Larangan Ekspor Migor Bikin Petani Menjerit, Legislator Demokrat Sentil Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) serta produk minyak goreng (migor). Adapun keran ekspor itu ditutup mulai Kamis 28 April 2022
Setelah kebijakan itu dikeluarkan, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terjun bebas serentak seluruh daerah penghasil sawit di Indonesia. Menanggapi kondisi tersebut, Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Achmad menilai pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan mendasar pada rakyat.
Menurutnya, pemerintah terkesan memainkan nasib rakyat karena kebijakan yang dikeluarkan sering menimbulkan masalah baru. "Ini namanya mengatasi masalah dengan masalah. Masalah lama belum selesai, sekarang timbul masalah baru lagi menjelang Lebaran," ujar Achmad kepada wartawan, Selasa (26/4/2022).
Kebijakan pelarangan ekspor itu dinilai sangat berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat. Saat ini salah satu sektor komoditi yang bisa menopang ekonomi masyarakat provinsi penghasil kelapa sawit.
Buntut dari kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng ini membuat harga tandan buah segar (TBS) petani anjlok sampai 45-60 persen. "Sekarang harga TBS terjun bebas, bukan turun lagi, tapi sudah terjun bebas di angka yang sangat fantastis. Kayak enggak ada harganya lagi," ujar legislator dari Daerah Pemilihan Riau I ini.
Dia melihat hampir semua kebijakan pemerintah bermasalah dan menimbulkan masalah baru. Padahal, semua perangkat dimiliki pemerintah untuk mengukur sejauh mana kebijakan tersebut berdampak positif bagi masyarakat.
"Dengan perangkat pemerintah yang begitu lengkap, harusnya pengambilan keputusan itu sudah tepat dan tidak mesti melalui perdebatan lagi. Ini kan aneh, kebijakan dikeluarkan serampangan, Bagaimana rakyat tidak teriak," tutur mantan Bupati Rohul ini.
Kondisi tersebut diperparah lagi ketika rasio kenaikan harga pupuk sudah di atas ambang normal. Bahkan kenaikan harga pupuk sudah sangat tidak terkontrol. Petani sawit pun mengeluhkan dan kelabakan dengan tingginya harga pupuk, sehingga biaya produksi ikut membengkak.
"Laporan dari petani sawit di 26 provinsi sawit bahwa kenaikan harga pupuk ini merata baik NPK dan tunggal. Kalau harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi dipastikan naik signifikan," ujar Achmad.
Dia menuturkan penjualan pupuk tidak hanya terkait ke ketersediaan, tapi juga keterjangkauan. "Dan berharap Pupuk Indonesia (BUMN) menjadi penyeimbang (control), bukan malah pemicu naiknya pupuk secara nasional. Faktanya pupuk dari produsen BUMN ini lebih tinggi kenaikannya dibandingkan non-BUMN," ucapnya.
Maka itu, dia mengaku prihatin dan miris melihat kondisi tersebut. Sehingga, Achmad mendesak pemerintah mengevaluasi harga pupuk dan harus seimbang dengan harga TBS.
"Saya menyampaikan kenaikan harga Pupuk sebaiknya seimbang dengan kenaikan harga TBS, jangan pula melampaui rasio kenaikan harga TBS saat ini. Pupuk itu sangat penting bagi petani, jangan malah menjadi beban karena pupuk itu pemicu produksi bukan penghambat produksi," kata dia.
Achmad juga mendesak pemerintah mengkaji ulang kebijakan yang telah dikeluarkan, dan melakukan riset terlebih dahulu supaya kebijakan itu tidak merugikan rakyat. "Pemerintah wajib mengeluarkan kebijakan itu harus berdasarkan data dan fakta di masyarakat. Jangan sampai kebijakan tersebut hanya menyusahkan rakyat. Kalau perlu cabut kebijakan tersebut dan cari solusi lain yang lebih aman," pungkasnya.
Setelah kebijakan itu dikeluarkan, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terjun bebas serentak seluruh daerah penghasil sawit di Indonesia. Menanggapi kondisi tersebut, Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Achmad menilai pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan mendasar pada rakyat.
Menurutnya, pemerintah terkesan memainkan nasib rakyat karena kebijakan yang dikeluarkan sering menimbulkan masalah baru. "Ini namanya mengatasi masalah dengan masalah. Masalah lama belum selesai, sekarang timbul masalah baru lagi menjelang Lebaran," ujar Achmad kepada wartawan, Selasa (26/4/2022).
Kebijakan pelarangan ekspor itu dinilai sangat berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat. Saat ini salah satu sektor komoditi yang bisa menopang ekonomi masyarakat provinsi penghasil kelapa sawit.
Buntut dari kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng ini membuat harga tandan buah segar (TBS) petani anjlok sampai 45-60 persen. "Sekarang harga TBS terjun bebas, bukan turun lagi, tapi sudah terjun bebas di angka yang sangat fantastis. Kayak enggak ada harganya lagi," ujar legislator dari Daerah Pemilihan Riau I ini.
Dia melihat hampir semua kebijakan pemerintah bermasalah dan menimbulkan masalah baru. Padahal, semua perangkat dimiliki pemerintah untuk mengukur sejauh mana kebijakan tersebut berdampak positif bagi masyarakat.
"Dengan perangkat pemerintah yang begitu lengkap, harusnya pengambilan keputusan itu sudah tepat dan tidak mesti melalui perdebatan lagi. Ini kan aneh, kebijakan dikeluarkan serampangan, Bagaimana rakyat tidak teriak," tutur mantan Bupati Rohul ini.
Kondisi tersebut diperparah lagi ketika rasio kenaikan harga pupuk sudah di atas ambang normal. Bahkan kenaikan harga pupuk sudah sangat tidak terkontrol. Petani sawit pun mengeluhkan dan kelabakan dengan tingginya harga pupuk, sehingga biaya produksi ikut membengkak.
"Laporan dari petani sawit di 26 provinsi sawit bahwa kenaikan harga pupuk ini merata baik NPK dan tunggal. Kalau harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi dipastikan naik signifikan," ujar Achmad.
Dia menuturkan penjualan pupuk tidak hanya terkait ke ketersediaan, tapi juga keterjangkauan. "Dan berharap Pupuk Indonesia (BUMN) menjadi penyeimbang (control), bukan malah pemicu naiknya pupuk secara nasional. Faktanya pupuk dari produsen BUMN ini lebih tinggi kenaikannya dibandingkan non-BUMN," ucapnya.
Maka itu, dia mengaku prihatin dan miris melihat kondisi tersebut. Sehingga, Achmad mendesak pemerintah mengevaluasi harga pupuk dan harus seimbang dengan harga TBS.
"Saya menyampaikan kenaikan harga Pupuk sebaiknya seimbang dengan kenaikan harga TBS, jangan pula melampaui rasio kenaikan harga TBS saat ini. Pupuk itu sangat penting bagi petani, jangan malah menjadi beban karena pupuk itu pemicu produksi bukan penghambat produksi," kata dia.
Achmad juga mendesak pemerintah mengkaji ulang kebijakan yang telah dikeluarkan, dan melakukan riset terlebih dahulu supaya kebijakan itu tidak merugikan rakyat. "Pemerintah wajib mengeluarkan kebijakan itu harus berdasarkan data dan fakta di masyarakat. Jangan sampai kebijakan tersebut hanya menyusahkan rakyat. Kalau perlu cabut kebijakan tersebut dan cari solusi lain yang lebih aman," pungkasnya.
(rca)