Nyawa Sudah di Ujung Senapan, Prajurit TNI AU Ini Lolos dari Maut karena Pangkat Kopral
loading...
A
A
A
JAKARTA - Operasi Serigala di Papua masih tertanam kuat dalam ingatan Lettu Purn Kuswari. Dalam operasi tersebut, prajurit Pasukan Gerak Tjepat (PGT) kini bernama Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU ini nyaris tewas di tangan musuh.
Beruntung nyawanya masih selamat. Uniknya, Kuswari selamat lantaran pangkat Kopral yang disandangnya saat itu. Peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya tersebut terjadi ketika Kuswari mendapat perintah untuk ikut dalam Operasi Serigala merebut Irian Barat sekarang Papua dari Belanda.
Dalam operasi tersebut, Kuswari dan timnya mengemban misi khusus yang cukup berat yakni, melemahkan kekuatan Belanda, melakukan sabotase termasuk misi pengibaran Bendera Merah Putih. Operasi tersebut dilakukan lantaran Belanda melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) dan tidak mau menyerahkan Papua kepada Indonesia.
”Tim saya berjumlah 81 orang PGT di bawah Letnan Muda Udara (LMU) sekarang Peltu Suhadi merangkap Dantim,” kenang Kuswari dikutip dari buku “Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan” yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau) Senin, (11/4/2022).
Kuswari kemudian diterjunkan di daerah Sorong, pada 19 Mei 1962, dua hari setelah penerjunan Komandan Kompi LU I Lambertus Manuhua dan Danton Sersan Muda Udara (SMU) Soepangat pada 17 Mei di daerah Sorong. Hal itu dilakukan karena penerjunan pertama gagal akibat cuaca buruk. “Saya sebagai Komandan Regu plus penembak mortir 55. Tim saya sesuai rencana awal akan diterjunkan di daerah Sorong,” ucapnya.
Tepat pukul 01.00 dinihari, Kuswari dan rekan-rekannya diterbangkan dengan menggunakan pesawat angkut C-130 Hercules dari Pangkalan Udara Laha, Ambon ke lokasi dropping zone. Ketika waktu menunjukkan pukul 03.00, satu persatu prajurit Baret Jingga ini terjun di tengah malam gelap gulita. Nahas, dalam penerjunan tersebut, Kuswari tersangkut pohon dengan ketinggian di atas 20 meter.
”Saya panik karena tidak bisa turun ke bawah. Saya dibekali tali tidak cukup untuk turun ke tanah. Akhirnya saya memutuskan untuk istirahat di atas pohon sambil menunggu pagi untuk turun,” katanya.
Keesokan paginya sekitar pukul 06.00, Kuswari turun dengan cara terjun bebas. Beruntung, dirinya tidak mengalami cidera. Kehadiran Kuswari dan rekan-rekannya di Papua ternyata sudah tercium oleh Belanda. Menggunakan pesawat Neptune, tentara Belanda melakukan pengeboman ke lokasi Kuswari.
Untuk menghindari patroli pewasat Belanda, Kuswari masuk ke dalam hutan. Meski begitu, Kuswari sempat menyaksikan pasukan Kopasgat mengibarkan Bendera Merah Putih. ”Pada 21 Mei saya bersama teman-teman PGT lainnya ikut menyaksikan pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Teminabuan, di Kampung Wersar,” kata Kuswari.
Saat itu, Sersan Muda Udara (SMU) Mengko mengeluarkan bendera Merah Putih dari ranselnya dan memerintahkan salah satu anggotanya menebang pohon untuk dijadikan tiang. Setelah menyaksikan pengibaran bendera tersebut, Kuswari melanjutkan misi operasinya yakni melemahkan kekuatan Belanda.
Saat hendak menuju Kampung Wersar, Kuswari bertemu relawan berseragam Belanda berjumlah empat orang bersenjata parang dan tombak. Saat hendak disergap, Kuswari dengan sigap menodongkan senjatanya hingga membuat mereka takut. Salah seorang relawan yang mengetahui Kuswari sedang kelaparan kemudian menawarkan makanan berupa sagu.
Lettu (Purn) Kuswari mengenang penerjunan di Teminabuan, Papua. Foto/istimewa
Kuswari yang tidak menyadari jika tawaran itu hanya sebuah jebakan kemudian mengambilnya. Saat akan mengambil sagu, tiba-tiba keempat petugas patroli tersebut langsung memukul Kuswari dengan parang hingga dirinya jatuh tak sadarkan diri. Kuswari pun langsung dibawa ke kamp tahanan.
Berada di kamp tahanan, Kuswari mengalami penyiksaan yang cukup kejam. Selain dipukuli, Kuswari juga dijemur di lapangan di tengah terik matahari yang menyengat. ”Saat baju saya dibuka, badan saya sudah banyak dikerubuti lintah atau pacet,” tuturnya.
Tidak hanya itu, pria yang kenyang dengan berbagai penugasan di medan operasi seperti penumpasan pemberontak Permesta dan DII/TII ini juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana perlakuan tidak manusiawi terhadap para tahanan oleh tentara KNIL Belanda dan relawan Belanda.
“Saya sempat didatangi oleh relawan Belanda berjumlah enam orang dengan membawa senapan yang siap menembak. Para relawan tersebut memaki, memukuli dan menendang saya. Dalam keadaan yang mencekam, Alhamdulillah saya ditolong oleh seorang Sersan Marinir Belanda,” ujarnya.
Saat itu, seorang Sersan Marinir Belanda datang dan langsung mengusir para relawan yang tengah menyiksanya. Merasa nyawanya di selamatkan, pria kelahiran Malang, 6 Mei 1953 ini kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada Sersan Marinir Belanda tersebut.
”Saya ingat saat perang Korea, pangkat saya Kopral. Pada saat itu saya diserang oleh pasukan dari RRC yang membantu Korea Utara. Saya lari ke hutan untuk menyelamatkan diri selama 10 hari kemudian ditolong oleh helicopter Amerika. Dari peristiwa yang saya alami, saya jadi teringat kamu,” ujar Kuswari menirukan ucapan Marinir Belanda tersebut.
”Saya ingin menolong kamu, di mana tadi saat dirimu akan ditembak oleh para relawan itu, hati saya menjadi iba,” ucap tentara Belanda tersebut kepada Kuswari.
Tidak hanya itu, Marinir Belanda itu juga meminta Kuswari agar tidak jauh-jauh darinya agar terhindar dari penyiksaan yang dilakukan oleh relawan dan tentara KNIL. “Je ikut saya, jangan jauh-jauh dari saya, kamu nanti ketemu tentara KNIL malah nanti diperlakukan tidak manusiawi.
Perintah tersebut pun langsung diikuti Kuswari. Apa yang dikhawatirkan Marinir Belanda terbukti, Kuswari kemudian bertemu dengan tentara KNIL dan relawan Belanda yang langsung memakinya dengan perkataan kasar. Beruntung, Kuswari tidak mengalami penyiksaan karena berada di dekat Marinir Belanda.
Setelah perjanjian damai Belanda-Indonesia dan perintah penghentian tembak menembak serta diberlakukannya pemerintahaan UNTEA di Irian Barat, kekuasaan Belanda pun dinyatakan berakhir. Sejak pengumuman itu, seluruh tentara Indonesia dan sukarelawan keluar dari hutan-hutan di Papua.
”Saya diangkut dengan pesawat Hercules Amerika dari Irian Barat ke Bandara Kemayoran, Jakarta. Setibanya di Jakarta saya sempat kaget mendapat penghormatan senjata. Ternyata penghormatan senjata itu karena saya dan teman-teman dianggap telah gugur dalam Operasi Trikora,” ucapnya
Beruntung nyawanya masih selamat. Uniknya, Kuswari selamat lantaran pangkat Kopral yang disandangnya saat itu. Peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya tersebut terjadi ketika Kuswari mendapat perintah untuk ikut dalam Operasi Serigala merebut Irian Barat sekarang Papua dari Belanda.
Dalam operasi tersebut, Kuswari dan timnya mengemban misi khusus yang cukup berat yakni, melemahkan kekuatan Belanda, melakukan sabotase termasuk misi pengibaran Bendera Merah Putih. Operasi tersebut dilakukan lantaran Belanda melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) dan tidak mau menyerahkan Papua kepada Indonesia.
”Tim saya berjumlah 81 orang PGT di bawah Letnan Muda Udara (LMU) sekarang Peltu Suhadi merangkap Dantim,” kenang Kuswari dikutip dari buku “Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan” yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau) Senin, (11/4/2022).
Kuswari kemudian diterjunkan di daerah Sorong, pada 19 Mei 1962, dua hari setelah penerjunan Komandan Kompi LU I Lambertus Manuhua dan Danton Sersan Muda Udara (SMU) Soepangat pada 17 Mei di daerah Sorong. Hal itu dilakukan karena penerjunan pertama gagal akibat cuaca buruk. “Saya sebagai Komandan Regu plus penembak mortir 55. Tim saya sesuai rencana awal akan diterjunkan di daerah Sorong,” ucapnya.
Tepat pukul 01.00 dinihari, Kuswari dan rekan-rekannya diterbangkan dengan menggunakan pesawat angkut C-130 Hercules dari Pangkalan Udara Laha, Ambon ke lokasi dropping zone. Ketika waktu menunjukkan pukul 03.00, satu persatu prajurit Baret Jingga ini terjun di tengah malam gelap gulita. Nahas, dalam penerjunan tersebut, Kuswari tersangkut pohon dengan ketinggian di atas 20 meter.
”Saya panik karena tidak bisa turun ke bawah. Saya dibekali tali tidak cukup untuk turun ke tanah. Akhirnya saya memutuskan untuk istirahat di atas pohon sambil menunggu pagi untuk turun,” katanya.
Keesokan paginya sekitar pukul 06.00, Kuswari turun dengan cara terjun bebas. Beruntung, dirinya tidak mengalami cidera. Kehadiran Kuswari dan rekan-rekannya di Papua ternyata sudah tercium oleh Belanda. Menggunakan pesawat Neptune, tentara Belanda melakukan pengeboman ke lokasi Kuswari.
Untuk menghindari patroli pewasat Belanda, Kuswari masuk ke dalam hutan. Meski begitu, Kuswari sempat menyaksikan pasukan Kopasgat mengibarkan Bendera Merah Putih. ”Pada 21 Mei saya bersama teman-teman PGT lainnya ikut menyaksikan pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Teminabuan, di Kampung Wersar,” kata Kuswari.
Saat itu, Sersan Muda Udara (SMU) Mengko mengeluarkan bendera Merah Putih dari ranselnya dan memerintahkan salah satu anggotanya menebang pohon untuk dijadikan tiang. Setelah menyaksikan pengibaran bendera tersebut, Kuswari melanjutkan misi operasinya yakni melemahkan kekuatan Belanda.
Saat hendak menuju Kampung Wersar, Kuswari bertemu relawan berseragam Belanda berjumlah empat orang bersenjata parang dan tombak. Saat hendak disergap, Kuswari dengan sigap menodongkan senjatanya hingga membuat mereka takut. Salah seorang relawan yang mengetahui Kuswari sedang kelaparan kemudian menawarkan makanan berupa sagu.
Lettu (Purn) Kuswari mengenang penerjunan di Teminabuan, Papua. Foto/istimewa
Kuswari yang tidak menyadari jika tawaran itu hanya sebuah jebakan kemudian mengambilnya. Saat akan mengambil sagu, tiba-tiba keempat petugas patroli tersebut langsung memukul Kuswari dengan parang hingga dirinya jatuh tak sadarkan diri. Kuswari pun langsung dibawa ke kamp tahanan.
Berada di kamp tahanan, Kuswari mengalami penyiksaan yang cukup kejam. Selain dipukuli, Kuswari juga dijemur di lapangan di tengah terik matahari yang menyengat. ”Saat baju saya dibuka, badan saya sudah banyak dikerubuti lintah atau pacet,” tuturnya.
Tidak hanya itu, pria yang kenyang dengan berbagai penugasan di medan operasi seperti penumpasan pemberontak Permesta dan DII/TII ini juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana perlakuan tidak manusiawi terhadap para tahanan oleh tentara KNIL Belanda dan relawan Belanda.
“Saya sempat didatangi oleh relawan Belanda berjumlah enam orang dengan membawa senapan yang siap menembak. Para relawan tersebut memaki, memukuli dan menendang saya. Dalam keadaan yang mencekam, Alhamdulillah saya ditolong oleh seorang Sersan Marinir Belanda,” ujarnya.
Saat itu, seorang Sersan Marinir Belanda datang dan langsung mengusir para relawan yang tengah menyiksanya. Merasa nyawanya di selamatkan, pria kelahiran Malang, 6 Mei 1953 ini kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada Sersan Marinir Belanda tersebut.
”Saya ingat saat perang Korea, pangkat saya Kopral. Pada saat itu saya diserang oleh pasukan dari RRC yang membantu Korea Utara. Saya lari ke hutan untuk menyelamatkan diri selama 10 hari kemudian ditolong oleh helicopter Amerika. Dari peristiwa yang saya alami, saya jadi teringat kamu,” ujar Kuswari menirukan ucapan Marinir Belanda tersebut.
”Saya ingin menolong kamu, di mana tadi saat dirimu akan ditembak oleh para relawan itu, hati saya menjadi iba,” ucap tentara Belanda tersebut kepada Kuswari.
Tidak hanya itu, Marinir Belanda itu juga meminta Kuswari agar tidak jauh-jauh darinya agar terhindar dari penyiksaan yang dilakukan oleh relawan dan tentara KNIL. “Je ikut saya, jangan jauh-jauh dari saya, kamu nanti ketemu tentara KNIL malah nanti diperlakukan tidak manusiawi.
Perintah tersebut pun langsung diikuti Kuswari. Apa yang dikhawatirkan Marinir Belanda terbukti, Kuswari kemudian bertemu dengan tentara KNIL dan relawan Belanda yang langsung memakinya dengan perkataan kasar. Beruntung, Kuswari tidak mengalami penyiksaan karena berada di dekat Marinir Belanda.
Setelah perjanjian damai Belanda-Indonesia dan perintah penghentian tembak menembak serta diberlakukannya pemerintahaan UNTEA di Irian Barat, kekuasaan Belanda pun dinyatakan berakhir. Sejak pengumuman itu, seluruh tentara Indonesia dan sukarelawan keluar dari hutan-hutan di Papua.
”Saya diangkut dengan pesawat Hercules Amerika dari Irian Barat ke Bandara Kemayoran, Jakarta. Setibanya di Jakarta saya sempat kaget mendapat penghormatan senjata. Ternyata penghormatan senjata itu karena saya dan teman-teman dianggap telah gugur dalam Operasi Trikora,” ucapnya
(cip)