Wartawan Ini Menolak Jadi Gubernur Pertama Kalimantan

Rabu, 02 Februari 2022 - 04:42 WIB
loading...
Wartawan Ini Menolak Jadi Gubernur Pertama Kalimantan
Anang Abdul Hamidhan, Wartawan yang Menolak Jadi Gubernur Pertama Kalimantan. Foto/Ist
A A A
TETAP menjadi wartawan menjadi jalan hidup yang diambil Anang Abdul Hamidhan. Dia menolak dicalonkan sebagai gubernur pertama Kalimantan.

Sejarah mencatat Pangeran Muhammad Noor atau PM Noor menjadi gubernur pertama Kalimantan. Diangkatnya PM Noor sebagai gubernur Kalimantan tidak terlepas dari penolakan Anang Abdul Hamidhan, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari Kalimantan.

Cerita berawal pada 18 Agustus 1945. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, digelar Sidang Pleno PPKI di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Sidang membahas rancangan pembukaan dan undang-undang dasar yang telah disiapkan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ).



Dalam rapat itu juga diusulkan bahwa Soekarno menjadi Presiden, sementara Mohammad Hatta menjadi Wakil Presiden. Usulan itu diterima dengan suara bulat. Peserta sidang pun lantas berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Malam hari hingga 19 Agustus 1945 dini hari, diadakan pertemuan khusus membahas hal-hal yang mendesak yaitu masalah wilayah negara, kepolisian, tentara, dan perekonomian.

Para utusan daerah diminta menjadi gubernur di daerahnya masing-masing. Namun, Anang Abdul Hamidhan, selanjutnya disebut Hamidhan, menolaknya. Padahal, anggota PPKI dari luar Jawa semuanya bersedia diangkat menjadi gubernur. Sebut saja Teuku Muhammad Hasan memimpin Sumatera, I Gusti Ketut Pudja memimpin Sunda Kecil, J Latuharhary memimpin Maluku, serta GSSJ. Ratulangi menjadi gubernur Sulawesi.





Selain mereka, ada Sutardjo Kartohadikusomo memimpin Jawa Barat, Raden Pandji Soeroso memimpin Jawa Tengah, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo menjadi gubernur Jawa Timur.

Penolakan Hamidhan menjadi gubernur Kalimantan tentu membuat heran mereka yang hadir dalam pertemuan itu. Hatta pun menanyakan hal itu. Tapi, dengan tegas Hamidhan menjawab dia ingin tetap berkiprah di bidang yang selama ini dia geluti, yakni menjadi wartawan.

Meski heran dengan penolakan Hamidhan itu, Otto Iskandar Dinata yang memimpin pertemuan, kemudian bertanya kepada Hamidhan tentang siapa yang dia usulkan menjadi gubernur Kalimantan (kala itu disebut Borneo). Hamidhan kemudian mengusulkan Pangeran Muhammad Noor yang waktu itu tinggal di Bandung sebagai pegawai tinggi Departemen Pekerjaan Umum untuk menduduki jabatan tersebut. Hamidhan yakin usulannya akan diterima seluruh rakyat Kalimantan.

Dikutip dari buku HAA Hamidhan Pejuang dan Perintis Pers di Kalimantan yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1986), usul itu diterima oleh Otto Iskandar Dinata dan kemudian disampaikan kepada presiden dalam pleno berikutnya.

Keesokan harinya, 19 Agustus 1945, sidang pleno dilanjutkan. Salah satu agendanya adalah penyampaian laporan tentang hasil panitia kecil yang dipimpin Otto Iskandar Dinata. Salah satu isi laporan tersebut adalah tentang pembagian wilayah Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi dengan masing-masing calon gubernurnya serta dua daerah istimewa yakni Yogyakarta dan Surakarta.

Perintis Pers di Kalimantan
Hamidhan adalah seorang pejuang dan wartawan dari Kalimantan Selatan. Tokoh kelahiran Rantau, Tapin, Kalimantan Selatan pada 25 Februari 1909 merupakan anak dari pasangan Anang Atjil Kusuma Wiranagara dan Sitti Djachrah.

Hamidhan berkecimpung di dunia jurnalistik sejak usia 18 tahun (1927). Dikutip dari munasprok.go.id, kala itu Hamidhan menjadi anggota redaksi surat kabar Perasaan Kita di Samarinda dan anggota redaksi Bintang Timur yang terbit di Jakarta. Hamidhan juga menjadi pemimpin redaksi Bendahara Borneo (1929), Soeara Kalimantan (1930-an), Kalimantan Raya (1942), dan Borneo Shimbun (1945).

Untuk diketahui, Soeara Kalimantan merupakan surat kabar pribumi pertama yang didirikan Hamidhan di Banjarmasin pada 23 Maret 1930. Pengaruh dari surat kabar ini besar, karena diikuti wartawan pribumi lainnya. Dalam tempo singkat, 14 koran/majalah terbit di Borneo Selatan dalam kurun waktu 1930-1942.

Hamidhan pernah tiga kali kena persdelict (delik pers) dan kemudian dibui. Dua bulan penjara di Cipinang (1930), enam minggu penjara di Banjarmasin (1932) dan yang terakhir enam bulan di Banjarmasin (1936). Memang pada saat itu, umumnya wartawan atau pemimpin redaksi rata-rata adalah anggota organisasi partai politik.

Selama pendudukan Jepang, Hamidhan bekerja menjadi pemimpin redaksi Borneo Shimboen, sebuah surat kabar yang berada di bawah kontrol pemerintah militer Jepang. Selanjutnya, Hamidhan ditunjuk Jepang menjadi wakil dari Kalimantan dalam PPKI.

Hamidhan turut hadir pada dua peristiwa penting terkait proklamasi pada 16-17 Agustus 1945 yakni pertemuan Bung Karno-Bung Hatta dengan para anggota PPKI di rumah Laksamana Maeda dan pembacaan Teks Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.

Pejuang pers ini meninggal dunia pada 21 Agustus 1997. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Muslimin Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Sumber:
1. Buku HAA Hamidhan Pejuang dan Perintis Pers di Kalimantan, ditulis Soimun Hp, diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1986)
2. munasprok.go.id
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2020 seconds (0.1#10.140)