Percepat Riset dan Pengembangan Inovasi, PKS Tagih Perpres BRIN

Jum'at, 19 Juni 2020 - 10:57 WIB
loading...
Percepat Riset dan Pengembangan Inovasi, PKS Tagih Perpres BRIN
Mulyanto, wakil ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan
A A A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menagih janji pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait pembentukan kelembagaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan, Mulyanto mengatakan, perpres itu menjadi dasar penataan lembaga riset dan inovasi di Indonesia, serta sebagai tindaklanjut dari amanat UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional IPTEK. Dia khawatir ketiadaan perpres kelembagaan BRIN bakal menghambat kegiatan riset dan inovasi teknologi yang harus digesa bangsa ini.

Sebelumnya pemerintah berjanji akan menerbitkan perpres tersebut di akhir tahun 2019. Kemudian mundur menjadi akhir Maret 2020. Tapi hingga akhir semester 2020 ini perpres yang dinanti tidak juga terbit. Mulyanto menilai pemerintah tak serius mengatur urusan riset dan inovasi ini. "Ini sudah lewat 6 bulan sejak BRIN dibentuk tapi Perpres belum ada," katanya dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Jumat (19/6/2020).

(Baca: Legislator PKS Desak Pemerintah Bantu Pendidikan Swasta)

Akibatnya, lanjut dia, banyak pertanyaan dari kalangan peneliti yang merasa bingung dengan arah kebijakan Pemerintah terkait masalah riset dan inovasi ini. "Apakah seluruh lembaga riset pemerintah, termasuk juga Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), yang berdiri berdasarkan undang-undang khusus, juga akan dilebur menjadi satu dalam BRIN?" katanya.

"Bagaimana pula dengan badan litbang di Kementerian teknis, Apakah juga akan ikut dilebur kedalam BRIN? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting dijawab Pemerintah melalui Perpres BRIN. Jangan biarkan berlarut-larut," kata anggota Komisi VII DPR-RI ini.

Dirinya berpendapat, pemerintah seharusnya sesuai pakem yang ada, tidak menunda pembentukan kelembagaan BRIN. Penundaan itu dianggap sangat menghambat kerja pembangunan riset dan inovasi nasional.

"Jangan sampai masyarakat khususnya para peneliti bertanya-tanya, ada apa ini? Ada tarik ulur kepentingan politik apa? Ini preseden buruk," kata Mulyanto.

(Baca: Wacana Peleburan Pelajaran Agama dengan PKn, Zainudin Maliki: Ahistoris!)

Dia melanjutkan, tantangan pembangunan bangsa saat ini sangat berat. Itu sebabnya diperlukan kontribusi bidang riset dan inovasi.

Mulyanto berpendapat bangsa ini sudah melalui masa "boom" komoditas, dimana medan kompetisi industri dan pembangunan telah bergeser dari keunggulan sumberdaya alam (comparative advantage) menuju pada keunggulan bersaing (competitive advantage). Dan nilai tambah serta daya saing produk tersebut sangat dipengaruhi oleh sentuhan teknologi dan inovasi.

Namun ironisnya, kata Mulyanto, indikator produktivitas Indonesia cenderung turun. Tingkat produktivitas pekerja Indonesia dalam periode 2010-2017 berada pada level rendah dengan hanya tumbuh 3,8 persen, lebih lambat jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Thailand (5,3 persen), Vietnam (5,8 persen), Filipina (4,1 persen), dan Kamboja (4,3 persen).

Bahkan, indikator Total Factor Productivity (TFP) Indonesia pada periode yang sama tumbuh negatif -1,5 persen, berada di bawah capaian Thailand (0,6 persen), Malaysia (0,5 persen), Vietnam (1,8 persen), Filipina (1,4 persen), dan Kamboja (1,3 persen).

(Baca: DPR Minta APBN 2021 Didesain Percepat Pemulihan Ekonomi-Sosial)

Untuk dapat lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah dan beralih menjadi negara maju, Mulyanto mendesak pemerintah memaksimalkan pertumbuhan produktivitas melalui peningkatan kualitas SDM dan inovasi teknologi.

"Efisiensi investasi kita juga masih tergolong rendah. Untuk menghasilkan output tertentu, membutuhkan investasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Negara tetangga. Apa penyebabnya? Ini karena lemahnya faktor inovasi teknologi dan kualitas sumber daya manusia kita," ungkapnya.

Menurut dia, inefisisensi investasi itu disebabkan karena semakin turunnya kesiapan teknologi dan kapasitas inovasi Indonesia dalam memanfaatkan investasi yang masuk. Dia mengatakan, pemanfaatan teknologi secara luas dalam proses produksi juga memerlukan pembenahan kualitas sumber daya manusia yang mampu mengikuti perkembangan teknologi, sehingga dapat menjadi tenaga kerja yang handal.

"Karenanya jangan heran kalau yang terjadi adalah de-industrialisasi dini yang berkelanjutan. Sektor industri kita terus merosot sebelum mencapai puncaknya. Pemerintah seharusnya serius membenahi soal ini. Jangan untuk mengurusi kelembagaan BRIN saja, sudah lebih dari 6 bulan belum juga beres. Ini kan aneh," pungkas doktor nuklir lulusan Jepang ini.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5308 seconds (0.1#10.140)