Kisah Pak AR Memindahkan Tradisi Salat Id di Masjid ke Lapangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selain dikenal sebagai ketua umum PP Muhammadiyah terlama sepanjang sejarah, yang diakui secara luas dari sosok KH AR Fachruddin adalah cara berdakwahnya yang santun dan sangat menghargai tradisi masyarakat. Tidak secara frontal mengubah apa yang dianggapnya keliru, melainkan menggunaan siasat halus yang mengena dan tidak bisa digugat lagi.
Inilah karakter menonjol dari Pak AR, begitu dia akrab dipanggil, yang telah banyak buktinya. Salah satunya berkaitan dengan salat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sebagai orang Muhammadiyah, Pak AR tentu berpandangan lebih baik salat Id dilaksanakan di tanah lapang, kendati tidak menganggap salah juga kalau dilakukan di masjid, sebagaimana tradisi masyarakat pada masanya.
Dikisahkan dalam buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah, beberapa waktu mendekati pelaksanaan salat Id di Desa Bleberan Banaran, Yogyakarta, Pak AR yang kala itu menjadi perangkat desa di bagian sosial berpikir untuk menggelar salat Id berjamaah di tanah lapang. Pak AR berpikir keras menemukan cara untuk mengarahkan salat Id ke tanah lapang.
Sebab pada waktu itu, kiai atau ulama yang ditaati fatwanya oleh masyarakat setempat adalah mertuanya sendiri, yaitu Kiai Abu Amar. Meskipun merasa sulit, Pak AR memberanikan diri untuk bertanya kepada Kai Abu Amar, mengapa tidak salat Id tidak di tanah lapang? Kiai Abu Amar lalu menjawab bahwa para ulama dulu salatnya juga di masjid, kecuali kalau masjid sudah penuh.
Setelah mendengar jawaban mertuanya itu, Pak AR segera menemukan solusi. Dalam rentang hari tersisa sebelum salat Id, Pak AR pun gencar mengkampanyekan dan menggerakkan warga desa agar ikut salat Id. Tak soal yang didatangi itu warga abangan (sebutan umum untuk mereka yang dianggap tidak terlalu taat untuk urusan agama), Pak AR tetap merangsang dan menyemangati supaya mereka datang ke masjid menjalankan salat Id yang setahun hanya dua kali itu.
Usaha keras Pak AR membuahkan hasil. Ajakannya sangat berpengaruh. Warga desa berduyun-duyun mendatangi masjid untuk salat Id. Warga yang membeludak membuat masjid penuh dan tak mampu menampung jamaah yang terus berdatangan.
Melihat kondisi itu, Kiai Abu Amar lalu memanggil Pak AR sembari memberi petunjuk. “Kalau sudah begini, laki-laki dan perempuan berdesak-desakan, makruh. Oleh karena masjid sudah tidak mampu menampung lagi, tolong shalat Id pindah ke tanah lapang saja,” kata Kiai Abu Amar kepada Pak AR, dikutip dari PWMU.co, Kamis (5/5/2022).
Pak AR pun tersenyum. Itulah kali pertama warga Desa Bleberan Banaran, Yogyakarta menggelar salat Id di tanah lapang dan menjadi tradisi baru hingga saat ini.
Inilah karakter menonjol dari Pak AR, begitu dia akrab dipanggil, yang telah banyak buktinya. Salah satunya berkaitan dengan salat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sebagai orang Muhammadiyah, Pak AR tentu berpandangan lebih baik salat Id dilaksanakan di tanah lapang, kendati tidak menganggap salah juga kalau dilakukan di masjid, sebagaimana tradisi masyarakat pada masanya.
Dikisahkan dalam buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah, beberapa waktu mendekati pelaksanaan salat Id di Desa Bleberan Banaran, Yogyakarta, Pak AR yang kala itu menjadi perangkat desa di bagian sosial berpikir untuk menggelar salat Id berjamaah di tanah lapang. Pak AR berpikir keras menemukan cara untuk mengarahkan salat Id ke tanah lapang.
Sebab pada waktu itu, kiai atau ulama yang ditaati fatwanya oleh masyarakat setempat adalah mertuanya sendiri, yaitu Kiai Abu Amar. Meskipun merasa sulit, Pak AR memberanikan diri untuk bertanya kepada Kai Abu Amar, mengapa tidak salat Id tidak di tanah lapang? Kiai Abu Amar lalu menjawab bahwa para ulama dulu salatnya juga di masjid, kecuali kalau masjid sudah penuh.
Setelah mendengar jawaban mertuanya itu, Pak AR segera menemukan solusi. Dalam rentang hari tersisa sebelum salat Id, Pak AR pun gencar mengkampanyekan dan menggerakkan warga desa agar ikut salat Id. Tak soal yang didatangi itu warga abangan (sebutan umum untuk mereka yang dianggap tidak terlalu taat untuk urusan agama), Pak AR tetap merangsang dan menyemangati supaya mereka datang ke masjid menjalankan salat Id yang setahun hanya dua kali itu.
Usaha keras Pak AR membuahkan hasil. Ajakannya sangat berpengaruh. Warga desa berduyun-duyun mendatangi masjid untuk salat Id. Warga yang membeludak membuat masjid penuh dan tak mampu menampung jamaah yang terus berdatangan.
Melihat kondisi itu, Kiai Abu Amar lalu memanggil Pak AR sembari memberi petunjuk. “Kalau sudah begini, laki-laki dan perempuan berdesak-desakan, makruh. Oleh karena masjid sudah tidak mampu menampung lagi, tolong shalat Id pindah ke tanah lapang saja,” kata Kiai Abu Amar kepada Pak AR, dikutip dari PWMU.co, Kamis (5/5/2022).
Pak AR pun tersenyum. Itulah kali pertama warga Desa Bleberan Banaran, Yogyakarta menggelar salat Id di tanah lapang dan menjadi tradisi baru hingga saat ini.
(muh)