Dikepung Musuh, Perwira Pasukan Khusus TNI AU Ini Gugur dalam Operasi Serigala di Papua
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pasukan Gerak Tjepat (PGT) kini bernama Komando Pasukan Gerak Cepat ( Kopasgat ) memiliki peran sangat besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sepak terjang pasukan elite TNI Angkatan Udara (AU) ini selalu meninggalkan kisah heroisme di medan pertempuran.
Salah satunya, aksi heroik Mayor Udara (Anm) Lambertus Manuhua dalam Operasi Serigala merebut Irian Barat sekarang bernama Papua. Bersama pasukannya, pria kelahiran Desa Alang, Ambon, Maluku pada 17 Maret 1924 ini mengobrak-abrik pertahanan Belanda.
Dikutip dari buku berjudul “Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan” yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau) disebutkan bahwa pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat.
Keputusan ini diambil lantaran Belanda melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang telah disepakati. Belanda dengan tegas menolak melepas Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan, negara Kincir Angin tersebut justru memperkuat pertahanannya dengan mengirimkan pasukan dan persenjataan ke daerah tersebut. Di sisi lain, perjuangan Indonesia di PBB melalui jalur diplomasi pun mengalami jalan buntu.
Pada 2 Januari 1962, Presiden Soekarno memutuskan untuk mengambil opsi jalan lain yakni, operasi militer dengan membentuk Komando Mandala. Soekarno kemudian menunjuk Presiden Soeharto yang saat itu masih berpangkat Brigjen TNI sebagai Panglima Komando Mandala. Pangkatnya pun di naikkan menjadi Mayjen TNI. Sebelum menggelar operasi berskala besar, berbagai operasi infiltrasi digelar. Tujuannya untuk melemahkan kekuatan Belanda.
Panglima Angkatan Udara Mandala (AULA) sekaligus Wakil Panglima II Komando Mandala (Kola) Komodor Udara Leo Wattimena, kemudian menggelar Operasi Serigala dengan menerjunkan pasukan khusus PGT. Pasukan tersebut dipimpin Letnan Udara (LU) I Lambertus Manuhua, dengan wakilnya yakni, LMU I Suhadi, SMU Soepangat dan SMU Mengko. Selanjutnya, penerjunan akan dilaksanakan pada 15 Mei 1962.
Namun, upaya menerjunkan prajurit dengan kualifikasi khusus Para ini gagal lantaran cuaca buruk. Dua hari kemudian, pada 17 Mei penerjunan baru bisa dilakukan. Tepat pukul 04.00 dini hari sebanyak 119 pasukan Baret Jingga ini diterbangkan dengan menggunakan tiga pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Laha, Ambon. Mereka rencananya diterjunkan di daerah Klamono, Sorong .
Sayangnya, dari tiga pesawat yang diberangkatkan hanya satu pesawat yang melakukan penerjunan pasukan PGT sebanyak 39 orang. Meski berhasil melakukan penerjunan, pasukan yang dipimpin Manuhua sebagai Komandan Kompi dengan Danton SMU Soepangat menghadapi masalah baru karena pendaratan tidak sesuai sasaran atau dropping zone melainkan di Pegunungan Mariyat.
Mereka jatuh menyebar dan terpisah-pisah. Bahkan tidak sedikit yang tersangkut di atas pohon termasuk perbekalan yang dibawanya. Tingginya pepohonan di kawasan pegunungan Mariyat menjadi kendala utama bagi pasukan ini. Butuh waktu berhari-hari untuk kembali menyatu.
Manuhua sendiri tersangkut dan tergantung di pohon selama tiga hari tiga malam. Pada saat ditemukan oleh pasukannya, Manuhua dalam keadaan pingsan. Pasukannya langsung berupaya menurunkan Manuhua dari atas pohon, namun karena tali yang dibawa tidak cukup, dari ketinggian 6 meter Manuhua akhirnya menjatuhkan diri ke tanah. Akibat tindakan nekat itu, kaki Manuhua terkilir dan terpaksa harus berjalan menjadi pincang.
Selain Manuhua, kecelakaan juga dialami PU I Slamet H. Saat ditemukan, tubuh Slamet tertindih kayu kering yang besar dan menyebabkan pinggangnya patah. Tidak hanya itu, kaki dan badannya juga terluka dan sudah dipenuhi pacet. Slamet akhirnya gugur dan dimakamkan secara sederhana di hutan pegunungan Mariyat.
Setelah dua minggu, sebanyak 12 anggota PGT berhasil bertemu. Untuk melanjutkan perjuangan Manuhua kemudian membagi pasukannya menjadi dua kelompok kecil. Tim pertama dipimpin langsung Manuhua bertugas melakukan sabotase terhadap kekuatan Belanda. Sedangkan kelompok kedua dipimpin Kapten Udara (KU) I Supardi. Bersama tujuh anggotanya, Manuhua melancarkan aksi gerilya. Beberapa kali Manuhua dan timnya terlibat kontak senjata dengan tentara Belanda.
Dijebak dan Dikepung Musuh
Pertempuran demi pertempuran sengit dialami Manuhua dan pasukannya. Setelah berhari-hari berada di dalam hutan lebat tanpa perbekalan, Manuhua dan pasukannya memutuskan turun dan masuk ke permukiman warga sekitar untuk mencari makanan. Kedatangan Manuhua langsung diterima oleh warga setempat.
Mereka lalu memberi Manuhua dan anak buahnya sagu. Untuk memulihkan tenaga, Manuhua memutuskan untuk bermalam di salah satu rumah di perkampungan tersebut. Ketika waktu menunjukkan pukul 03.00, salah seorang penduduk meminta Manuhua dan pasukannya pindah ke sebuah rumah yang lebih aman.
Tanpa rasa curiga, Manuhua dan pasukannya pindah ke tempat baru. Di rumah tersebut telah disediakan pisang dan sagu. Mereka baru menyadari jika itu jebakan setelah salah seorang anggotanya mengintip dari celah-celah dinding dan mendapati beberapa tentara Belanda tengah mendekati rumah.
Mengetahui musuh datang, Manuhua kemudian maju mengambil pistolnya, begitu juga dengan anak buahnya. Ketika pasukan PGT belum siap sepenuhnya, tiba-tiba rumah panggung yang ditempati Manuhua dan pasukannya langsung mendapat tembakan gencar dari segala arah. Saat itu, PU I Sugiyanto gugur seketika, sedangkan Kapten Udara (KU) I Muis mengalami luka tembak di kakinya.
Sementara Manuhua, bersama Sutarmono dan Angkow melompat ke luar ke semak-semak. Saat meloncat keluar, Sutarmono mendapati dua tentara Belanda tepat di depannya tengah menembakkan senjatanya ke suatu sasaran. Dengan gagah berani, Sutarmono menembak kedua tentara musuh tersebut dengan senapan G-3 dan merebut senjata musuh. Senjata Bren berlaras putih itu kemudian digunakan Sutarmono untuk menembak opsir Belanda yang jaraknya hanya beberapa langkah hingga tewas seketika.
Meski kekuatan musuh jauh lebih banyak, namun hal itu tidak membuat gentar Manuhua dan pasukannya. Pertempuran sengit pun terjadi. Di tengah pertempuran, Sutarmono mendapati tangan Manuhua terluka. Melihat banyak anak buahnya yang terluka, Manuhua kemudian memerintahkan Sutarmono untuk meninggalkan tempat tersebut.
Kendati tak tega, Sutarmono kemudian meninggalkan medan pertempuran sambil terus mengawasi komandannya. Saat itu, Sutarmono melihat dengan jelas bagaimana komandan kompinya yang terluka terus ditembaki musuh hingga akhirnya jatuh dan gugur. Sebagai penghargaan atas keberaniannya, nama Manuhua kini diabadaikan sebagai Pangkalan Udara di Biak.
”Saat itu, terdengar dengan jelas pembicaraan tentara Belanda yang mengatakan kalau LU I Manahua dan anak buahnya sudah mati semua kecuali satu yaitu dirinya,” ucapnya dalam buku tersebut.
Untuk menghindari kejaran musuh, Sutarmono bersembunyi di semak-semak. Senjata Bren yang dibawanya dibuang karena berat dan sudah tidak ada pelurunya. Untuk menangkap Sutarmono hidup atau mati, Belanda mengerahkan helikopter. Bahkan, Sutarmono beberapa kali harus tiarap menyusup ke bawah semak-semak dan tidak bergerak sama sekali untuk beberapa lama.
Upaya Sutarmono menghindari kejaran tentara Belanda membuahkan hasil. Dengan kaki hancur Sutarmono terus berjalan dan makan seadanya. Tiga hari kemudian, Sutarmono akhirnya bertemu dengan kelompok kedua yang menyusulnya yakni KU I Supardi.
Salah satunya, aksi heroik Mayor Udara (Anm) Lambertus Manuhua dalam Operasi Serigala merebut Irian Barat sekarang bernama Papua. Bersama pasukannya, pria kelahiran Desa Alang, Ambon, Maluku pada 17 Maret 1924 ini mengobrak-abrik pertahanan Belanda.
Dikutip dari buku berjudul “Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan” yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau) disebutkan bahwa pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat.
Keputusan ini diambil lantaran Belanda melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang telah disepakati. Belanda dengan tegas menolak melepas Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan, negara Kincir Angin tersebut justru memperkuat pertahanannya dengan mengirimkan pasukan dan persenjataan ke daerah tersebut. Di sisi lain, perjuangan Indonesia di PBB melalui jalur diplomasi pun mengalami jalan buntu.
Pada 2 Januari 1962, Presiden Soekarno memutuskan untuk mengambil opsi jalan lain yakni, operasi militer dengan membentuk Komando Mandala. Soekarno kemudian menunjuk Presiden Soeharto yang saat itu masih berpangkat Brigjen TNI sebagai Panglima Komando Mandala. Pangkatnya pun di naikkan menjadi Mayjen TNI. Sebelum menggelar operasi berskala besar, berbagai operasi infiltrasi digelar. Tujuannya untuk melemahkan kekuatan Belanda.
Panglima Angkatan Udara Mandala (AULA) sekaligus Wakil Panglima II Komando Mandala (Kola) Komodor Udara Leo Wattimena, kemudian menggelar Operasi Serigala dengan menerjunkan pasukan khusus PGT. Pasukan tersebut dipimpin Letnan Udara (LU) I Lambertus Manuhua, dengan wakilnya yakni, LMU I Suhadi, SMU Soepangat dan SMU Mengko. Selanjutnya, penerjunan akan dilaksanakan pada 15 Mei 1962.
Namun, upaya menerjunkan prajurit dengan kualifikasi khusus Para ini gagal lantaran cuaca buruk. Dua hari kemudian, pada 17 Mei penerjunan baru bisa dilakukan. Tepat pukul 04.00 dini hari sebanyak 119 pasukan Baret Jingga ini diterbangkan dengan menggunakan tiga pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Laha, Ambon. Mereka rencananya diterjunkan di daerah Klamono, Sorong .
Sayangnya, dari tiga pesawat yang diberangkatkan hanya satu pesawat yang melakukan penerjunan pasukan PGT sebanyak 39 orang. Meski berhasil melakukan penerjunan, pasukan yang dipimpin Manuhua sebagai Komandan Kompi dengan Danton SMU Soepangat menghadapi masalah baru karena pendaratan tidak sesuai sasaran atau dropping zone melainkan di Pegunungan Mariyat.
Mereka jatuh menyebar dan terpisah-pisah. Bahkan tidak sedikit yang tersangkut di atas pohon termasuk perbekalan yang dibawanya. Tingginya pepohonan di kawasan pegunungan Mariyat menjadi kendala utama bagi pasukan ini. Butuh waktu berhari-hari untuk kembali menyatu.
Manuhua sendiri tersangkut dan tergantung di pohon selama tiga hari tiga malam. Pada saat ditemukan oleh pasukannya, Manuhua dalam keadaan pingsan. Pasukannya langsung berupaya menurunkan Manuhua dari atas pohon, namun karena tali yang dibawa tidak cukup, dari ketinggian 6 meter Manuhua akhirnya menjatuhkan diri ke tanah. Akibat tindakan nekat itu, kaki Manuhua terkilir dan terpaksa harus berjalan menjadi pincang.
Selain Manuhua, kecelakaan juga dialami PU I Slamet H. Saat ditemukan, tubuh Slamet tertindih kayu kering yang besar dan menyebabkan pinggangnya patah. Tidak hanya itu, kaki dan badannya juga terluka dan sudah dipenuhi pacet. Slamet akhirnya gugur dan dimakamkan secara sederhana di hutan pegunungan Mariyat.
Setelah dua minggu, sebanyak 12 anggota PGT berhasil bertemu. Untuk melanjutkan perjuangan Manuhua kemudian membagi pasukannya menjadi dua kelompok kecil. Tim pertama dipimpin langsung Manuhua bertugas melakukan sabotase terhadap kekuatan Belanda. Sedangkan kelompok kedua dipimpin Kapten Udara (KU) I Supardi. Bersama tujuh anggotanya, Manuhua melancarkan aksi gerilya. Beberapa kali Manuhua dan timnya terlibat kontak senjata dengan tentara Belanda.
Dijebak dan Dikepung Musuh
Pertempuran demi pertempuran sengit dialami Manuhua dan pasukannya. Setelah berhari-hari berada di dalam hutan lebat tanpa perbekalan, Manuhua dan pasukannya memutuskan turun dan masuk ke permukiman warga sekitar untuk mencari makanan. Kedatangan Manuhua langsung diterima oleh warga setempat.
Mereka lalu memberi Manuhua dan anak buahnya sagu. Untuk memulihkan tenaga, Manuhua memutuskan untuk bermalam di salah satu rumah di perkampungan tersebut. Ketika waktu menunjukkan pukul 03.00, salah seorang penduduk meminta Manuhua dan pasukannya pindah ke sebuah rumah yang lebih aman.
Tanpa rasa curiga, Manuhua dan pasukannya pindah ke tempat baru. Di rumah tersebut telah disediakan pisang dan sagu. Mereka baru menyadari jika itu jebakan setelah salah seorang anggotanya mengintip dari celah-celah dinding dan mendapati beberapa tentara Belanda tengah mendekati rumah.
Mengetahui musuh datang, Manuhua kemudian maju mengambil pistolnya, begitu juga dengan anak buahnya. Ketika pasukan PGT belum siap sepenuhnya, tiba-tiba rumah panggung yang ditempati Manuhua dan pasukannya langsung mendapat tembakan gencar dari segala arah. Saat itu, PU I Sugiyanto gugur seketika, sedangkan Kapten Udara (KU) I Muis mengalami luka tembak di kakinya.
Sementara Manuhua, bersama Sutarmono dan Angkow melompat ke luar ke semak-semak. Saat meloncat keluar, Sutarmono mendapati dua tentara Belanda tepat di depannya tengah menembakkan senjatanya ke suatu sasaran. Dengan gagah berani, Sutarmono menembak kedua tentara musuh tersebut dengan senapan G-3 dan merebut senjata musuh. Senjata Bren berlaras putih itu kemudian digunakan Sutarmono untuk menembak opsir Belanda yang jaraknya hanya beberapa langkah hingga tewas seketika.
Meski kekuatan musuh jauh lebih banyak, namun hal itu tidak membuat gentar Manuhua dan pasukannya. Pertempuran sengit pun terjadi. Di tengah pertempuran, Sutarmono mendapati tangan Manuhua terluka. Melihat banyak anak buahnya yang terluka, Manuhua kemudian memerintahkan Sutarmono untuk meninggalkan tempat tersebut.
Kendati tak tega, Sutarmono kemudian meninggalkan medan pertempuran sambil terus mengawasi komandannya. Saat itu, Sutarmono melihat dengan jelas bagaimana komandan kompinya yang terluka terus ditembaki musuh hingga akhirnya jatuh dan gugur. Sebagai penghargaan atas keberaniannya, nama Manuhua kini diabadaikan sebagai Pangkalan Udara di Biak.
”Saat itu, terdengar dengan jelas pembicaraan tentara Belanda yang mengatakan kalau LU I Manahua dan anak buahnya sudah mati semua kecuali satu yaitu dirinya,” ucapnya dalam buku tersebut.
Untuk menghindari kejaran musuh, Sutarmono bersembunyi di semak-semak. Senjata Bren yang dibawanya dibuang karena berat dan sudah tidak ada pelurunya. Untuk menangkap Sutarmono hidup atau mati, Belanda mengerahkan helikopter. Bahkan, Sutarmono beberapa kali harus tiarap menyusup ke bawah semak-semak dan tidak bergerak sama sekali untuk beberapa lama.
Upaya Sutarmono menghindari kejaran tentara Belanda membuahkan hasil. Dengan kaki hancur Sutarmono terus berjalan dan makan seadanya. Tiga hari kemudian, Sutarmono akhirnya bertemu dengan kelompok kedua yang menyusulnya yakni KU I Supardi.
(cip)