Vaksinasi Covid-19 Tiap Tahun, Perlu dan Mungkin?
loading...
A
A
A
Iqbal Mochtar
Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah
ADA isu “ngeri-ngeri sedap” yang didiskusikan para ahli. Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, vaksinasi Covid-19 sepertinya akan menjadi vaksinasi rutin. Vaksin akan diberikan setiap periode tertentu; mungkin 6, 12 atau 18 bulan. Paling kencang usulannya setiap 12 bulan. Sama vaksin flu musiman yang diberikan setiap tahun. Alasannya cukup masuk akal.
Pertama, massive scale effect. Penyebaran virus Covid-19 saat ini sudah sedemikian masif. Hampir tidak ada satu daerah pun yang tidak dimasuki. Dengan penyebaran yang sudah semasif ini, sangat kecil kemungkinan virus ini dapat tereradikasi di muka bumi. Sebaik apapun penatalaksanaan dilakukan, pandemi ini hanya akan bermetamorfosis menjadi endemi. Tidak hilang sama sekali. Ini juga diajarkan oleh teori epidemiologi. Perbaikan pandemi ditandai oleh munculnya fase deselerasi yang diikuti fase kontrol, eliminasi dan eradikasi. Eradikasi artinya virus benar-benar hilang dari muka bumi. Penyakit menular yang sudah masif penyebarannya tidak akan bisa tiba pada fase eradikasi. Paling banter landing-nya ke fase kontrol. Artinya, virus tetap ada namun telah dikontrol; tidak ada lagi lonjakan kesakitan, keparahan atau kematian. Dalam sejarah, hanya ada satu penyakit menular yang benar-benar pernah tereradikasi dari muka bumi yaitu small-pox. Selebihnya, tidak hilang total namun hilang timbul secara scattered.
Kedua, variant effect. Mutasi adalah proses alami virus. Mutasi signifikan melahirkan varian baru. Ketika virus tetap bersirkulasi pada kehidupan, apalagi bila belum terjadi penanganan global yang efektif, potensi virus bermutasi dan membentuk varian baru semakin besar. Varian baru yang muncul biasanya memiliki struktur berbeda dengan strain sebelumnya. Dengan ini, varian baru memiliki entitas baru terkait transmisinya, target perlekatan dan virulensinya. Akibat perubahan ini, varian berpotensi memiliki immune escape properties; kemampuan untuk menghindar dari atau menahan vaksin. Vaksin yang tersedia bisa menjadi tidak adekuat saat melawan varian baru. Kemanjurannya berkurang atau menjadi hilang sama sekali. Omicron adalah contohnya. Saat berhadapan varian Delta dan varian sebelumnya, kemanjuran vaksin mencegah orang terinfeksi rata-rata di atas 80%. Namun ketika berhadapan dengan Omicron, kemanjurannya menurun menjadi 33%. Akibatnya, orang yang telah divaksin dosis lengkap sekalipun bisa saja terinfeksi Omicron dan mengalami keluhan. Atas dasar ini, orang yang telah divaksin dosis lengkap pun membutuhkan booster. Makanya dunia sekarang sibuk menggelar program booster, yang sebagian menyebutnya dosis ketiga. Beberapa negara, seperti Israel dan Uni Emirat Arab, bahkan telah bersiap-siap memberikan dosis keempat pada penduduknya. Semakin banyak muncul varian baru, semakin besar kemungkinan manusia membutuhkan tambahan dosis atau booster atau bahkan vaksin khusus. Sekarang saja perusahaan Pfizer dan Moderna sementara memproduksi vaksin yang khusus buat Omicron. WHO sendiri mengingatkan perusahaan vaksin untuk terus meng-update vaksinnya agar tetap efektif saat berhadapan varian-varian baru.
Ketiga, waning effect. Walau tanpa varian baru, manusia membutuhkan tambahan dosis atau booster untuk mempertahankan level antibodi yang diperlukan untuk melawan Covid-19. Alasannya, antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin mengalami degradasi kemanjuran sejalan dengan perjalanan waktu (waning effect). Kemampuan proteksinya berkurang. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 5-6 bulan setelah dosis kedua vaksin, kemampuan proteksi vaksin hanya tertinggal 0-10%. Waning effect ini tergantung periode; semakin panjang periode setelah penyuntikan, semakin besar waning effect-nya. Level degradasi juga bervariasi dari satu vaksin ke vaksin lain. Namun sebagian besar level antibodi menurun ke level yang tidak memberikan proteksi lagi setelah 6-12 bulan. Artinya, setelah periode ini, vaksin sudah tidak protektif. Orang menjadi rentan terhadap infeksi; sama rentannya ketika tidak divaksin. Dengan alasan ini pula, manusia membutuhkan dosis tambahan untuk tetap memiliki antibodi berlevel protektif.
Keempat, pandemic profittering effect. Vaksin adalah komoditas bisnis. Targetnya miliaran orang. Sebuah laporan menyebutkan bahwa perusahaan vaksin meraup keuntungan USD94 juta setiap hari. Tahun lalu, keuntungan Pfizer mencapai USD37 miliar. Perusahaan vaksin dan pihak yang terlibat bisnis ini tentu saja tidak ingin kehilangan momentum. Mereka disebut pandemic profittering. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk menjustifikasi program vaksinasi regular. Maka jangan heran bila akan muncul berbagai alasan lain, di luar alasan di atas, yang mendukung program vaksinasi reguler. Baru-baru ini saja, CEO Pfizer Dr Albert Bourla mengeluarkan pendapat bahwa vaksin sebaiknya diberikan setiap tahun. Alasannya, strategi ini lebih baik daripada pengulangan booster setiap beberapa bulan. Pemberian tahunan juga akan lebih mudah diterima masyarakat. Hingga saat ini juga, perusahaan vaksin belum mau membagi formula vaksinnya agar bisa diproduksi secara luas. Alasannya, vaksin adalah produk biologis yang kompleks, terdiri dari banyak unsur, yang pembuatannya membutuhkan keahlian tinggi, pengalaman dan alat. Padahal saat awal pandemi, mereka mengeluarkan komitmen akan menggunakan semua sumber dan keahlian untuk memproteksi populasi global. Intinya, beragam upaya akan dilakukan pandemic profittering untuk memuluskan program vaksinasi tahunan.
Suka atau tidak suka, gabungan massive, variant, waning, and pandemic profittering effects menjadi alasan substansial kemungkinan digelarnya vaksinasi tahunan. Bila ini benar terjadi, tentu banyak isu bersirkulasi : apakah harus diberikan pada semua orang, apakah sifatnya wajib, apakah gratis? Namun, lupakan sementara isu-isu potensial tersebut. Yang perlu dibereskan saat ini adalah kesiapan mental (mental readiness) kalau program ini benar akan terlaksana. Sekarang saja, masih cukup banyak masyarakat yang menolak program vaksinasi. Bagaimana bila nanti program ini benar-benar menjadi reguler?
Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah
ADA isu “ngeri-ngeri sedap” yang didiskusikan para ahli. Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, vaksinasi Covid-19 sepertinya akan menjadi vaksinasi rutin. Vaksin akan diberikan setiap periode tertentu; mungkin 6, 12 atau 18 bulan. Paling kencang usulannya setiap 12 bulan. Sama vaksin flu musiman yang diberikan setiap tahun. Alasannya cukup masuk akal.
Pertama, massive scale effect. Penyebaran virus Covid-19 saat ini sudah sedemikian masif. Hampir tidak ada satu daerah pun yang tidak dimasuki. Dengan penyebaran yang sudah semasif ini, sangat kecil kemungkinan virus ini dapat tereradikasi di muka bumi. Sebaik apapun penatalaksanaan dilakukan, pandemi ini hanya akan bermetamorfosis menjadi endemi. Tidak hilang sama sekali. Ini juga diajarkan oleh teori epidemiologi. Perbaikan pandemi ditandai oleh munculnya fase deselerasi yang diikuti fase kontrol, eliminasi dan eradikasi. Eradikasi artinya virus benar-benar hilang dari muka bumi. Penyakit menular yang sudah masif penyebarannya tidak akan bisa tiba pada fase eradikasi. Paling banter landing-nya ke fase kontrol. Artinya, virus tetap ada namun telah dikontrol; tidak ada lagi lonjakan kesakitan, keparahan atau kematian. Dalam sejarah, hanya ada satu penyakit menular yang benar-benar pernah tereradikasi dari muka bumi yaitu small-pox. Selebihnya, tidak hilang total namun hilang timbul secara scattered.
Kedua, variant effect. Mutasi adalah proses alami virus. Mutasi signifikan melahirkan varian baru. Ketika virus tetap bersirkulasi pada kehidupan, apalagi bila belum terjadi penanganan global yang efektif, potensi virus bermutasi dan membentuk varian baru semakin besar. Varian baru yang muncul biasanya memiliki struktur berbeda dengan strain sebelumnya. Dengan ini, varian baru memiliki entitas baru terkait transmisinya, target perlekatan dan virulensinya. Akibat perubahan ini, varian berpotensi memiliki immune escape properties; kemampuan untuk menghindar dari atau menahan vaksin. Vaksin yang tersedia bisa menjadi tidak adekuat saat melawan varian baru. Kemanjurannya berkurang atau menjadi hilang sama sekali. Omicron adalah contohnya. Saat berhadapan varian Delta dan varian sebelumnya, kemanjuran vaksin mencegah orang terinfeksi rata-rata di atas 80%. Namun ketika berhadapan dengan Omicron, kemanjurannya menurun menjadi 33%. Akibatnya, orang yang telah divaksin dosis lengkap sekalipun bisa saja terinfeksi Omicron dan mengalami keluhan. Atas dasar ini, orang yang telah divaksin dosis lengkap pun membutuhkan booster. Makanya dunia sekarang sibuk menggelar program booster, yang sebagian menyebutnya dosis ketiga. Beberapa negara, seperti Israel dan Uni Emirat Arab, bahkan telah bersiap-siap memberikan dosis keempat pada penduduknya. Semakin banyak muncul varian baru, semakin besar kemungkinan manusia membutuhkan tambahan dosis atau booster atau bahkan vaksin khusus. Sekarang saja perusahaan Pfizer dan Moderna sementara memproduksi vaksin yang khusus buat Omicron. WHO sendiri mengingatkan perusahaan vaksin untuk terus meng-update vaksinnya agar tetap efektif saat berhadapan varian-varian baru.
Ketiga, waning effect. Walau tanpa varian baru, manusia membutuhkan tambahan dosis atau booster untuk mempertahankan level antibodi yang diperlukan untuk melawan Covid-19. Alasannya, antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin mengalami degradasi kemanjuran sejalan dengan perjalanan waktu (waning effect). Kemampuan proteksinya berkurang. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 5-6 bulan setelah dosis kedua vaksin, kemampuan proteksi vaksin hanya tertinggal 0-10%. Waning effect ini tergantung periode; semakin panjang periode setelah penyuntikan, semakin besar waning effect-nya. Level degradasi juga bervariasi dari satu vaksin ke vaksin lain. Namun sebagian besar level antibodi menurun ke level yang tidak memberikan proteksi lagi setelah 6-12 bulan. Artinya, setelah periode ini, vaksin sudah tidak protektif. Orang menjadi rentan terhadap infeksi; sama rentannya ketika tidak divaksin. Dengan alasan ini pula, manusia membutuhkan dosis tambahan untuk tetap memiliki antibodi berlevel protektif.
Keempat, pandemic profittering effect. Vaksin adalah komoditas bisnis. Targetnya miliaran orang. Sebuah laporan menyebutkan bahwa perusahaan vaksin meraup keuntungan USD94 juta setiap hari. Tahun lalu, keuntungan Pfizer mencapai USD37 miliar. Perusahaan vaksin dan pihak yang terlibat bisnis ini tentu saja tidak ingin kehilangan momentum. Mereka disebut pandemic profittering. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk menjustifikasi program vaksinasi regular. Maka jangan heran bila akan muncul berbagai alasan lain, di luar alasan di atas, yang mendukung program vaksinasi reguler. Baru-baru ini saja, CEO Pfizer Dr Albert Bourla mengeluarkan pendapat bahwa vaksin sebaiknya diberikan setiap tahun. Alasannya, strategi ini lebih baik daripada pengulangan booster setiap beberapa bulan. Pemberian tahunan juga akan lebih mudah diterima masyarakat. Hingga saat ini juga, perusahaan vaksin belum mau membagi formula vaksinnya agar bisa diproduksi secara luas. Alasannya, vaksin adalah produk biologis yang kompleks, terdiri dari banyak unsur, yang pembuatannya membutuhkan keahlian tinggi, pengalaman dan alat. Padahal saat awal pandemi, mereka mengeluarkan komitmen akan menggunakan semua sumber dan keahlian untuk memproteksi populasi global. Intinya, beragam upaya akan dilakukan pandemic profittering untuk memuluskan program vaksinasi tahunan.
Suka atau tidak suka, gabungan massive, variant, waning, and pandemic profittering effects menjadi alasan substansial kemungkinan digelarnya vaksinasi tahunan. Bila ini benar terjadi, tentu banyak isu bersirkulasi : apakah harus diberikan pada semua orang, apakah sifatnya wajib, apakah gratis? Namun, lupakan sementara isu-isu potensial tersebut. Yang perlu dibereskan saat ini adalah kesiapan mental (mental readiness) kalau program ini benar akan terlaksana. Sekarang saja, masih cukup banyak masyarakat yang menolak program vaksinasi. Bagaimana bila nanti program ini benar-benar menjadi reguler?
(bmm)