahkan merugikan pemiliknya, yaitu seluruh rakyat bangsa Indonesia.
"Ini kepentingannya bukan menurunkan harga, lho. melainkan menaikkan harga. Kalau mau menurunkan harga, jual produk yang sama di seribu pasar," ujarnya.
Dan benar setahun kemudian kebijakan ini mulai mencapai hasil yang menakjubkan, Indonesia mampu menjadi "price maker" timah dunia dan mendapat acungan dua jempol dari Menteri BUMN Dahlan Iskan atas perolehan keuntungan besar kepada negara. Dari pajak penjualan, dan berbagai keuntungan lain termasuk pada royalti.
( )
Bicara kedaulatan timah, kata dia, itu berarti bicara daya upaya agar timah Indonesia mampu mengendalikan pasar timah dunia. Timah Indonesia bisa menjadi acuan harga timah dunia, termasuk tentunya memindahkan penimbunan barang ekspor impor ke gudang Indonesia yang semula di luar Indonesia.
Yoga menjelaskan, timah adalah komoditi ekspor unggulan Indonesia. Indonesia adalah negara eksportir terbesar dunia dan Indonesia adalah produsen timah terbesar kedua di dunia, setelah Cina.
Hampir 97% produksi timah Indonesia di ekspor ke berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Singapura dan India. Diperkirakan kebutuhan timah dunia mencapai 200.000 ton per tahun, dan Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dunia atas timah sebesar 40% atau sekitar 80.000 ton per tahun.
Mengutip informasi Ferdy Hasiman, peneliti di Alpha Research Database) di berbagai media, kata Yoga, Indonesia memiliki keunggulan komparatif perdagangan timah di pasar internasional dan Indonesia sebagai net exporter timah. Total sumber daya timah Indonesia, berdasar data Kementerian ESDM, dalam bentuk biji sebesar 3.483.785.508 ton dan logam 1.062.903 ton, sedangkan cadangan timah Indonesia dalam bentuk biji sebesar 1.592.208.743 ton dan logam 572.349 ton. Cadangan timah Indonesia ini menempati urutan kedua terbesar di dunia, setelah China.
Fakta hari ini, perlu dicermati dan didukung rencana Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, dalam merevisi regulasi mengenai ekspor (butir 5), yakni Permendag Nomor 53/2018 tentang Ketentuan Ekspor Timah.
Lalu bagaimana Mengenai bagaimana arah kebijakan revisi aturan penghambat eskpor diatas?
Apakah menyentuh dualisme bursa timah menuju bursa timah tunggal, sesuai spirit Bappebti 2013 tentang penetapan bursa berjangka sebagai penyelenggara bursa timah kepada PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI), SK Bappebti Nomor 08/2013.
"Apakah termasuk juga pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 05/2019 tentang petunjuk teknis verifikasi atau penelusuran teknis ekspor timah," tuturnya.
Fakta lain yang perlu diketahui masyarakat menyangkut kesepakatan dari para pelaku usaha pasar timah dunia soal jaminan dan kepastian bahwa perdagangan timah dunia akan terselenggara secara fair, dan transparan. Kesepakatan ini melibatkan Viant Securities (Singapura), Toyota Tsusao (Jepang), TMT Metals (India), Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) dan BKDI.
"Soal dualisme bursa timah Indonesia, ternyata di negara manapun tidak ada yang memperdagangkan komoditas yang sama melalui dua bursa, misalnya di Inggris, timah hanya diperdagangkan di bursa London Metal Exchange (LME) atau di Malaysia hanya di Kuala Lumpur Tin Market (KLTM)," tuturnya.
Menjadi pertanyaan gugatan muncul seandainya dualisme bursa timah tetap menjadi kebijakan pemerintah, bukankah terjadi ketidakpastian atau potensi kehilangan penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) atas ekspor timah murni batangan (Tin Ingot) bahkan negara berpotensi kehilangan pendapatan pajak (PPh 25) maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti (3%).
Lalu, apakah benar PT Timah pada tahun 2019 merugi sebesar Rp600 miliar setelah munculnya dualisme bursa timah?
"Semoga catatan di bawah ini bisa menjadi titik pijak kebijakan pemerintah cq Menteri Perdagangan, bahwa mempertahankan dualisme bursa timah di Indonesia adalah kecelakaan sejarah birokrasi. Dualisme bursa timah akan menciptakan pasar gelap karena tidak ada acuan harga yang jelas, bahkan pembentukan harga jual ekspor timah bisa dibawah harga pasar dunia (transfer pricing) atau fluktuasi harga timah Indonesia tidak terkendali," tuturnya.
Selain itu, dia mengingatkan kemungkinan terjadinya manipulasi mutu timah yang di ekspor, atau tidak sesuai dengan peraturan mutu yang ditetapkan pemerintah. Sering terjadi manipulasi volume timah (penyeludupan) yang di ekspor.
"Semoga kedaulatan timah Indonesia tidak lagi tergadaikan oleh dan atas nama kelompok kepentingan (vested interest group) sebagaimana pernah disampaikan ICW _(Indonesia Corruption Watch)_perihal Praktek Penjualan Ilegal dan Indikasi Kerugiah Negara dari Ekspor Timah 2004-2015," tuturnya.
Kedaulatan juga terkait semua hasil sumber daya alam dikelola dan diproduksi untuk tujuan tersebut. Sudah seberapa jauhkah pencapaian menuju tujuan yang mulia ini dilaksakan oleh penyelenggara negara.
"Berangkat daripada tujuan ini, nurani saya menjadi terusik di tengah kondisi pandemi virus Covid-19 setelah membaca artikel mengenai kondisi bursa timah Indonesia yaitu Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) yang dibangun atas dasar kebijakan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pada bulan Agustus 2013, dengan tujuan agar Indonesia sebagai negara penghasil timah nomor dua dunia terbesar dunia dapat menjadi penentu harga timah dunia," kata pemerhati kebiajakan publik, Yoga Duwarto dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews, Senin (22/6/2020).
Yoga merujuk ucapan Gita Wirjawan kala itu, yakni untuk apa Indonesia mampu berproduksi mengolah sumber daya alam khususnya hasil timah yang sedemikian baik dan besar, kalau kemudian semua menjadi sia-sia karena hasilnya tidak memiliki manfaat besar akibat harga jualnya sangat rendah serta tidak menguntungkan bahkan merugikan pemiliknya, yaitu seluruh rakyat bangsa Indonesia.
"Ini kepentingannya bukan menurunkan harga, lho. melainkan menaikkan harga. Kalau mau menurunkan harga, jual produk yang sama di seribu pasar," ujarnya.
Dan benar setahun kemudian kebijakan ini mulai mencapai hasil yang menakjubkan, Indonesia mampu menjadi "price maker" timah dunia dan mendapat acungan dua jempol dari Menteri BUMN Dahlan Iskan atas perolehan keuntungan besar kepada negara. Dari pajak penjualan, dan berbagai keuntungan lain termasuk pada royalti.
( )
Bicara kedaulatan timah, kata dia, itu berarti bicara daya upaya agar timah Indonesia mampu mengendalikan pasar timah dunia. Timah Indonesia bisa menjadi acuan harga timah dunia, termasuk tentunya memindahkan penimbunan barang ekspor impor ke gudang Indonesia yang semula di luar Indonesia.
Yoga menjelaskan, timah adalah komoditi ekspor unggulan Indonesia. Indonesia adalah negara eksportir terbesar dunia dan Indonesia adalah produsen timah terbesar kedua di dunia, setelah Cina.
Hampir 97% produksi timah Indonesia di ekspor ke berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Singapura dan India. Diperkirakan kebutuhan timah dunia mencapai 200.000 ton per tahun, dan Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dunia atas timah sebesar 40% atau sekitar 80.000 ton per tahun.
Mengutip informasi Ferdy Hasiman, peneliti di Alpha Research Database) di berbagai media, kata Yoga, Indonesia memiliki keunggulan komparatif perdagangan timah di pasar internasional dan Indonesia sebagai net exporter timah. Total sumber daya timah Indonesia, berdasar data Kementerian ESDM, dalam bentuk biji sebesar 3.483.785.508 ton dan logam 1.062.903 ton, sedangkan cadangan timah Indonesia dalam bentuk biji sebesar 1.592.208.743 ton dan logam 572.349 ton. Cadangan timah Indonesia ini menempati urutan kedua terbesar di dunia, setelah China.
Fakta hari ini, perlu dicermati dan didukung rencana Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, dalam merevisi regulasi mengenai ekspor (butir 5), yakni Permendag Nomor 53/2018 tentang Ketentuan Ekspor Timah.
Lalu bagaimana Mengenai bagaimana arah kebijakan revisi aturan penghambat eskpor diatas?
Apakah menyentuh dualisme bursa timah menuju bursa timah tunggal, sesuai spirit Bappebti 2013 tentang penetapan bursa berjangka sebagai penyelenggara bursa timah kepada PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI), SK Bappebti Nomor 08/2013.
"Apakah termasuk juga pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 05/2019 tentang petunjuk teknis verifikasi atau penelusuran teknis ekspor timah," tuturnya.
Fakta lain yang perlu diketahui masyarakat menyangkut kesepakatan dari para pelaku usaha pasar timah dunia soal jaminan dan kepastian bahwa perdagangan timah dunia akan terselenggara secara fair, dan transparan. Kesepakatan ini melibatkan Viant Securities (Singapura), Toyota Tsusao (Jepang), TMT Metals (India), Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) dan BKDI.
"Soal dualisme bursa timah Indonesia, ternyata di negara manapun tidak ada yang memperdagangkan komoditas yang sama melalui dua bursa, misalnya di Inggris, timah hanya diperdagangkan di bursa London Metal Exchange (LME) atau di Malaysia hanya di Kuala Lumpur Tin Market (KLTM)," tuturnya.
Menjadi pertanyaan gugatan muncul seandainya dualisme bursa timah tetap menjadi kebijakan pemerintah, bukankah terjadi ketidakpastian atau potensi kehilangan penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) atas ekspor timah murni batangan (Tin Ingot) bahkan negara berpotensi kehilangan pendapatan pajak (PPh 25) maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti (3%).
Lalu, apakah benar PT Timah pada tahun 2019 merugi sebesar Rp600 miliar setelah munculnya dualisme bursa timah?
"Semoga catatan di bawah ini bisa menjadi titik pijak kebijakan pemerintah cq Menteri Perdagangan, bahwa mempertahankan dualisme bursa timah di Indonesia adalah kecelakaan sejarah birokrasi. Dualisme bursa timah akan menciptakan pasar gelap karena tidak ada acuan harga yang jelas, bahkan pembentukan harga jual ekspor timah bisa dibawah harga pasar dunia (transfer pricing) atau fluktuasi harga timah Indonesia tidak terkendali," tuturnya.
Selain itu, dia mengingatkan kemungkinan terjadinya manipulasi mutu timah yang di ekspor, atau tidak sesuai dengan peraturan mutu yang ditetapkan pemerintah. Sering terjadi manipulasi volume timah (penyeludupan) yang di ekspor.
"Semoga kedaulatan timah Indonesia tidak lagi tergadaikan oleh dan atas nama kelompok kepentingan (vested interest group) sebagaimana pernah disampaikan ICW _(Indonesia Corruption Watch)_perihal Praktek Penjualan Ilegal dan Indikasi Kerugiah Negara dari Ekspor Timah 2004-2015," tuturnya.
(dam)