Bisikan Prabowo ke Soeharto Buat Jenderal Kopassus Ini Terjungkal dari Istana

Kamis, 24 Februari 2022 - 06:05 WIB
loading...
Bisikan Prabowo ke Soeharto Buat Jenderal Kopassus Ini Terjungkal dari Istana
Letjen TNI Leonardus Benyamin Moerdani pernah marah besar terhadap bawahannya Prabowo Subianto. Bahkan, membuat Prabowo harus ditendang dari Kopassus. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Pada masa Pemerintahan Orde Baru rivalitas antar jenderal atau elite TNI kerap terjadi. Entah sengaja dibiarkan atau tidak, rivalitas antar jenderal atau elite TNI di lingkaran Istana terlihat sangat terbuka.

Salah satunya adalah konflik yang terjadi antara dua putera terbaik Kopassus, yakni Letjen TNI Leonardus Benyamin Moerdani dan Prabowo Subianto. Benny Moerdani, sapaan akrabnya pernah marah besar terhadap bawahannya Prabowo. Bahkan, membuat Prabowo harus ditendang dari Kopassus.

Dikutip dalam "Ali Moertopo dan Intelijen Indonesia", konflik Benny Moerdani dan Prabowo berawal dari sentimen negatif pribadi Benny Moerdani terhadap Islam dan melebarkan kekuasaan. Lantas ia melakukan pembersihan pada perwira tinggi yang menaruh simpati terhadap Menhankam/Pangab M Jusuf dan kelompok Islam.

Kondisi semacam itu terungkap dari perjalanan karier Prabowo Subianto, yang mengalami kehidupan militer dekat dengan Benny Moerdani. Terutama dalam kurun 1982-1985, saat bertugas sebagai Staf Khusus Benny Moerdani.

Sebagai staf khusus yang dipercayai Benny Moerdani, Prabowo mendapat banyak informasi tentang pelbagai rencana menghancurkan gerakan Islam secara sistematis. Prabowo mendapatkan kepercayaan ini lantaran Benny melihat latar belakang ayahnya, Prof Soemitro Djojohadikusumo-seseorang sosialis, dan ibunya penganut Kristen dari Manado.

Tetapi atas rencana-rencana yang ia dengar dari atasannya tersebut tidak membuat Prabowo nyaman. Ia lantas justru melaporkannya kepada mertuanya, Presiden Soeharto, termasuk rencana Benny untuk menguasai Indonesia dan menjadi RI 1.

Pengaduan yang dilakukan Prabowo kepada Presiden Soeharto menjadi penyebab letupan awal konflik antara Benny Moerdani dan Prabowo Subianto. Meski mulanya Soeharto tidak memercayai berita tersebut, tapi berdasarkan informasi lanjutan yang ia dapatkan sendiri akhirnya percaya.

Kemarahan Jenderal Benny Moerdani tak terbendung, Prabowo lantas dikeluarkan dari korps baret merah Kopassus ke korps baret hijau Kostrad menjadi Kepala Staf KODIM (Kasdim), jabatan buangan anggota Kopassus. Sebelum dibuang, Prabowo menjabat Wakil Komandan Detasemen 81-pasukan elite Kopassus spesial antiteror yang dibentuk bersama Letkol Luhut Panjaitan. Atas apa yang Prabowo alami, ia dikabarkan menjadi sangat benci terhadap Benny Moerdani.

Jika Prabowo pernah tersingkir oleh Benny Moerdani, maka selanjutnya Prabowo menjadi semakin hati-hati dengan langkah yang ia ambil. Tercermin dalam pelbagai pertemuan di tahun 1985 misalnya, ketika itu Mayor Prabowo bertemu dengan koleganya sesama perwira menengah seperti Mayor Kivlan Zen, Mayor Ismed Yuzairi, Mayor Sjafrie Sjamsoeddin, dan Mayor Glen Kairupan di rumah Prabowo di Lembang Bandung. Dalam pertemuan itu, menurut Kivlan Zen, Prabowo kerap berkata bisik-bisik dan penuh kekhawatiran.

Karir Jenderal Benny Moerdani tidak saja digoyah oleh Prabowo, tapi beberapa statemen dan langkah yang ia ambil sendiri justru menjadi penentu nasibnya. Disebutkan, suatu kali ketika Pak Harto dan Benny sedang main biliar berdua, Benny mengatakan sesuatu yang membuat Pak Harto sangat tersinggung.

Benny berkata jika untuk menjaga keamanan pribadi Presiden, memang sudah cukup satu batalion Paspampres. Tapi, untuk pengamanan politik Presiden mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan Presiden sendiri. Setelah mendengar ucapan yang demikian, Pak Harto lantas masuk kamar tidur. Maksud di balik "teguran" Benny ini adalah berkenaan dengan sepak terjang anak-anak Soeharto di bidang bisnis.

Ikhwal mengenai keberanian Benny dalam "menegur", mengutarakan hal-hal sensitif kepada pribadi Presiden Soeharto tidak cukup sampai di situ. Menurut versi Sudomo yang pernah menjabat Wapangab/Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, Benny Moerdani pernah menyampaikan saran kepada Soeharto untuk mempertimbangkan pengunduran diri secara sukarela, karena 20 tahun adalah masa periode yang terlampau lama.

Menjelang Sidang Umum (SU) MPR 1988, Soeharto mencium upaya dan kabar bahwa Pangab Jenderal Benny Moerdani sangat berambisi menjadi wakil presiden. Rencana dan siasat pun dijalankan, termasuk menjadikan Fraksi ABRI di MPR lokomotif yang mendukung dirinya.

Tak terduga, menjelang SU Presiden Soeharto melakukan percepatan penggantian Panglima ABRI dari Jenderal Benny Moerdani kepada Jenderal Tri Sutrisno. Pergantian mendadak yang menggagalkan ambisi Benny Moerdani ini tidak lain atas informasi yang diberika Prabowo sebagai rivalnya kepada Presiden Soeharto.

Lalu muncul kekhawatiran adanya kelompok Benny yang akan "mengganggu" jalannya SU melalui kudeta. Prabowo lalu unjuk diri. Bahkan untuk mengantisipasi gangguan itu ia menyiapkan 1 Batalion Kopassus, Batalion Infantri Linud 328, Batalion Infantri 315, yang dipercayainya untuk melakukan kontra kudeta. Tapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Yang ada hanya gangguan-gangguan kecil lainnya.

Gagal dalam mengganggu SU MPR, kelompok Benny kembali melancarkan isu suksesi yang didukung gencarnya Petisi 50, oleh mantan jenderal dan menteri untuk menjatuhkan presiden. Tahun 1989 Soeharto berkata: "Biar jenderal atau pun menteri yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk".

Memudarnya pamor Benny membuat semakin gencarnya gerakan pembersihan terhadap perwira-perwira militer yang berafiliasi ke grup Benny-seperti gerakan serupa yang pernah Benny gencarkan membersihkan perwira militer yang bersimpati pada Jenderal M Jusuf dan Islam. Mayjen Sintong Panjaitan adalah salah satu korbannya, empat tahun setelah Jenderal Benny Moerdani tidak menjadi Pangab, karier militernya akhirnya tamat.

Konflik yang terjadi antara M Jusuf dengan Benny Moerdani hampir mirip dengan konflik yang terjadi antara Ali Moertopo dengan Soemitro. Di mana, masing-masing pihak menjatuhkan demi sebuah kemenangan.

Konflik yang diduga sengaja dibiarkan oleh Soeharto selaku Presiden RI kala itu. Karena, siapapun yang menang, tetaplah dia pemenangnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1935 seconds (0.1#10.140)