Indonesia, G-20, dan Resolusi Konflik Rusia-Ukraina

Jum'at, 04 Maret 2022 - 07:12 WIB
loading...
Indonesia, G-20, dan Resolusi Konflik Rusia-Ukraina
Indonesia, G-20, dan Resolusi Konflik Rusia-Ukraina
A A A
Fauzan Fuadi
Mahasiswa Pascasarjana Media dan Komunikasi FISIP Unair

Dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, sesungguhnya Indonesia memiliki posisi strategis. Terutama dalam konteks sebagai mediator konflik. Potensi itu berasal dari G-20. Di mana Rusia menjadi anggota dan Indonesia sebagai presidensinya. G-20 (group of twenty) merupakan sebuah forum multilateral kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia yang terdiri dari 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa. Sejak 1 Desember 2021 hingga November 2022, Indonesia dipercaya sebagai presidensi G-20. Atas dasar itu, tidak ada salahnya Indonesia mengambil inisiatif sebagai presidensi G-20 untuk melobi kedua negara agar menghentikan perang. Bukan semata-mata demi kepentingan anggota G-20. Melainkan juga untuk kepentingan nasional Indonesia. Sebab, perang dua negara eks Uni Soviet ini ternyata berpotensi membawa dampak destruktif terhadap perekonomian nasional.

Dampak Ekonomi Nasional

Salah satu dampak yang sudah dirasakan Indonesia adalah naiknya harga minyak dunia. Sejauh ini harga minyak dunia sudah berada di kisaran USD 100 per barel. Padahal dalam APBN 2022, harga minyak diasumsikan USD 63 per barel. Kondisi tersebut sangat mengganggu stabilitas ruang fiskal dalam APBN. Di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi, pemerintah juga harus merealisasikan beberapa target program strategis nasional yang sudah tertuang dalam APBN. Namun di sisi lain pemerintah juga dituntut untuk mempertahankan rasio defisit APBN agar tetap proporsional. Kenaikan harga minyak dunia dunia akibat perang Rusia-Ukraina menghadirkan dilema yang tidak sederhana.

Minyak adalah komoditas yang sangat penting bagi Indonesia. Sebab kebutuhan konsumsi minyak nasional adalah 1.4 hingga 1.5 juta barel per hari. Sedangkan kemampuan produksi minyak Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 barel per hari. Selisih tersebut yang harus ditutup dengan cara impor. Kebetulan Rusia adalah pemasok 10 persen kebutuhan minyak dunia. Ketika rantai pasok minyak dari Rusia terganggu akibat perang dan embargo ekonomi dari beberapa negara, supply dan demand minyak dunia pun terguncang.

Selain minyak, harga komoditas lain yang juga terganggu akibat perang ini adalah gandum. Sebagaimana diketahui, Rusia dan Ukraina menyumbang 30 persen kebutuhan gandum dunia. Ketika mereka berdua konflik, maka pasokan gandum pun tersendat. Apalagi Rusia mendapatkan sanksi larangan ekspor. Akibatnya harga gandum internasional naik 48 persen. Sekalipun gandum bukan makanan pokok warga Indonesia, akan tetapi naiknya harga gandum internasional dan tersendatnya distribusi gandum internasional berpengaruh pada industri mie dan roti di Indonesia.
Inilah urgensi kenapa Indonesia sebagai presidensi G-20 di tahun 2022 ini harus mulai mengambil peran aktif untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina. Bukan saja semata-mata demi stabilitas rantai pasok diantara anggota G-20, tetapi yang paling penting adalah untuk menjaga kepentingan ekonomi nasional. Di mana ternyata stabilitas perekonomian Indonesia sangat terganggu dengan adanya konflik di Eropa Timur tersebut.

Preseden Baik

Dalam sejarah politik internasional, Indonesia dikenal punya reputasi baik terkait dengan upaya menggalang perdamaian dunia. Misalnya di tahun 1955 Indonesia menginisiasi terbentuknya Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai medium bagi negara-negara eks koloni bangsa-bangsa Eropa di kawasan Asia dan Afrika untuk berani menyatakan kemerdekaanya dan berdaulat secara ekonomi-politik. Tujuannya untuk menghilangkan segala bentuk kolonialisme, penjajahan dan penindasan di muka bumi.

Kemudian ketika dunia dilanda perang dingin yang melibatkan dua blok besar, yakni Amerika Serikat di blok barat dan Uni Soviet di blok timur, Indonesia menjadi salah satu inisiator terbentuknya Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1 September 1961 di Beograd, Yugoslavia. Tujuannya GNB diharapkan mampu menjadi penyeimbang politik diantara kebekuan komunikasi blok barat dan timur yang berujung pada potensi perang bersenjata.Artinya, dengan prinsip politik bebas-aktif dan falsafah “mendayung diantara dua karang“ sebagaimana pernah disampaikan Bung Hatta, Indonesia memiliki preseden baik di masa lalu sebagai negara yang aktif mengambil peran untuk mendorong perdamaian dunia. Aktivisme Indonesia di panggung dunia telah terbukti: bahwa pilihan posisi Indonesia dalam konstelasi politik internasional sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi-politik nasional.

Komunikasi Politik Internasional

Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan untuk mengimplementasikan strategi komunikasi politik internasional yang efektif. Efektifitas komunikasi internasional itu menjadi relatif berat karena konstelasi politik internasional saat ini masih didominasi oleh “ke-adidayaan“ Amerika Serikat yang seringkali memamerkan praktik unilateralisme di berbagai forum dan medan komunikasi internasional. Ketidakseimbangan komunikasi internasional itu diperparah oleh posisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang seringkali bias pada kepentingan negara-negara kuat tertentu (Permana, 2014).

Di sisi lain, para pelaku komunikasi internasional, khususnya media mainstream, korporasi internasional dan organisasi-organisasi internasional kerap condong pada kepentingan negara-negara maju. Mereka mendominasi medan komunikasi internasional dengan menerapkan prinsip arus bebas informasi (free flow of information) sehingga arus informasi mengalir tanpa kendali (out of control) dari Utara ke Selatan maupun dari Barat ke Timur (Permana, 2014). Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman yang berujung pada konflik, baik laten maupun manifes.

Dalam konteks ini, Indonesia dapat memainkan peran sebagai komunikator yang relatif netral. Dengan menggunakan medium G-20, ruang komunikasi diharapkan dapat berlangsung relatif berimbang dengan daya tawar yang setara dari masing-masing pihak. Sekalipun Ukraina bukan anggota G-20, tapi banyak pakar mengindikasikan peran ini adalah proxy war yang melibatkan Rusia, China, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sebagai presidensi G-20 Indonesia dituntut bisa meyakinkan anggota G-20 bahwa perang tidak hanya merugikan kedua pihak yang bertikai. Tetapi juga merugikan seluruh komunitas internasional.
(war)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2262 seconds (0.1#10.140)