Jokowi Bisa Buat Dekrit bila Ingin Tetap Menjabat, Yusril Ingatkan Nasib Gus Dur
loading...
A
A
A
Kepada Gus Dur, Yusril saat itu mengatakan bahwa rencana mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko. Kalau tindakan itu mau disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka tidak ada landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk mendukungnya. Dekrit hanya akan berhasil jika didukung kekuatan militer.
"Sementara saya melihat TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut. Mengingat saat itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan. Daripada dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR," tutur Yusril.
Bukannya direspons positif, Gus Dur malah marah. Yusril dipecat keesokan harinya, 7 Februari 2001 dan posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM digantikan Baharudin Lopa. Menteri baru ini bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II dari DPR di MPR.
Tetapi Gus Dur akhirnya meneken dekrit pada 23 Juli 2001. Memang, tindakan Gus Dur mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi, dan tokoh-tokoh LSM. Namun karena tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit dengan memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu? Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu," kata dia.
Menurutnya risiko politiknya terlalu besar. Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah Keputusan Presiden sebagai Panglima Tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi.
"Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan kepada saya bahwa beliau tidak berkeinginan memegang jabatan tiga periode. Langkah itu, menurut beliau, tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-reformasi," ujar Yusril.
"Sementara saya melihat TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut. Mengingat saat itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan. Daripada dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR," tutur Yusril.
Bukannya direspons positif, Gus Dur malah marah. Yusril dipecat keesokan harinya, 7 Februari 2001 dan posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM digantikan Baharudin Lopa. Menteri baru ini bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II dari DPR di MPR.
Tetapi Gus Dur akhirnya meneken dekrit pada 23 Juli 2001. Memang, tindakan Gus Dur mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi, dan tokoh-tokoh LSM. Namun karena tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit dengan memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu? Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu," kata dia.
Menurutnya risiko politiknya terlalu besar. Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah Keputusan Presiden sebagai Panglima Tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi.
"Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan kepada saya bahwa beliau tidak berkeinginan memegang jabatan tiga periode. Langkah itu, menurut beliau, tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-reformasi," ujar Yusril.
(muh)