Nalar Kritis Mahasiswa untuk Pemerintah
loading...
A
A
A
Ragil Setyo Cahyono
Wasekjen Kaderisasi PB PMII dan Magister Pascasarjana UI, Kajian Pengembangan Perkotaan
ADA banyak isu kontemporer mengenai kebijakan pemerintah yang harus mendapatkan respons mahasiswa, khususnya organisasi ekstrakampus yang selama ini dikenal doyan kajian, diskusi, dan pengabdian masyarakat. Paling hangat, soal kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), dan gonjang-ganjing perpanjangan masa jabatan presiden sekaligus penundaan pemilihan umum (pemilu).
Tepat pada 1 April 2022, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) menaikkan harga BBM jenis Pertamax menjadi Rp12.500/liter dari Rp 9.000/liter dengan landasan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Kenaikan harga Pertamax sebenarnya imbas invasi Rusia ke Ukraina yang mengakibatkan fluktuasi minyak dunia akibat sanksi energi yang diberikan Barat kepada Rusia.
Berkaca pada realisasi subsidi energi pada 2021, Pemerintah Indonesia membukukan Rp142 triliun, di mana jumlah tersebut melonjak 30,5% dari 2020 yang tercatat sebesar Rp108,8 triliun. Apabila BBM nonsubsidi seperti Petamax tidak naik, maka BBM bersubsidi yang diberikan pemerintah ke produk Pertalite dipastikan menambah beban APBN.
Namun, kenaikan harga BBM Pertamax berpotensi memicu peralihan penggunaan Pertalite besar-besaran lantaran perbandingan harga hampir 200%, yakni Rp12.500/liter dengan Rp7.650/liter. Meski belum terbukti, peralihan ini mengancam kelangkaan Pertalite dengan statusnya sebagai BBM subsidi yang telah dibatasi dengan kuota 23,05 juta kilo liter sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 tentang Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).
Bayangan Mobilitas Pemudik
Kurang tepatnya lagi, kenaikan Pertamax ini terjadi saat pemerintah memberikan lampu hijau mudik Idulfitri yang secara historis tingkat konsumsi masyarakat meningkat dan naiknya sejumlah komoditas. Seyogianya, pemerintah mengutak-atik kebijakan agar kenaikan Pertamax dapat ditahan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi nasional di tengah terpaan fluktuasi harga minyak dunia.
Begitu juga dengan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang berpatokan pada Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Pemerintah memperkirakan target inflasi sebesar 2% hingga 4% dan semoga tidak meleset jauh. Perkiraan tersebut di luar dari efek Lebaran 2022 setelah keputusan pemerintah yang membolehkan masyarakat mudik ke kampung halaman. Tentu, target inflasi bisa saja berhasil jika pemerintah dan Bank Indonesia berhasil mengurangi risiko yang mengakibatkan inflasi serta menstabilkan kenaikan harga pangan. Namun, inflasi Indonesia tahun ini diperkirakan melebihi target maksimal dari 4% sebab memasuki kuartal II/2022 telah terjadi kenaikan harga lebih dahulu yang dipicu tekanan global.
Selain kebijakan, pemerintah juga melempar bola liar tentang wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 yang sejatinya dipantik Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dengan meminjam nama para pengusaha sebagai pandangan pada Januari 2022. Bagaimanapun perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 sangat sensitif yang mengusik semangat reformasi untuk membatasi masa jabatan presiden agar kepemimpinan sebelumnya tak terulang. Isu ini berpotensi mencederai demokrasi melalui perubahan amendeman Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun begitu, secara lisan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melarang menterinya berbicara perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu serta menyatakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia tetap sesuai tahapan dan mengikuti jadwal, yakni 14 Februari 2024.
Menggugah Nalar Kritis Mahasiswa
Banyak kelompok mahasiswa merespons setiap detail kebijakan pemerintah dengan aksi dan demonstrasi. Tidak menyayangkan aksi dan demonstrasi untuk membendung keputusan pemerintah yang tidak prorakyat. Namun, sebagai kaum intelektual, mahasiswa dituntut untuk memberikan sumbangsihnya lewat pemikiran kritis serta konstruktif dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Baiknya, mahasiswa yang melayangkan tuntutan untuk mengubah dan memengaruhi kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat memulainya dengan kajian yang komprehensif. Pasti memiliki daya ledak yang luar biasa bila mereka yang selama ini berteriak-teriak menyuarakan tuntutannya membingkai ide dan gagasan melalui kajian, apalagi dalam bentuk policy brief. Alangkah kuatnya suara para mahasiswa dari semua elemen, baik organisasi intra maupun organisasi ekstra bila buah pikiran mereka memenuhi isi kolom-kolom dan pemberitaan media massa. Terlebih lagi jika mereka mampu menjadi key opinion leader (KOL) yang memiliki keahlian sesuai bidangnya dan pendapatnya benar-benar didengar masyarakat secara luas. Dahsyat, pasti.
Sejarah baru akan terukir jika setiap organisasi mahasiswa berhasil memengaruhi, bahkan mengubah kebijakan pemerintah melalui kajian yang telah digelar di mana-mana dan tersiar di berbagai penjuru Nusantara.
Mari utamakan sikap kritis terhadap pemerintah, terutama mengenai isu sensitif terhadap publik seperti kenaikan harga BBM, kenaikan PPN, dan gonjang-ganjing perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 melalui sebuah kajian. Mantapkan pilih untuk turun jalan bila gagasan tak lagi mempan memengaruhi kebijakan pemerintah. Saatnya kembali ke khitah dengan memegang teguh independensi sebagai kalangan oposisi yang mengontrol kekuasaan agar pemerintah tak sewenang-wenang dalam rangka mewujudkan tujuan negara dan cita-cita bangsa.
Teruntuk seluruh mahasiswa Indonesia, jangan hanya turun jalan karena sikap reaktif saja, tetapi pahamilah masalahnya. Mari budayakan mengkaji terlebih dahulu sehingga apa yang nanti diperjuangkan penuh makna dengan semangat yang menggelora untuk mewujudkan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Republik Indonesia.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
Wasekjen Kaderisasi PB PMII dan Magister Pascasarjana UI, Kajian Pengembangan Perkotaan
ADA banyak isu kontemporer mengenai kebijakan pemerintah yang harus mendapatkan respons mahasiswa, khususnya organisasi ekstrakampus yang selama ini dikenal doyan kajian, diskusi, dan pengabdian masyarakat. Paling hangat, soal kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), dan gonjang-ganjing perpanjangan masa jabatan presiden sekaligus penundaan pemilihan umum (pemilu).
Tepat pada 1 April 2022, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) menaikkan harga BBM jenis Pertamax menjadi Rp12.500/liter dari Rp 9.000/liter dengan landasan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Kenaikan harga Pertamax sebenarnya imbas invasi Rusia ke Ukraina yang mengakibatkan fluktuasi minyak dunia akibat sanksi energi yang diberikan Barat kepada Rusia.
Berkaca pada realisasi subsidi energi pada 2021, Pemerintah Indonesia membukukan Rp142 triliun, di mana jumlah tersebut melonjak 30,5% dari 2020 yang tercatat sebesar Rp108,8 triliun. Apabila BBM nonsubsidi seperti Petamax tidak naik, maka BBM bersubsidi yang diberikan pemerintah ke produk Pertalite dipastikan menambah beban APBN.
Namun, kenaikan harga BBM Pertamax berpotensi memicu peralihan penggunaan Pertalite besar-besaran lantaran perbandingan harga hampir 200%, yakni Rp12.500/liter dengan Rp7.650/liter. Meski belum terbukti, peralihan ini mengancam kelangkaan Pertalite dengan statusnya sebagai BBM subsidi yang telah dibatasi dengan kuota 23,05 juta kilo liter sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 tentang Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).
Bayangan Mobilitas Pemudik
Kurang tepatnya lagi, kenaikan Pertamax ini terjadi saat pemerintah memberikan lampu hijau mudik Idulfitri yang secara historis tingkat konsumsi masyarakat meningkat dan naiknya sejumlah komoditas. Seyogianya, pemerintah mengutak-atik kebijakan agar kenaikan Pertamax dapat ditahan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi nasional di tengah terpaan fluktuasi harga minyak dunia.
Begitu juga dengan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang berpatokan pada Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Pemerintah memperkirakan target inflasi sebesar 2% hingga 4% dan semoga tidak meleset jauh. Perkiraan tersebut di luar dari efek Lebaran 2022 setelah keputusan pemerintah yang membolehkan masyarakat mudik ke kampung halaman. Tentu, target inflasi bisa saja berhasil jika pemerintah dan Bank Indonesia berhasil mengurangi risiko yang mengakibatkan inflasi serta menstabilkan kenaikan harga pangan. Namun, inflasi Indonesia tahun ini diperkirakan melebihi target maksimal dari 4% sebab memasuki kuartal II/2022 telah terjadi kenaikan harga lebih dahulu yang dipicu tekanan global.
Selain kebijakan, pemerintah juga melempar bola liar tentang wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 yang sejatinya dipantik Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dengan meminjam nama para pengusaha sebagai pandangan pada Januari 2022. Bagaimanapun perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 sangat sensitif yang mengusik semangat reformasi untuk membatasi masa jabatan presiden agar kepemimpinan sebelumnya tak terulang. Isu ini berpotensi mencederai demokrasi melalui perubahan amendeman Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun begitu, secara lisan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melarang menterinya berbicara perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu serta menyatakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia tetap sesuai tahapan dan mengikuti jadwal, yakni 14 Februari 2024.
Menggugah Nalar Kritis Mahasiswa
Banyak kelompok mahasiswa merespons setiap detail kebijakan pemerintah dengan aksi dan demonstrasi. Tidak menyayangkan aksi dan demonstrasi untuk membendung keputusan pemerintah yang tidak prorakyat. Namun, sebagai kaum intelektual, mahasiswa dituntut untuk memberikan sumbangsihnya lewat pemikiran kritis serta konstruktif dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Baiknya, mahasiswa yang melayangkan tuntutan untuk mengubah dan memengaruhi kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat memulainya dengan kajian yang komprehensif. Pasti memiliki daya ledak yang luar biasa bila mereka yang selama ini berteriak-teriak menyuarakan tuntutannya membingkai ide dan gagasan melalui kajian, apalagi dalam bentuk policy brief. Alangkah kuatnya suara para mahasiswa dari semua elemen, baik organisasi intra maupun organisasi ekstra bila buah pikiran mereka memenuhi isi kolom-kolom dan pemberitaan media massa. Terlebih lagi jika mereka mampu menjadi key opinion leader (KOL) yang memiliki keahlian sesuai bidangnya dan pendapatnya benar-benar didengar masyarakat secara luas. Dahsyat, pasti.
Sejarah baru akan terukir jika setiap organisasi mahasiswa berhasil memengaruhi, bahkan mengubah kebijakan pemerintah melalui kajian yang telah digelar di mana-mana dan tersiar di berbagai penjuru Nusantara.
Mari utamakan sikap kritis terhadap pemerintah, terutama mengenai isu sensitif terhadap publik seperti kenaikan harga BBM, kenaikan PPN, dan gonjang-ganjing perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 melalui sebuah kajian. Mantapkan pilih untuk turun jalan bila gagasan tak lagi mempan memengaruhi kebijakan pemerintah. Saatnya kembali ke khitah dengan memegang teguh independensi sebagai kalangan oposisi yang mengontrol kekuasaan agar pemerintah tak sewenang-wenang dalam rangka mewujudkan tujuan negara dan cita-cita bangsa.
Teruntuk seluruh mahasiswa Indonesia, jangan hanya turun jalan karena sikap reaktif saja, tetapi pahamilah masalahnya. Mari budayakan mengkaji terlebih dahulu sehingga apa yang nanti diperjuangkan penuh makna dengan semangat yang menggelora untuk mewujudkan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Republik Indonesia.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
(bmm)