Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi

Rabu, 17 Juni 2020 - 07:56 WIB
loading...
Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi
Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemerintah akhirnya menyatakan untuk menunda membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) kendati DPR belum bersikap. Setelah mendapat masukan dari berbagai pihak, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menghentikan sementara pembahasan RUU telah menimbulkan kegaduhan di ruang publik tersebut.

Hal itu diutarakan melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bersama Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, saat jumpa pers di Jakarta, Selasa (16/6/2020).

“Terkait RUU HIP, pemerintah menunda untuk membahasnya dan meminta DPR sebagai pengusul untuk banyak berdialog dan menyerap aspirasi lebih banyak lagi dengan seluruh elemen-elemen masyarakat,” jelas Mahfud.

(Baca: KAHMI Desak DPR untuk Mencabut RUU HIP dari Prolegnas)

Seperti diketahui, RUU HIP merupakan program legislasi prioritas DPR RI pada 2020 yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI menjadi usul inisiatif DPR. Beleid ini terdiri dari 10 Bab dan 60 pasal.

Namun, di dalam draf tersebut terdapat ketentuan yang dianggap kontroversial. Berikut ini poin-poin krusial dalam RUU HIP yang telah dihimpun SINDOnews:

Konsep Trisila dan Ekasila

Salah satu klausul yang cukup disorot yaitu ihwal keberadaan konsep Trisila dan Ekasila, serta frasa ‘Ketuhanan yang Berkebudayaan’. Di dalam draf RUU HIP, konsep tersebut tertuang di dalam Pasal 7 yang terdiri atas tiga ayat, yaitu:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Larangan Komunisme

Pokok pemicu polemik berikutnya yaitu terdapat di awal draf RUU. Pada bagian ‘Mengingat’ ternyata tidak mencantumkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Aturan itu ditetapkan oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966. Ketetapan tersebut dikeluarkan saat suasana Indonesia yang berkecamuk akibat peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965 dan aksi-aksi yang menyusul sesudahnya.

Berlakunya Tap MPRS mengenai larangan komunisme itu kemudian diperkuat kembali dalam Sidang Paripurna MPR RI pada 2003. Sebagai hasilnya, terbit Tap MPR Nomor I Tahun 2003 atau populer disebut dengan ‘Tap Sapu Jagat’ yang berisi peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR RI sejak 1960 sampai 2002.

BPIP Diisi TNI-Polri Aktif

Dalam draf RUU HIP memuat ketentuan TNI dan Polri aktif bisa mengisi jabatan sebagai Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam Pasal 47 ayat (2) RUU HIP menyebut Dewan Pengarah BPIP berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang atau berjumlah gasal, yang berasal dari:
a. unsur Pemerintah Pusat;
b. unsur tentara nasional Indonesia, kepolisian negara Republik Indonesia, dan aparatur sipil negara, atau purnawirawan/ pensiunan;
c. unsur akademisi, pakar, dan/atau ahli; dan
d. unsur tokoh masyarakat.

Muatan dalam draf RUU itu dinilai tak sejalan dengan aturan sebelumnya, seperti yang termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 tahun 2018 tentang BPIP. Dalam perpres tersebut, BPIP hanya membolehkan purnawirawan mengisi jabatan.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2321 seconds (0.1#10.140)