Tabayyun, Tradisi Ilmiah Memastikan Suatu Kebenaran

Sabtu, 05 Maret 2022 - 14:08 WIB
loading...
Tabayyun, Tradisi Ilmiah Memastikan Suatu Kebenaran
Imam Syafei/FOTO Dok SINDO
A A A
Imam Safeā€™i
Kapusdiklat Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Balitbang dan Diklat, Kemenag

Benar itu kadang-kadang karena yang pertama didengar atau karena terlalu sering didengar. Lebih bahaya lagi kalau hanya samar-samar terdengar dianggap benar. Semestinya, untuk memastikan sesuatu itu benar, harus benar-benar diuji kebenarannya

Dalam kajian antropologi atau analisis penelitian kualitatif, tiga kata atau istilah ini sangat sering dijumpai yaitu Emic, Etic, dan Triangulasi. Tiga istilah ini akan sangat membantu ketika peneliti ingin memastikan kesimpulan kebenaran terhadap fenomena atau peristiwa yang diamati.

Demikian juga para jurnalis profesional selalu memperhatikan tiga hal ini sebelum menyebarkan informasi, berita atau laporan sebuah liputan. Kebiasaan ini sebagai tradisi untuk memastikan bahwa kebenaran itu bisa diakui oleh semua pihak, bukan dari perspektifnya sendiri atau orang lain tetapi juga harus dilakukan triangulasi (check, recheck dan crosscheck).

Fenomena yang menarik dan saat ini sedang menjadi perhatian public adalah terkait dengan video Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) , Menteri Agama Republik Indonesia saat menjelaskan Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Terhadap video ini, kita yakin bahwa ada orang yang melihat secara utuh dengan cermat, ada yang melihat utuh tetapi tidak sungguh-sungguh, ada yang menonton sekilas dan ada pula yang mendengar dari orang lain baik yang menyaksikan video atau mungkin dari orang yang tidak pernah melihat sama sekali.

Sudah bisa dipastikan kesimpulan yang muncul dari pelbagai sumber ini beragam dan berbeda bobotnya sesuai sumber informasi yang dimilikinya. Inipun juga masih tergantung pada interest masing-masing orang ketika mempersepsikan terhadap suatu peristiwa karena setiap orang juga tidak terlepas dari konflik kepentingan. Kaca mata inilah yang sering kali mengaburkan obyektifitas suatu kebenaran.

Perspektif Emic
Secara sederhana, perspektif Emic mengacu kepada pandangan dari pihak yang menjadi obyek penelelitian, yang diamati atau menjadi sorotan tertentu (nativeā€™s viewpoint). Terkait dengan pernyataan Gus Menteri sebagaimana dalam tayangan video yang viral itu, dalam kacamata perspektif emic, pandangan dari dalam, dari Menteri Agama dan semua orang-orang dalam Kementerian Agama tentu tidak ada masalah karena karena kalau kita tonton tayangan tersebut dari awal hingga akhir dengan cermat semuanya dalam konteks menjelaskan pesan dari Surat Edaran tersebut.

Kita semua yang di dalam sangat memahami latar belakang, pesan, dan isi surat edaran ini. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama ingin betul-betul menjadi garda terdepan dalam menyuarakan dan membangun kerukunan, toleransi dan harmoni umat beragama. Kondisi umat yang kondusif seperti sekarang ini harus terus dijaga dan diperjuangkan. Tentu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Kementerian Agama yang diberi tanggungjawab dalam pembangunan bidang keagamaan salah satunya adalah merumuskan aturan, kebijakan dan regulasi keagamaan.

Sesungguhnya tidak hanya dari dalam, banyak pihak seperti dari tokoh-tokoh agama, ulama, akademisi dan pengamat yang mengapresiasi terhadap lahirnya surat edaran ini. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, kebijakan seperti ini tidak hanya diberlakukan di Indonesia tetapi juga dipelbagai negara dan khususnya di negara-negara Islam. Mereka yang telah menerapkan kebijakan ini betul-betul merasakan manfaat dan makin mengokohkan tolerannsi, kerukunan, harmoni umat tanpa sedikitpun ada yang merasa seperti ini adalah sebuah kebijakan yang membelenggu atau menghalangi untuk menjalankan ibadah terutama kaitannya dengan pengumandangan suara azan.

Perspektif Etic
Mengapa pernyataan Gus Menteri dalam dalam video ini menjadi heboh dan menyita banyak perhatian publik? Karena ada pihak luar yang tidak melihat secara utuh, tidak memahami teks dan konteks, melihat bagian-bagian tertentu tidak secara utuh atau secara sengaja memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Inilah pandangan-pandangan dari luar (outsiderā€™s viewpoint) atau kalau dalam konteks analisis penelitian kualitatif sering disebut dengan perspektif etic.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2209 seconds (0.1#10.140)