Hari Meteorologi Dunia, BMKG Tekankan Pentingnya Peringatan Dini

Rabu, 23 Maret 2022 - 18:54 WIB
loading...
Hari Meteorologi Dunia, BMKG Tekankan Pentingnya Peringatan Dini
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati berharap Hari Metereologi Dunia yang jatuh pada 23 Maret menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas peringatan dini dan tindakan dini terhadap fenomena cuaca dan iklim. FOTO/TANGKAPAN LAYAR
A A A
JAKARTA - Tanggal 23 Maret diperingati sebagai Hari Meteorologi Dunia (HMD). Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG ) Dwikorita Karnawati berharap HMD menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas peringatan dini dan tindakan dini terhadap fenomena cuaca dan iklim.

Menurut Dwikorita, cuaca ekstrem yang kerap menghantam Indonesia diakibatkan kencangnya laju perubahan iklim. Tidak hanya intensitasnya yang bertambah, tapi juga durasi. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es. Ketika situasi tersebut bertemu dengan kerentanan lingkungan, maka fenomena ekstrem tidak jarang merembet menjadi bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor.

"Hari Meteorologi Sedunia, tanggal 23 Maret 2022, mengangkat tema 'Early Warning and Early Action, Hydrometerological and Climate Information for Disaster Risk Reduction', dapat kita artikan peringatan dini dan tindakan dini, serta menyoroti pentingnya informasi hidrometeorologi dan iklim untuk pengurangan risiko bencana," kata Dwikorita dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu (23/3/2022).



BMKG mencatat secara keseluruhan, 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0,8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6 °C.

Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.

Kondisi ini pula yang mengakibatkan mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, maka kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1%. Salju dan es abadi di Puncak Jaya merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis.

Baca juga: BMKG Perkirakan Lapisan Es di Puncak Jaya Wijaya Punah Pada 2025

Fenomena lainnya, munculnya siklon tropis seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021. Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi.

"Jika situasi ini terus berlanjut, maka kasihan anak cucu kita, generasi penerus bangsa ini. Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materil namun juga korban jiwa," katanya.

Dwikorita mengatakan, pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerja sama dan gotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Mulai dari pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, gelombang, listrik. Juga penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon atau reboisasi secara lebih masif, restorasi mangrove, dan lain sebagainya.

"Mungkin cara-cara tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sepele, namun dampaknya sangat luar biasa terhadap keberlangsungan bumi dan umat manusia. Pemerintah tidak bisa kerja sendiri. Situasi ini butuh kesepamahan bersama tentang dampak serius perubahan iklim. Percuma pemerintah melakukan aksi di hulu, tapi di hilir masyarakat tetap melakukan aksi perusakan lingkungan, atau sebaliknya," katanya.

Dwikorita menuturkan, sistem peringatan dini yang dibangun tidak cukup hanya berhenti sebagai sebuah informasi. Lebih dari itu, butuh aksi mitigasi yang komprehensif dari hulu hingga hilir dengan pelibatan aktif masyarakat dan berbagai pihak termasuk pihak swasta, para akademisi/ilmuwan, filantropi, media. Sebab, tidak sedikit masyarakat yang masih acuh dengan dampak perubahan iklim akibat minimnya literasi mengenai perubahan iklim itu sendiri.

Sejarah Hari Meteorologi Dunia
Sementara itu, Ketua Panitia Hari Meteorologi Dunia 2022, Supriyanto Rohadi mengatakan, tanggal peringatan HMD mengacu pada konvensi meterologi 23 Maret 1950. Konvensi tersebut merupakan rangkaian panjang dari berdirinya badan Perserikatan Bangsa-bangsa, yaitu Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

"WMO merupakan badan khusus PBB yang menangani kerja sama antarbangsa terkait isu meteorologi, hidrologi dan geofisika atau ilmu kebumian. BMKG dalam kegiatan HMD memfokuskan kontribusi yang diberikan terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat," kata Supri.

Menurutnya, BMKG terus menggelar berbagai kegiatan untuk literasi masyarakat terkait pemanfaatan data meteorologi, klimatologi dan geofisika untuk kegiatan ekonomi dan kegiatan peringatan dini serta aksi dini. Di antarannya Sekolah Lapang Iklim (SLI), Sekolah Lapang Gempa Bumi dan Tsunami (SLG), dan Sekolah Lapang Cuaca bagi Nelayan (SLCN).

Melalui berbagai kegiatan yang sesuai dengan tema HMD 2022, diterjemahkan sebagai tema nasional terkait peringatan dini dan aksi dini untuk pengurangan risiko bencana hidrometeorologi.

"Hal ini untuk menekankan penguatan pengelolaan kegiatan peringatan dini dan aksi dini dengan cara yang lebih terkoordinasi dan berkelanjutan. Banyak keterkaitan erat peringatan dini, aksi dini dan usaha meminimalkan dampak akibat bencana hidrometeorologi," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1189 seconds (0.1#10.140)