YLBHI: Revisi UU P3 Akal-akalan DPR Justifikasi UU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI ) M. Isnur mengungkapkan revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) adalah upaya justifikasi terhadap UU Cipta Kerja yang bermasalah. Pada 7 April 2022, Baleg menggelar rapat kerja bersama pemerintah membahas RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011.
Baleg menargetkan pembahasan revisi UU P3 selesai sebelum masa persidangan DPR saat ini berakhir pada 14 April 2022.
"Merespons Revisi UU P3 yang saat ini sedang berjalan, YLBHI menyatakan sikap bahwa Revisi UU P3 merupakan upaya DPR RI dan Pemerintah untuk mensiasati UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020," ujar Isnur, Minggu (10/4/2022).
Ia mengungkapkan siasat ini untuk memberikan justifikasi terhadap UU Ciptaker. "Dalam hal ini, Pemerintah dan DPR kembali bertindak di luar aturan main negara hukum, di mana putusan MK bersifat mengikat semua orang (erga omnes) khususnya bagi pemerintah," kata dia.
Pemerintah dan DPR, kata Isnur, seharusnya mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 untuk melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker dalam dua hal yaitu melibatkan pastisipasi masyarakat secara sungguh-sungguh dan menyesuaikan metode penyusunan UU Ciptaker dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Revisi UU P3 tidak seharusnya dilakukan secara sporadis dan tergesa-gesa hanya karena ingin memberi justifikasi terhadap UU Ciptaker, karena proses revisi ini akan mengulangi/menyerupai kesalahan yang sama dengan proses penyusunan UU Ciptaker dan revisi UU KPK yang mencederai partisipasi masyarakat," terang Isnur.
Selain itu kata Isnur, revisi terbatas UU P3 yang masuk melalui jalur Non-Prolegnas/Daftar Kumulatif Terbuka sangat membahayakan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena semestinya dibuat secara hati-hati dengan semangat perbaikan sistem peraturan perundang-undangan.
"Namun demikian, Revisi UU P3 secara mutatis-mutandis tidak akan mengubah keadaan inkonstitusionalitas bersyarat UU Ciptaker karena Indonesia menganut asas Non-Retroaktif yaitu suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut," jelas M. Isnur.
Berdasarkan argumen tersebut, maka pihaknya mendesak DPR RI dan Pemerintah agar menghentikan semua proses Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang saat ini sedang berjalan.
"Pemerintah dan DPR agar mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker dan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna," kata Isnur.
Baleg menargetkan pembahasan revisi UU P3 selesai sebelum masa persidangan DPR saat ini berakhir pada 14 April 2022.
"Merespons Revisi UU P3 yang saat ini sedang berjalan, YLBHI menyatakan sikap bahwa Revisi UU P3 merupakan upaya DPR RI dan Pemerintah untuk mensiasati UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020," ujar Isnur, Minggu (10/4/2022).
Baca Juga
Ia mengungkapkan siasat ini untuk memberikan justifikasi terhadap UU Ciptaker. "Dalam hal ini, Pemerintah dan DPR kembali bertindak di luar aturan main negara hukum, di mana putusan MK bersifat mengikat semua orang (erga omnes) khususnya bagi pemerintah," kata dia.
Pemerintah dan DPR, kata Isnur, seharusnya mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 untuk melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker dalam dua hal yaitu melibatkan pastisipasi masyarakat secara sungguh-sungguh dan menyesuaikan metode penyusunan UU Ciptaker dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Revisi UU P3 tidak seharusnya dilakukan secara sporadis dan tergesa-gesa hanya karena ingin memberi justifikasi terhadap UU Ciptaker, karena proses revisi ini akan mengulangi/menyerupai kesalahan yang sama dengan proses penyusunan UU Ciptaker dan revisi UU KPK yang mencederai partisipasi masyarakat," terang Isnur.
Selain itu kata Isnur, revisi terbatas UU P3 yang masuk melalui jalur Non-Prolegnas/Daftar Kumulatif Terbuka sangat membahayakan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena semestinya dibuat secara hati-hati dengan semangat perbaikan sistem peraturan perundang-undangan.
"Namun demikian, Revisi UU P3 secara mutatis-mutandis tidak akan mengubah keadaan inkonstitusionalitas bersyarat UU Ciptaker karena Indonesia menganut asas Non-Retroaktif yaitu suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut," jelas M. Isnur.
Berdasarkan argumen tersebut, maka pihaknya mendesak DPR RI dan Pemerintah agar menghentikan semua proses Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang saat ini sedang berjalan.
"Pemerintah dan DPR agar mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker dan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna," kata Isnur.
(muh)