Vonis Dokter Terawan Jangan Matikan Nalar Progresif
loading...
A
A
A
Dokter Terawan Agus Putranto benar-benar tamat. Dia akhirnya tak berkutik setelah Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) memvonisnya dengan sanksi yang ekstra berat, yakni pencopotan permanen dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Vonis ini dibacakan di tengah agenda Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh, Jumat (25/3) lalu.
Imbas vonis ini tentu multikompleks. Tapi yang utama adalah Terawan tak punya lagi hak praktik kedokteran. Ini berat karena ibarat orang yang yang tengah memilikisupercaranyar, namun tak bisa menjajal sedikitpun tunggangannya karena tiba-tiba SIM-nya dicabut selamanya.
Kendati ini bukan yang pertama Terawan berseteru dengan IDI, namun putusan kali ini sangatlah telak. Pada 2018 silam atau kala Muktamar IDI di Samarinda, mantan menteri kesehatan ini pernah dicap IDI dengan kesalahan berjenisserious ethical misconductterkait metode temuanya cuci otak ataudigital subtraction angiogram(DSA).
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada babak berikutnya. Apakah Terawan melawan atau pasrah karena tak ada pilihan. Kita juga masih melihat sejauhmana publik merespons kebijakan IDI via MKEK ini. Apakah misalnya simpati dan dukungan publik mampu memengaruhi putusan seperti empat tahun silam.
Yang pasti, kendati vonis ini bersifat etik, namun bukan lantas bebas dari kritik. Apalagi dalam kerangka membangun tatanan dunia kesehatan yang menuntut cara bekerja prudent sekaligus dinamis, perubahan kognisi ataupun regulasi adalah sebuah keniscayaan.
Setidaknya ada empat poin penting di tengah geger baru vonis terhadap sang dokter penemu vaksin Nusantara ini.Pertama, vonis pencopotan terhadap Terawan adalah menjadi hak sepenuhnya IDI/MKEK dalam kerangka menjalankan regulasi institusi yang telah disepakati bersama.
Meski kontroversial, jelas pemutus vonis ini tentu tidak bekerja serampangan. Selain itu, vonis ini mempertimbangkan sejauhmana tingkat kesalahan dokter Terawan.
Kedua, lantaran isu ini telah menjadi konsumsi publik secara luas, sudah saatnya vonis terhadap Terawan ini dijelaskan secara gamblang. Ini bertujuan memberikan informasi yang komprehensif sekaligus mengantisipasi reduksi isi yang sangat mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu atau temporal. Pada hal ini, kita melihat IDI belum melakukannya dengan maksimal.
Ketiga, jika benar yang menjadi dosa terbesar Terawan adalah keengganannya memenuhi perintah MKEK pada 2018 untuk memperkuat aspek ilmiah atas terobosannya, sangatlah terang bahwa benang merah persoalan ini ada pada faktor etik. Dan faktor etik ini harus dipisah dengan sisi inovasi yang hakikatnya bagian kontribusi seseorang untuk memajukan dunia kesehatan. Meski secara etika belum bisa dibenarkan, namun publik mengetahui dan merasakan bahwa inovasi yang dilakukan Terawan sangatlah bermanfaat lantaran mujarab.
Soal pentingnya inovasi ini juga sempat ditekankan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Nova Iriansyah di depan para dokter kala pembukaan muktamar IDI, pekan lalu.
Semua juga tahu, pasien atas temuan Terawan ini tak hanya warga biasa atau tentara yang merupakan institusi tempat bekerjanya. Namun Terawan juga telah dipercaya mereka yang berstatus presiden, pejabat lembaga tinggi hingga orang-orang luar negeri.
Keempat, apa yang dilakukan oleh dokter Terawan ini sejatinya bagian langkah progresif seorang ahli medis. Terawan tentu tidak sembrono. Bahkan soal DSA sendiri merupakan hasil penelitian desertasinya. Artinya, secara ilmiah juga memiliki dasar. Namun faktanya masih adagapantara inovasi dan regulasi institusi yang menaunginya. Dalam situasi ini, tentu mengedepankan aspek rasional tentu lebih utama ketimbang emosional.
Terawan membuktikan bukan dokter yang gampang diam atau monoton menjalankan teori guru-gurunya. Inovasi cuci otak, vaksin Nusantara adalah di antara contoh hasil 'keresahannya' selama ini. Ada tujuan yang lebih mulia ingin dicapai Terawan ketimbang aspek administratif atau etik.
Akan lebih baik jika fenomena Terawan ini menjadi momentum bersama untuk membangun tatanan dunia kesehatan di Indonesia yang lebih baik. Tatanan yang memberikan ruang besar bagi insan dokter terus bekerja sekaligus berkarya.
Kesadaran semacam ini perlu dikuatkan karena sangat mungkin apa yang dilakukan mantan kepala RSPAD Gatot Subroto ini adalah langkah membangun tatanan baru dengan melawan hegemoni atas tatanan lama yang bisa saja tak tepat lagi untuk dijalankan. Dan, dalam ilmu psikososial, perubahan tatanan baru hampir selalu bermula dari perlawanan hal kecil. Jika ini benar terjadi, sejatinya Terawan tidak tamat. Namun justru tengah menjadikan IDI lebih kuat sekaligus bermartabat.
--
Vonis ini dibacakan di tengah agenda Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh, Jumat (25/3) lalu.
Imbas vonis ini tentu multikompleks. Tapi yang utama adalah Terawan tak punya lagi hak praktik kedokteran. Ini berat karena ibarat orang yang yang tengah memilikisupercaranyar, namun tak bisa menjajal sedikitpun tunggangannya karena tiba-tiba SIM-nya dicabut selamanya.
Kendati ini bukan yang pertama Terawan berseteru dengan IDI, namun putusan kali ini sangatlah telak. Pada 2018 silam atau kala Muktamar IDI di Samarinda, mantan menteri kesehatan ini pernah dicap IDI dengan kesalahan berjenisserious ethical misconductterkait metode temuanya cuci otak ataudigital subtraction angiogram(DSA).
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada babak berikutnya. Apakah Terawan melawan atau pasrah karena tak ada pilihan. Kita juga masih melihat sejauhmana publik merespons kebijakan IDI via MKEK ini. Apakah misalnya simpati dan dukungan publik mampu memengaruhi putusan seperti empat tahun silam.
Yang pasti, kendati vonis ini bersifat etik, namun bukan lantas bebas dari kritik. Apalagi dalam kerangka membangun tatanan dunia kesehatan yang menuntut cara bekerja prudent sekaligus dinamis, perubahan kognisi ataupun regulasi adalah sebuah keniscayaan.
Setidaknya ada empat poin penting di tengah geger baru vonis terhadap sang dokter penemu vaksin Nusantara ini.Pertama, vonis pencopotan terhadap Terawan adalah menjadi hak sepenuhnya IDI/MKEK dalam kerangka menjalankan regulasi institusi yang telah disepakati bersama.
Meski kontroversial, jelas pemutus vonis ini tentu tidak bekerja serampangan. Selain itu, vonis ini mempertimbangkan sejauhmana tingkat kesalahan dokter Terawan.
Kedua, lantaran isu ini telah menjadi konsumsi publik secara luas, sudah saatnya vonis terhadap Terawan ini dijelaskan secara gamblang. Ini bertujuan memberikan informasi yang komprehensif sekaligus mengantisipasi reduksi isi yang sangat mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu atau temporal. Pada hal ini, kita melihat IDI belum melakukannya dengan maksimal.
Ketiga, jika benar yang menjadi dosa terbesar Terawan adalah keengganannya memenuhi perintah MKEK pada 2018 untuk memperkuat aspek ilmiah atas terobosannya, sangatlah terang bahwa benang merah persoalan ini ada pada faktor etik. Dan faktor etik ini harus dipisah dengan sisi inovasi yang hakikatnya bagian kontribusi seseorang untuk memajukan dunia kesehatan. Meski secara etika belum bisa dibenarkan, namun publik mengetahui dan merasakan bahwa inovasi yang dilakukan Terawan sangatlah bermanfaat lantaran mujarab.
Soal pentingnya inovasi ini juga sempat ditekankan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Nova Iriansyah di depan para dokter kala pembukaan muktamar IDI, pekan lalu.
Semua juga tahu, pasien atas temuan Terawan ini tak hanya warga biasa atau tentara yang merupakan institusi tempat bekerjanya. Namun Terawan juga telah dipercaya mereka yang berstatus presiden, pejabat lembaga tinggi hingga orang-orang luar negeri.
Keempat, apa yang dilakukan oleh dokter Terawan ini sejatinya bagian langkah progresif seorang ahli medis. Terawan tentu tidak sembrono. Bahkan soal DSA sendiri merupakan hasil penelitian desertasinya. Artinya, secara ilmiah juga memiliki dasar. Namun faktanya masih adagapantara inovasi dan regulasi institusi yang menaunginya. Dalam situasi ini, tentu mengedepankan aspek rasional tentu lebih utama ketimbang emosional.
Terawan membuktikan bukan dokter yang gampang diam atau monoton menjalankan teori guru-gurunya. Inovasi cuci otak, vaksin Nusantara adalah di antara contoh hasil 'keresahannya' selama ini. Ada tujuan yang lebih mulia ingin dicapai Terawan ketimbang aspek administratif atau etik.
Akan lebih baik jika fenomena Terawan ini menjadi momentum bersama untuk membangun tatanan dunia kesehatan di Indonesia yang lebih baik. Tatanan yang memberikan ruang besar bagi insan dokter terus bekerja sekaligus berkarya.
Kesadaran semacam ini perlu dikuatkan karena sangat mungkin apa yang dilakukan mantan kepala RSPAD Gatot Subroto ini adalah langkah membangun tatanan baru dengan melawan hegemoni atas tatanan lama yang bisa saja tak tepat lagi untuk dijalankan. Dan, dalam ilmu psikososial, perubahan tatanan baru hampir selalu bermula dari perlawanan hal kecil. Jika ini benar terjadi, sejatinya Terawan tidak tamat. Namun justru tengah menjadikan IDI lebih kuat sekaligus bermartabat.
--
(ynt)