Kejagung Hentikan Penuntutan 13 Kasus lewat Restorative Justice
loading...
A
A
A
"Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf," ucap Fadil.
Kemudian kata Fadil, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. "Ada juga pertimbangan sosiologis, masyarakat merespon positif," ujarnya.
Selanjutnya Jampidum mengapresiasi upaya Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam perdamaian dan penyelesaian perkara mediasi penal (mediasi di luar pengadilan) antara tersangka dan korban.
"Sehingga tidak perlu sampai ke persidangan. Upaya tersebut mempertimbangkan syarat formil dan materiil serta aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis," tuturnya.
Jampidum menyampaikan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat/pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
"Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan," ujar Jampidum Fadil Zumhana.
Selanjutnya, Fadil memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022, sebagai perwujudan kepastian hukum," tutupnya.
Kemudian kata Fadil, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. "Ada juga pertimbangan sosiologis, masyarakat merespon positif," ujarnya.
Selanjutnya Jampidum mengapresiasi upaya Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam perdamaian dan penyelesaian perkara mediasi penal (mediasi di luar pengadilan) antara tersangka dan korban.
"Sehingga tidak perlu sampai ke persidangan. Upaya tersebut mempertimbangkan syarat formil dan materiil serta aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis," tuturnya.
Jampidum menyampaikan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat/pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
"Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan," ujar Jampidum Fadil Zumhana.
Selanjutnya, Fadil memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022, sebagai perwujudan kepastian hukum," tutupnya.
(maf)