Polemik Investasi Telkom di GOTO
loading...

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak melakukan penyelidikan terhadap dua emiten (Telkom dan GOTO), terkait adanya indikasi transaksi material afiliasi dan benturan kepentingan para pemegang saham, (KORAN SINDO/Wawan Bastian)
A
A
A
INDUSTRI pasar modal sepekan terakhir diramaikan oleh polemik investasi PT Telkom, Tbk. (TLKM) di PT Gojek Tokopedia, Tbk (GOTO) yang merupakan merger dua startup besar Gojek dan Tokopedia. Polemik itu mencuat lantaran ada dugaan konflik kepentingan dalam investasi Telkom di GOTO. Alhasil, sejak sepekan terakhir saham GOTO tersungkur yang membuat para investornya menjerit, meskipun belakangan saham perusahaan itu kembali melejit.
Dugaan konflik kepentingan itu lantaran ada salah satu pemegang saham GOTO yang terafiliasi secara langsung dengan pejabat pemerintah sebagai pemegang keputusan. Telkom melalui anak usahanya yakni Telkomsel menyuntikkan dana ke GOTO senilai Rp6,3 triliun. Lagi-lagi suntkan dana itu dilakukan dengan tak memenuhi kaidah good corporate governance. Meskipun sebagai anak usaha dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak yang menilai, sejatinya Telkomsel perlu menerapkan asas transparansi.
Hingga saat ini, investasi Telkom melalui anak usahanya di GOTO itu masih belum membuahkan hasil. Bahkan, ada potensi kerugian sebesar Rp881 miliar hingga kuartal pertama 2022. Namun, manajemen Telkom berdalih, strategi investasi pada startup yang dilakukan Telkom tidak semata fokus pada peningkatan capital gain saja, tetapi juga dari peluang kolaborasi yang mungkin dilakukan para perusahaan rintisan terhadap berbagai lini bisnis di Telkom Group. Hal ini dilakukan untuk membangun sinergi dalam rangka meningkatkan bisnis dan profitabilitas perusahaan.
Polemik tersebut terus menggelinding seperti bola panas. Para politisi pun memanfaatkan momentum tersebut untuk bersuara lantang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak melakukan penyelidikan terhadap dua emiten (Telkom dan Goto), terkait adanya indikasi transaksi material afiliasi dan benturan kepentingan para pemegang saham. Alasannya, setiap aksi korporasi BUMN pada emiten tertentu harus didasarkan pada pertimbangan bisnis dan dampak sosial yang luas dan bisa dipertanggungjawabkan secara akuntabel.
Banyak pihak yang juga mendesak Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk bertindak cepat dan profesional untuk menelaah dan menyelidiki kasus tersebut. Terlebih, masyarakat yang berinvestasi di dua perusahaan tersebut mulai was-was, terutama masyarakat yang trauma dengan kejahatan keuangan bermotif investasi pada korporasi yang memiliki tingkat risiko tinggi.
Dugaan konflik kepentingan itu lantaran ada salah satu pemegang saham GOTO yang terafiliasi secara langsung dengan pejabat pemerintah sebagai pemegang keputusan. Telkom melalui anak usahanya yakni Telkomsel menyuntikkan dana ke GOTO senilai Rp6,3 triliun. Lagi-lagi suntkan dana itu dilakukan dengan tak memenuhi kaidah good corporate governance. Meskipun sebagai anak usaha dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak yang menilai, sejatinya Telkomsel perlu menerapkan asas transparansi.
Hingga saat ini, investasi Telkom melalui anak usahanya di GOTO itu masih belum membuahkan hasil. Bahkan, ada potensi kerugian sebesar Rp881 miliar hingga kuartal pertama 2022. Namun, manajemen Telkom berdalih, strategi investasi pada startup yang dilakukan Telkom tidak semata fokus pada peningkatan capital gain saja, tetapi juga dari peluang kolaborasi yang mungkin dilakukan para perusahaan rintisan terhadap berbagai lini bisnis di Telkom Group. Hal ini dilakukan untuk membangun sinergi dalam rangka meningkatkan bisnis dan profitabilitas perusahaan.
Polemik tersebut terus menggelinding seperti bola panas. Para politisi pun memanfaatkan momentum tersebut untuk bersuara lantang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak melakukan penyelidikan terhadap dua emiten (Telkom dan Goto), terkait adanya indikasi transaksi material afiliasi dan benturan kepentingan para pemegang saham. Alasannya, setiap aksi korporasi BUMN pada emiten tertentu harus didasarkan pada pertimbangan bisnis dan dampak sosial yang luas dan bisa dipertanggungjawabkan secara akuntabel.
Banyak pihak yang juga mendesak Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk bertindak cepat dan profesional untuk menelaah dan menyelidiki kasus tersebut. Terlebih, masyarakat yang berinvestasi di dua perusahaan tersebut mulai was-was, terutama masyarakat yang trauma dengan kejahatan keuangan bermotif investasi pada korporasi yang memiliki tingkat risiko tinggi.
Lihat Juga :