Ketua MUI Soal Rektor ITK Rasis ke Mahasiswi Berhijab: Terjangkit Hasud dan Premitif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Muhammad Cholil Nafis angkat bicara soal Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko yang diduga rasis ke mahasiswi berhijab. Pernyataan Rektor ITK telanjur viral di media sosial dan mendapat banyak kecaman.
Cholil Nafis mengecam Rektor ITK yang bersikap rasis dan tak pantas menyandang gelar guru besar melalui Twitternya @cholilnafis yang dikutip, Sabtu (30/4/2022).
Baca juga: Rektor ITK Nyinyir Mahasiswi Berpenutup Kepala Manusia Gurun, Fadli Zon: Terpapar Islamofobia
“Harus diberi tindakan dan diberi pelajaran orang semacam ini. Tak layak dg gelar akademik guru besar dan penyeleksi beasiswa LPDP yg uangnya berasal dari rakyat. Dia Terjangkit penyakit hasud dan premitif. Seharusnya dibersihkan perguruan tinggi dari orang rasis itu,” tulis Cholil.
Kecaman juga datang datang dari anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon. “Terpapar 'Islamofobia'," cuit @fadlizon, Sabtu (30/4/2022).
Diketahui, ITK merupakan perguruan tinggi negeri milik pemerintah yang berada di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam tulisannya, Budi Santosa bercerita habis menguji sejumlah mahasiswa berprestasi. Dalam tulisannya, dia menunjukkan antiterhadap mahasiswa yang mengucapkan kalimat dalam ajaran Islam seperti insyaallah, barakallah, dan qadarullah.
Baca juga: Rasis, Israel Latih Polisi Panama Menembak dengan Target Gambar Orang Arab
Berikut tulisan sang profesor yang bikin gaduh:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5. Bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi; apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan, dari 16 yang saya wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita karya teknologi.
Cholil Nafis mengecam Rektor ITK yang bersikap rasis dan tak pantas menyandang gelar guru besar melalui Twitternya @cholilnafis yang dikutip, Sabtu (30/4/2022).
Baca juga: Rektor ITK Nyinyir Mahasiswi Berpenutup Kepala Manusia Gurun, Fadli Zon: Terpapar Islamofobia
“Harus diberi tindakan dan diberi pelajaran orang semacam ini. Tak layak dg gelar akademik guru besar dan penyeleksi beasiswa LPDP yg uangnya berasal dari rakyat. Dia Terjangkit penyakit hasud dan premitif. Seharusnya dibersihkan perguruan tinggi dari orang rasis itu,” tulis Cholil.
Kecaman juga datang datang dari anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon. “Terpapar 'Islamofobia'," cuit @fadlizon, Sabtu (30/4/2022).
Diketahui, ITK merupakan perguruan tinggi negeri milik pemerintah yang berada di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam tulisannya, Budi Santosa bercerita habis menguji sejumlah mahasiswa berprestasi. Dalam tulisannya, dia menunjukkan antiterhadap mahasiswa yang mengucapkan kalimat dalam ajaran Islam seperti insyaallah, barakallah, dan qadarullah.
Baca juga: Rasis, Israel Latih Polisi Panama Menembak dengan Target Gambar Orang Arab
Berikut tulisan sang profesor yang bikin gaduh:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5. Bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi; apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan, dari 16 yang saya wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita karya teknologi.
(jon)