Penundaan Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Konstitusional
loading...
A
A
A
Temuan survei pada November 2021 menujukkan 69,9% responden mengatakan pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan, meski masih dalam kondisi pandemi. Angka lainnya, 23,8% responden mengatakan pendemi dan pemulihan perekonomian nasional harus menjadi prioritas penanganan secara tuntas oleh presiden meski pemilu harus ditunda hingga 2027. Responden TT/TJ sebesar 6,3%.
Kemudian temuan survei pada Desember 2021 menujukkan 67,2% responden mengatakan pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan meski masih dalam kondisi pandemi. Sedangkan 24,5% responden mengatakan pendemi dan pemulihan perekonomian nasional harus menjadi prioritas penanganan secara tuntas oleh presiden, meski pemilu harus ditunda hingga 2027. Responden TT/TJ sebesar 8,3%.
Temuan-temuan survei tersebut menujukkan perbincangan yang terjadi di kalangan elite politik mengenai perlu mempertimbangkan penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 karena kondisi pandemi tidak sesuai aspirasi dari sebagian besar publik. Temuan survei itu juga dapat dibaca sebagai bentuk keasadaran publik bahwa konstitusi harus senantiasa dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apa pun kondisi yang tengah dihadapi.
Demokrasi Konstitusional
Apabila Pemilu 2024 tidak digelar, tidak ada dasar hukum kuat mengenai siapa akan berperan dalam mengendalikan pemerintahan atau memegang kekusaan eksekutif karena masa jabatan presiden dan wakil presiden habis pada 20 Oktober 2024. Per tanggal itu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berstatus demisioner.
Di dalam konstitusi tidak disebutkan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Ketiadaan mekanisme perpanjangan jabatan presiden dalam konstitusi karena secara tegas di bagian lain konstitusi mengamanatkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 22 E ayat 1). Periodisasi lima tahunan ini didasarkan pada semangat menjamin kepastian sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis.
Semangat pembatasan kekuasaan memang menjadi isu utama setelah rezim Orde Baru runtuh. Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil meruntuhkan tembok sakralisme di sebagian kelompok elite politik saat itu yang cenderung memperlakukan konstitusi sebagai teks suci.
Salah satu fokus utama pada perubahan pertama tersebut terletak pada pembatasan periode masa jabatan presiden agar di masa mendatang tidak ada lagi presiden menjabat berpuluh-puluh tahun seperti di masa lalu. Karena itu, dilakukan perubahan terhadap Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sehingga secara jelas menegaskan seseorang dapat menjadi presiden untuk dua kali masa jabatan saja. Setelah tembok sakralisme berhasil dirobohkan, amandemen terhadap konstitusi terus berlanjut hingga empat kali.
Secara ringkas, terdapat empat substansi perubahan dari empat kali amendemen konstitusi. Pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung atau tidak lagi melalui MPR. Kedua, pelembagaan masa jabatan presiden dan wakil presiden bersifat tetap selama lima tahun dengan maksimal dua periode masa jabatan. Ketiga, pengalihan fungsi legislasi dari semula titik berat berada di lembaga eksekutif menjadi di lembaga legislatif, meski tetap harus dibahas dan mendapatkan persetujuan presiden. Keempat, penghapusan kedudukan dan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Berbagai perubahan mendasar dihasilkan melalui empat tahap amendemen konstitusi tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Arend Lijphart (1994: 91-105), terdapat tiga elemen pokok sistem presidensial. Kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan bersifat tetap, presiden dipilih secara langsung, dan presiden merupakan kepala eksekutif bersifat tunggal. Konsekuensi masa jabatan bersifat tetap tersebut adalah presiden terpilih tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen.
Berangkat dari semangat itu, penundaan pemilu atas dalih pemilihan ekonomi akibat pandemi adalah hal kontraproduktif bagi keberlangsungan demokrasi konstitusional di Indonesia. Dua prinsip dasar demokrasi konstitusional adalah pembatasan periode masa jabatan presiden/wakil presiden serta sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis.
Kemudian temuan survei pada Desember 2021 menujukkan 67,2% responden mengatakan pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan meski masih dalam kondisi pandemi. Sedangkan 24,5% responden mengatakan pendemi dan pemulihan perekonomian nasional harus menjadi prioritas penanganan secara tuntas oleh presiden, meski pemilu harus ditunda hingga 2027. Responden TT/TJ sebesar 8,3%.
Temuan-temuan survei tersebut menujukkan perbincangan yang terjadi di kalangan elite politik mengenai perlu mempertimbangkan penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 karena kondisi pandemi tidak sesuai aspirasi dari sebagian besar publik. Temuan survei itu juga dapat dibaca sebagai bentuk keasadaran publik bahwa konstitusi harus senantiasa dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apa pun kondisi yang tengah dihadapi.
Demokrasi Konstitusional
Apabila Pemilu 2024 tidak digelar, tidak ada dasar hukum kuat mengenai siapa akan berperan dalam mengendalikan pemerintahan atau memegang kekusaan eksekutif karena masa jabatan presiden dan wakil presiden habis pada 20 Oktober 2024. Per tanggal itu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berstatus demisioner.
Di dalam konstitusi tidak disebutkan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Ketiadaan mekanisme perpanjangan jabatan presiden dalam konstitusi karena secara tegas di bagian lain konstitusi mengamanatkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 22 E ayat 1). Periodisasi lima tahunan ini didasarkan pada semangat menjamin kepastian sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis.
Semangat pembatasan kekuasaan memang menjadi isu utama setelah rezim Orde Baru runtuh. Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil meruntuhkan tembok sakralisme di sebagian kelompok elite politik saat itu yang cenderung memperlakukan konstitusi sebagai teks suci.
Salah satu fokus utama pada perubahan pertama tersebut terletak pada pembatasan periode masa jabatan presiden agar di masa mendatang tidak ada lagi presiden menjabat berpuluh-puluh tahun seperti di masa lalu. Karena itu, dilakukan perubahan terhadap Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sehingga secara jelas menegaskan seseorang dapat menjadi presiden untuk dua kali masa jabatan saja. Setelah tembok sakralisme berhasil dirobohkan, amandemen terhadap konstitusi terus berlanjut hingga empat kali.
Secara ringkas, terdapat empat substansi perubahan dari empat kali amendemen konstitusi. Pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung atau tidak lagi melalui MPR. Kedua, pelembagaan masa jabatan presiden dan wakil presiden bersifat tetap selama lima tahun dengan maksimal dua periode masa jabatan. Ketiga, pengalihan fungsi legislasi dari semula titik berat berada di lembaga eksekutif menjadi di lembaga legislatif, meski tetap harus dibahas dan mendapatkan persetujuan presiden. Keempat, penghapusan kedudukan dan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Berbagai perubahan mendasar dihasilkan melalui empat tahap amendemen konstitusi tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Arend Lijphart (1994: 91-105), terdapat tiga elemen pokok sistem presidensial. Kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan bersifat tetap, presiden dipilih secara langsung, dan presiden merupakan kepala eksekutif bersifat tunggal. Konsekuensi masa jabatan bersifat tetap tersebut adalah presiden terpilih tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen.
Berangkat dari semangat itu, penundaan pemilu atas dalih pemilihan ekonomi akibat pandemi adalah hal kontraproduktif bagi keberlangsungan demokrasi konstitusional di Indonesia. Dua prinsip dasar demokrasi konstitusional adalah pembatasan periode masa jabatan presiden/wakil presiden serta sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis.