Nasib Miris Guru

Rabu, 11 Mei 2022 - 09:53 WIB
loading...
Nasib Miris Guru
Anggi Afriansyah (Foto: Ist)
A A A
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

GURU sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Karena istilah tersebut para guru dianggap tidak layak mendapatkan kesejahteraan yang memadai. Beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab menyatakan bahwa menjadi guru merupakan pengabdian mulia sehingga mereka tidak perlu mengejar keuntungan dunia. Padahal bukan soal sesuatu yang sifatnya duniawi, ini bicara hak hidup seseorang mendapatkan penghasilan yang layak, sesuatu yang dijamin oleh konstitusi.

Dalam dunia modern, sama seperti profesi lain, para guru memiliki hak yang setara untuk hidup layak dan sejahtera. Berlindung di balik istilah “guru tanpa tanda jasa” merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Jika mau jujur, hanya guru-guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) dan guru-guru yang bekerja di sekolah swasta dengan latar belakang siswa kelas sosial menengah atas yang dapat menikmati kesejahteraan yang mencukupi. Sementara lebih banyak guru yang harus berpasrah diri mendapatkan penghasilan yang kurang baik sehingga harus berjibaku melakukan pekerjaan lain untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bukan hanya guru honorer di sekolah negeri yang tidak sejahtera. Para guru yang bekerja di sekolah swasta pun merasakan pahitnya menjadi guru. Dalam suatu diskusi dengan seorang guru yang mengikuti seleksi penerimaan guru di salah satu sekolah swasta, saya mendapat kisah miris. Ketika proses seleksi, pihak sekolah menyampaikan kepadanya bahwa pihak sekolah tidak dapat memberikan gaji sesuai dengan Upah Minimum Kota (UMK).

Guru yang mengikuti proses tersebut terhenyak mendengar betapa posisinya sangat marjinal. Padahal dirinya merupakan lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ternama di ibukota dan sudah memiliki pengalaman mengajar beberapa tahun. Ternyata dengan kualifikasi akademik dan pengalaman kerja tersebut, untuk mendapatkan gaji yang sesuai standar saja tidak mudah.

Sistem penggajian bagi guru di satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (swasta) memang problematik. Jika kita tilik pada Undang-Undang Guru dan Dosen pasal 15 ayat tiga disebutkan “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”. Pada akhirnya memang bukan berdasarkan pada UMK yang berlaku tetapi berdasar pada perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama yang cenderung tidak berpihak pada guru.

Ketika bicara sekolah swasta ada beberapa kategori terkait perlakuan terhadap guru. Pertama, sekolah-sekolah swasta yang memiliki sumber daya ekonomi mumpuni. Sekolah-sekolah ini memberikan perhatian secara layak kepada para gurunya seperti gaji pokok sesuai dengan UMK, jaminan kesehatan, kepastian menjadi guru tetap yayasan, dan aspek kesejahteraan lainnya. Indikator yang paling mudah untuk melihat sekolah tipe ini adalah dengan memperhatikan tingkat kebertahanan guru-guru tersebut hingga usia pensiun.

Selain itu, juga dengan memerhatikan dengan tingkat turn over atau keluar masuk pergantian guru yang rendah di setiap di setiap tahunnya. Sebab, jika ada sekolah-sekolah dengan tingkat turn over pergantian guru yang tinggi di setiap tahun, bisa jadi ada persoalan dalam manajemen pengelolaan guru di sekolah tersebut.

Kedua, sekolah swasta yang memiliki keterbatasan sumber daya ekonomi. Di sekolah-sekolah ini, para guru mendapatkan perhatian yang kurang optimal ditandai dengan gaji di bawah UMK, ketidakpastian status, dan minimnya kesejahteraan yang didapat. Namun di luar kategori tersebut ada juga sekolah swasta yang sebetulnya memiliki sumber daya yang baik namun kurang memiliki perhatian terhadap para gurunya.

Sekolah-sekolah tersebut mematok uang masuk dan iuran dengan harga tinggi kepada para siswa, memiliki gedung dan fasilitas mentereng namun kontras ketika bicara mengenai kesejahteraan guru. Sekolah dalam posisi ini seperti layaknya perusahaan yang hanya mementingkan bisnis semata tetapi tidak memperhatikan kesejahteraan para gurunya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1738 seconds (0.1#10.140)