Poncke Princen, Tentara Belanda yang Memilih Menjadi Mualaf dan Mempertahankan Indonesia Merdeka

Rabu, 11 Mei 2022 - 06:00 WIB
loading...
Poncke Princen, Tentara...
Poncke Princen, pembelot Belanda yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan akhirnya untuk hak asasi manusia. Foto: brabantserfgoed.nl (kiri) ndonesia-zaman-doeloe.blogspot.com (kanan)
A A A
JAKARTA - Dalam sejarah perang kerap memunculkan pahlawan dan pengkhianat seperti dua sisi mata uang. Ini pula yang terpotret dari sosok Poncke Princen, tentara Belanda yang membelot memihak perjuangan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Siapakah dia?

Dikutip dari laman brabantserfgoed.nl, lelaki bernama lengkap Johannes Cornelis Princen ini lahir di Den Haag pada 21 November 1925. Latar belakang pendidikannya akrab dengan sekolah agama. Dibesarkan dalam keluarga liberal pemeluk Katolik, Poncke Princen bercita-cita menjadi pastor misionaris. Dia menempuh pendidikan di seminari pada 1939-1943.

Tetapi Princen tidak pernah menyelesaikan studinya untuk menjadi pastor tersebut karena merasa sulit menghilangkan hasrat terhadap perempuan. Kehidupan mudanya digambarkan sebagai seorang pemuja kebebasan. Tetapi secara ideologi dia tertarik pada sosialisme.



Saat perang dunia II pecah, Princen ingin bergabung dengan tentara Sekutu dan pergi ke Inggris pada tahun 1943. Sayangnya dia tertangkap tentara Nazi Jerman yang telah menduduki Belanda. Princen dipenjara di lokasi yang berpindah-pindah dari Vaught, Utrecht, Amersfoort, dan akhirnya di Bocholt, Jerman.

Di dalam penjara itulah Princen mendapat julukan Poncke. Julukan ini diambil dari roman berjudul Leven en daden van Pastoor Poncke van Damme in Vlaanderen Pastoor Poncke (1941) karya Jan Eekhout (1900-1978) yang kerap dibacakan Princen kepada para tahanan lain.

Setelah perang berakhir, pada Mei 1945 Princen dibebaskan tentara sekutu dari penjara. Hanya beberapa bulan menghirup udara bebas, pada Desember 1945 Princen mendapat panggilan wajib militer dari Kerajaan Belanda ke Indonesia.

Princen menolaknya dan kabur ke Prancis. Namun dia kembali tertangkap dikirim ke kamp di Schoonhoven, tempat para penolak wajib militer ditampung. Di sinilah Princen berkenalan dengan seorang komunis bernama Piet van Staveren. Sebagai komunis, Piet van Staveren menolak kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia.

Sikap Piet van Staveren sejalan dengan pendirian Pricen yang memang ingin memperjuangkan kebebasan. Kelak, interaksi dengan Piet van Staveren ini berpengaruh besar pada sikap dan aktivitas Princen.

Poncke Princen, Tentara Belanda yang Memilih Menjadi Mualaf dan Mempertahankan Indonesia Merdeka

Foto/indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com

Pada 28 Desember 1946, Princen dan tahanan penolak wajib militer lain diberangkatkan ke Indonesia. Begitu sampai di Indonesia, vonis 12 tahun penjara dijatuhkan untuk Princen pada 22 Oktober 1947 atas penolakannya terhadap wajib militer Kerajaan Belanda. Tetapi hukuman itu menjadi 4 bulan penjara tanpa syarat.

Pricen ditahan di Cipinang lalu dipindah ke Cisarua. Di kamp tahanan ini Princen mendengar kabar bahwa Piet van Staveren berhasil kabur dan bergabung dengan tentara Indonesia. Setelah empat ulan lewat, Princen akhirnya bebas dan kembali ke dinas militer dengan jabatan kopral bagian medikasi satu dalam Divisi 7 Desember.

Dari sini, keyakinan Princen terhadap pilihan untuk tidak mendukung kembalinya Belanda menjajah Indonesia semakin kuat. Dia melihat dengan mata kepala sendidri kekejaman tentara Belanda kepada orang Indonesia. Princen pun memutuskan harus kabur.

Ketika mendapatkan cuti pada 25 September 1948, Princen pergi ke Sukabumi dan akhirnya, pada 26 September 1948, Princen menyebrang garis demarkasi (garis yang membatasi wilayah pendudukan Belanda) dan masuk ke Yogyakarta melalui Semarang.

Ketika itu Yogyakarta adalah ibu kota sekaligus pusat politik dan militer Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Pricen akhirnya memang ditangkap sebagai tawanan perang Indonesia. Namun seelah Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948, Pricen dibebaskan.



Ketika tentara Belanda melakukan serangan ke Yogyakarta, dia sudah ikut bergabung dengan pasukan Divisi Siliwangi di bawah komando Kemal Idris. Saat itulah Princen jatuh cinta pada seorang wanita Indonesia bernama Odah lalu menikahinya.

Kemal Idris menunjuk Princen sebagai komandan Pasukan Istimewa, yang bertugas melakukan penyergapan dan pengeboman terhadap pasukan Belanda, targetnya adalah merebut persenjataan. Princen bahkan terlihat mengikuti longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya.

Keberadaan Princen di tubuh pasukan Indonesia akhirnya diketahui pimpinan militer Belanda atau KNIL, Mayjen E. Engels. Dia memerintahkan pasukannya untuk membunuh Princen.

Perintah itu dilaksanakan. Pertempuran sengit terjadi pada Agustus 1949, mengakibatkan Odah--sang istri yang tengah mengandung 2 bulan, dan 12 tentara Indonesia terbunuh. Princen yang menjadi target penyerangan itu berhasil meloloskan diri.

Setelah Agresi Miiter II tersebut, sejarah mencatat Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Princen pun memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan menjadi mualaf. Dia ingin menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sepenuhnya, yang mayoritas adalah muslim. Tak lama kemudian, Princen menunaikan haji untuk meneguhkan keislamannya. Dia pun dikenal dengan sebutan Haji Johannes Cornelis Princen.

Atas jasa-jasanya, Princen memperoleh penghargaan Bintang Geriliya dari Presiden Soekarno pada 1949. Pada 1956 terpilih sebagai anggota parlemen mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Tetapi Soekarno pula yang memenjarakannya dari 1957 sampai 1958, lalu dari 1962 sampai 1966. Semuanya itu disebabkan kritik kerasnya terhadap pemeritahan Soekarno yang dianggap mempertontonkan kediktatoran.



Setelah keluar penjara pada 1966, Princen menjadi ketua Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Pada 1980 dia mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Princen juga mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 1980, agar gerakan pembelaan HAM yang dilakukannya makin meluas. Di era Orde Baru ini, Princen kembali harus masuk bui karena aktivitasnya yang dianggap tidak sejalan dengan arah politik pemerintah.

Pada 1992 Princen memperoleh penghargaan dari lembaga internasional atas aktivitasnya pada hak asasi manusia. Dia juga dianggap punya peran penting untuk kemerdekaan Timor Timur. Princen adalah pendukung gerakan kemerdekaan Timor Timur dan merupakan teman Xanana Gusmão, pemimpin gerakan yang menjadi presiden pertama Timor Timur setelah merdeka.

Aksi Princen pun masih tampak pada 1998. Duduk di kursi roda, wajahnya kerap tampak di baris terdepan pada demonstrasi-demonstrasi perlawanan atas kediktatoran Soeharto. Lantaran aktivitas politiknya itu, kehidupan rumah tangga Princen berantakan. Dia bercerai dengan Heda, istri keduanya. Lalu, dia menikah lagi dengan perempuan Belanda, Janneke Marckmann. Tetapi, wanita itu akhirnya memutuskan kembali ke Belanda dan meninggallkan tiga anak mereka di Indonesia. Pada Februari 2002, Princen meninggal dunia pada usia 76 tahun di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman Pondok Kelapa.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1983 seconds (0.1#10.140)