Syuriah PBNU Minta BPJPH Tak Perlu Memaksakan Ganti Logo Halal MUI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peluncuran logo label halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ( BPJPH ) Kementerian Agama (Kemenag) memicu polemik di masyarakat.
Wasekjen Bidang Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdulah meminta BPJPH tidak perlu memaksakan penggantian logo halal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Ikhsan, logo itu memiliki arti, makna gambaran dan filosofis.
Di samping bernilai, logo juga memiliki intelektual property rights yang di dalamnya terkandung nilai ekonomis, edukatif dan dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi penggunanya.
“Intinya, logo itu sesuatu yang bila telah diterima publik apalagi sudah sangat familiar di masyarakat maka akan menjadi mahal dari nilai barang yang diberi logo itu sendiri,” ucapnya, Minggu (13/3/2022).
Ikhsan mencontohkan, bila Bank Indonesia (BI) pada mata uang kertas yang sudah sangat dikenal masyarakat kemudian mengganti logonya menjadi sketsa gambar burung hantu, hal itu pasti membuat public bingung dan bertanya-tanya. Demikian pula logo halal yang sudah 34 tahun melekat di hati masyarakat dan umat Islam mulai dari orang dewasa hingga anak-anak.
”Mereka sudah terbiasa memilih makanan dengan logo halal Majelis Ulama Indonesia dengan lingkar hijau bertuliskan huruf Arab berwarna hijau membentuk lingkaran dan di tengahnya terdapat tulisan halal yang sudah masyhur tiba-tiba diganti dengan logo baru yang sulit dipahami maka akan mendapatkan reaksi publik masyarakat dan umat,” ucapnya.
Syuriah PBNU ini menyebut, masyarakat dan umat Islam bisa meninggalkan produk tertentu yang mencantumkan logo halal Kemenag karena dianggap produk tersebut belum jelas kehalalannya. Padahal sudah bersertifikat halal. Hal itu karena masyarakat tidak familiar dengan logonya.
”Terlebih masyarakat internasional yang selama ini hanya mengenal logo halal MUI, bisa jadi akan menolak produk tertentu dari Indonesia karena tidak dikenal sama sekali dan secara ekonomis bakal merugikan produk dan industri Indonesia,” katanya.
Dewan Pakar MES ini menyebut, ketentuan peggantian logo pasti merugikan masyarakat karena pelaku usaha harus mengganti semua perangkat merek dagangnya dengan logo baru. ”Ini sesuatu yang high cost karena perangkat merek dagang itu culup mahal. Selain high cost juga akan membingungkan masyarakat,” ujarnya.
Ikhsan yang juga menjabat sebagai Direktur Executive IHW ini menilai, tidak ada urgensinya BPJPH mengganti logo halal MUI dengan logo baru karena dibanding manfaatnya bagi masyarakat akan lebih banyak mafsadatnya.
”Dikaitkan dengan prinsip sertifikat halal yang melindungi kepentingan masyarakat dan akuntabel maka dalam rangka mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, serta tidak membebani pelaku usaha sebaiknya tidak perlu dipaksakan untuk mengganti logo halal MUI dengan logo halal yang baru,” ucapnya.
Wasekjen Bidang Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdulah meminta BPJPH tidak perlu memaksakan penggantian logo halal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Ikhsan, logo itu memiliki arti, makna gambaran dan filosofis.
Di samping bernilai, logo juga memiliki intelektual property rights yang di dalamnya terkandung nilai ekonomis, edukatif dan dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi penggunanya.
“Intinya, logo itu sesuatu yang bila telah diterima publik apalagi sudah sangat familiar di masyarakat maka akan menjadi mahal dari nilai barang yang diberi logo itu sendiri,” ucapnya, Minggu (13/3/2022).
Ikhsan mencontohkan, bila Bank Indonesia (BI) pada mata uang kertas yang sudah sangat dikenal masyarakat kemudian mengganti logonya menjadi sketsa gambar burung hantu, hal itu pasti membuat public bingung dan bertanya-tanya. Demikian pula logo halal yang sudah 34 tahun melekat di hati masyarakat dan umat Islam mulai dari orang dewasa hingga anak-anak.
Baca Juga
”Mereka sudah terbiasa memilih makanan dengan logo halal Majelis Ulama Indonesia dengan lingkar hijau bertuliskan huruf Arab berwarna hijau membentuk lingkaran dan di tengahnya terdapat tulisan halal yang sudah masyhur tiba-tiba diganti dengan logo baru yang sulit dipahami maka akan mendapatkan reaksi publik masyarakat dan umat,” ucapnya.
Syuriah PBNU ini menyebut, masyarakat dan umat Islam bisa meninggalkan produk tertentu yang mencantumkan logo halal Kemenag karena dianggap produk tersebut belum jelas kehalalannya. Padahal sudah bersertifikat halal. Hal itu karena masyarakat tidak familiar dengan logonya.
”Terlebih masyarakat internasional yang selama ini hanya mengenal logo halal MUI, bisa jadi akan menolak produk tertentu dari Indonesia karena tidak dikenal sama sekali dan secara ekonomis bakal merugikan produk dan industri Indonesia,” katanya.
Dewan Pakar MES ini menyebut, ketentuan peggantian logo pasti merugikan masyarakat karena pelaku usaha harus mengganti semua perangkat merek dagangnya dengan logo baru. ”Ini sesuatu yang high cost karena perangkat merek dagang itu culup mahal. Selain high cost juga akan membingungkan masyarakat,” ujarnya.
Ikhsan yang juga menjabat sebagai Direktur Executive IHW ini menilai, tidak ada urgensinya BPJPH mengganti logo halal MUI dengan logo baru karena dibanding manfaatnya bagi masyarakat akan lebih banyak mafsadatnya.
”Dikaitkan dengan prinsip sertifikat halal yang melindungi kepentingan masyarakat dan akuntabel maka dalam rangka mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, serta tidak membebani pelaku usaha sebaiknya tidak perlu dipaksakan untuk mengganti logo halal MUI dengan logo halal yang baru,” ucapnya.
(cip)