Survei: 89 Persen Publik Tolak Presiden 3 Periode
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Hal tersebut berdasarkan hasil survei yang dilakukan Pro-institute, lembaga nirlaba yang konsen terhadap isu kebijakan publik.
Dalam survei opinion leader yang dilakukan pada Februari dan Maret 2022 itu, sebanyak 89 persen responden menyatakan tidak setuju terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode . Hanya 11 persen responden yang menyatakan setuju.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode disikapi lebih merepresentasikan kepentingan politik elite atau oligarki politik ketimbang masyarakat luas. Wacana tersebut juga dinilai akan merusak tatanan demokrasi yang menjadi agenda reformasi politik tahun 1998 dan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.
Adapun survei itu dilakukan terhadap 400 responden dari kalangan profesional, NGO, akademisi, jurnalis, dan asosiasi usaha. Survei itu dilakukan di sepuluh kota, yaitu Medan, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Mataram, dan Ambon.
CEO dari Pro-Institute Kurniawan Zein mengatakan bahwa partai politik dalam isu perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode perlu mendengar suara dari masyarakat yang secara subtanstif merupakan pemilik kedaulatan kekuasaan sesungguhnya. “Pengabaian terhadap suara masyarakat merupakan bentuk arogansi politik yang akan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap partai politik,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/4/2022).
Padahal, kata dia, kepercayaan merupakan hal yang sangat elementer dalam demokrasi. “Pembatasan masa jabatan presiden, bagaimanapun, memiliki sejarah politik yang dalam, hasil dari reformasi politik 1998, sebagai antitesa dari rezim dari Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang menempatkan pemilu hanya bersifat instrumentatif terhadap kepentingan kekuasaan dan melanggengkan KKN,” ungkapnya.
Pro-Institute juga menyurvei tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah mendekati dua periode. Hasilnya, kata dia, 44 persen responden merasa puas dengan kinerja pemerintahan Presiden Jokowi.
Kemudian, 56 persen merasa tidak puas. “Penilaian ini tentunya dapat dikatakan sebagai sikap dari publik yang mulai merasa tidak puas terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan beberapa faktor yang memengaruhi perasaan puas masyarakat terhadap kinerja pemerintahaan Presiden Jokowi. Di antaranya, kelangkaan sekaligus naiknya harga minyak goreng, kenaikan harga beberapa komoditi yang disebabkan oleh kenaikan pajak penambahan nilai menjadi 11 persen.
Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax juga menjadi salah satunya. “Penilaian ini tentunya dapat menjadi preseden yang tidak baik bagi Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya di periode kedua ini,” pungkasnya.
Dalam survei opinion leader yang dilakukan pada Februari dan Maret 2022 itu, sebanyak 89 persen responden menyatakan tidak setuju terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode . Hanya 11 persen responden yang menyatakan setuju.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode disikapi lebih merepresentasikan kepentingan politik elite atau oligarki politik ketimbang masyarakat luas. Wacana tersebut juga dinilai akan merusak tatanan demokrasi yang menjadi agenda reformasi politik tahun 1998 dan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.
Adapun survei itu dilakukan terhadap 400 responden dari kalangan profesional, NGO, akademisi, jurnalis, dan asosiasi usaha. Survei itu dilakukan di sepuluh kota, yaitu Medan, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Mataram, dan Ambon.
CEO dari Pro-Institute Kurniawan Zein mengatakan bahwa partai politik dalam isu perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode perlu mendengar suara dari masyarakat yang secara subtanstif merupakan pemilik kedaulatan kekuasaan sesungguhnya. “Pengabaian terhadap suara masyarakat merupakan bentuk arogansi politik yang akan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap partai politik,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/4/2022).
Padahal, kata dia, kepercayaan merupakan hal yang sangat elementer dalam demokrasi. “Pembatasan masa jabatan presiden, bagaimanapun, memiliki sejarah politik yang dalam, hasil dari reformasi politik 1998, sebagai antitesa dari rezim dari Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang menempatkan pemilu hanya bersifat instrumentatif terhadap kepentingan kekuasaan dan melanggengkan KKN,” ungkapnya.
Pro-Institute juga menyurvei tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah mendekati dua periode. Hasilnya, kata dia, 44 persen responden merasa puas dengan kinerja pemerintahan Presiden Jokowi.
Kemudian, 56 persen merasa tidak puas. “Penilaian ini tentunya dapat dikatakan sebagai sikap dari publik yang mulai merasa tidak puas terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan beberapa faktor yang memengaruhi perasaan puas masyarakat terhadap kinerja pemerintahaan Presiden Jokowi. Di antaranya, kelangkaan sekaligus naiknya harga minyak goreng, kenaikan harga beberapa komoditi yang disebabkan oleh kenaikan pajak penambahan nilai menjadi 11 persen.
Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax juga menjadi salah satunya. “Penilaian ini tentunya dapat menjadi preseden yang tidak baik bagi Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya di periode kedua ini,” pungkasnya.
(rca)