BMKG Perkirakan Lapisan Es di Puncak Jaya Wijaya Punah Pada 2025

Senin, 21 Maret 2022 - 16:31 WIB
loading...
BMKG Perkirakan Lapisan Es di Puncak Jaya Wijaya Punah Pada 2025
BMKG memerkirakan lapisan es di puncak Gunung Jaya akan punah pada 2025. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Dampak pemanasan global telah nyata terjadi Indonesia. Selain perubahan cuaca ekstrem, lapisan es di puncak Gunung Jaya Wijaya , Yahukimo, Papua, diperkirakan hilang pada 2025 mendatang.

Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Gunung Jaya Wijaya merupakan satu-satunya gunung di Indonesia yang memiliki es pada bagian puncaknya. Pada
2020, ketebalan esnya sekitar 31,49 meter.

"Jika pemanasan dan kenaikan suhu terus terjadi, dan perubahan iklim tidak bisa dimitigasi, maka pada 2025 diprediksi es sudah punah, tidak ada lagi di puncak Jaya Wijaya," kata Dwikorita Karnawati saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Senin (21/3/2022).



Saat ini, lapisan es di Gunung Jaya Wijaya hanya tinggal 1% dari puncak area Jaya Wijaya yang memiliki luas 200 kilometer persegi. Itu berarti luas lapisan es hanya sekitar 2 kilometer persegi.

Selain itu, proyeksi iklim berdasarkan basis 2006-2016, suhu udara pada di 2030 akan meningkat 0,5 derajat Celcius dalam kurun waktu 10 tahun dan curah hujan lebih kering 20%. Hal ini disebabkan potensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat.

"Yang paling mencemaskan dari analisis BMKG, terjadi kenaikan suhu hingga tahun 2100 di seluruh provinsi pulau utama di Indonesia apabila tidak dilakukan mitigasi iklim," katanya.

Dibandingkan zaman praindustri pada 1850, saat ini terjadi peningkatan suhu udara 4 derajat Celcius. Artinya ada peningkatan empat kali lipat. "Hal ini menyebabkan cuaca ekstrem semakin sering, intensitas meningkat, dan durasi semakin panjang. Apalagi kalau suhu tersebut meningkat empat kali lipat setiap tahunnya di tahun 2100," ujar Dwikorita.

Baca juga: Bandung Diguyur Hujan Es, Begini Penjelasan BMKG

Perubahan cuaca ekstrim karena El Nino dan La Nina di Indonesia juga disebut Dwikorita Karnawati semakin cepat siklusnya. Dari yang sebelumnya setiap 7 tahun sekali menjadi setiap tahun.

"Periode El Nino (musim kering panjang) dan La Nina (musim hujan basah yang ekstrim) periode sebelum 1980 itu 5-7 tahun sekali. Namun karena perubahan iklim pada 1981 memendek jadi 2-3 tahun, dan dua tahun terakhir terjadi setiap tahun," ungkapnya.

Cuaca ekstrem seperti badai tropis Cempaka dan Seroja seharusnya tidak menembus wilayah khatulistiwa seperti di Indonesia. Namun sekarang kerap terjadi.

"Misalnya dua badai tropis tersebut yang biasanya hanya masuk ekornya saja, sekarang seluruhnya kepala hingga ekor masuk ke wilayah pulau. Hal ini disebabkan karena kenaikan suhu udara. Terakhir badai tersebut seluruh bagian badai masuk ke daratan NTT," kata Dwikorita.

Ia mengungkapkan bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat, menjadi bencana terbesar dengan persentase 95%. "Total bencana di 2021 ada 5.402 kasus bencana sebagai dampak perubahan iklim global," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1895 seconds (0.1#10.140)