Kerentanan Tenaga Kerja Menghadapi Otomasi
loading...
A
A
A
Pekerjaan seperti data scientist, content creator, dan berbagai pekerjaan lainnya bermunculan. Dalam jangka panjang, ketika kondisi tenaga kerja mampu beradaptasi dengan permintaan pasar akan menciptakan keseimbangan baru (reinstatement).
Langkah ke Depan
Otomasi, menurut Ford(2015) dalam Rise of The Robots and Threat to Jobs, mengubah asumsi dasar tentang teknologi. Selama ini teknologi dipahami sebagai alat (tools) yang membantu meningkatkan produktiivitas pekerja. Otomasi bukan saja hanya membantu, tapi bisa menggantikan pekerja. Dari sisi produksi, produsen tentu lebih memilih untuk menginvestasikan modal untuk teknologi mesin daripada untuk pekerja. Hal tersebut mudah dipahami, dengan asumsi tingkat produktivitas yang sama, mesin jauh lebih mudah “dikendalikan” daripada manusia.
Ada dua hal yang bisa dilakukan ke depan menghadapi kerentanan tersebut. Pertama, pemerintah bisa mempertimbangkan pengenaan pajak robot seperti yang dilakukan oleh Jepang. Selain bertujuan menekan laju otomasi di sektor produksi, pemerintah juga harus menambah alokasi investasi sumber daya manusia Indonesia. Kedua, perlu roadmap yang jelas terkait transformasi sumber daya manusia Indonesia. Masalah seperti mismatchantara sektor pendidikan dengan sektor riil, kebutuhan talenta digital dan lain-lain harus segera ditemukan titik pangkalnya. Karena sektor tenaga kerja juga berkaitan dengan aspek sosial politik lainnya seperti kesejahteraan, tingkat kriminalitas dan stabilitas politik.
Dibutuhkan komitmen semua pihak dalam menyiapkan SDM Indonesia mengahadapi kerentanan ini. Jika tidak, kisah pemberontakan dan kerusuhan pekerja Luddite abad 18 di Inggris yang menolak kedatangan mesin untuk pertanian mungkin saja terjadi, dalam cara yang lain jika kita gagap mengantisipasi dan beradaptasi. Bukankah keinginan Indonesia untuk lepas landas 2045 dan kesempatan mendulang berkah bonus demografi bisa menjadi bencana (catasthrope)?
Langkah ke Depan
Otomasi, menurut Ford(2015) dalam Rise of The Robots and Threat to Jobs, mengubah asumsi dasar tentang teknologi. Selama ini teknologi dipahami sebagai alat (tools) yang membantu meningkatkan produktiivitas pekerja. Otomasi bukan saja hanya membantu, tapi bisa menggantikan pekerja. Dari sisi produksi, produsen tentu lebih memilih untuk menginvestasikan modal untuk teknologi mesin daripada untuk pekerja. Hal tersebut mudah dipahami, dengan asumsi tingkat produktivitas yang sama, mesin jauh lebih mudah “dikendalikan” daripada manusia.
Ada dua hal yang bisa dilakukan ke depan menghadapi kerentanan tersebut. Pertama, pemerintah bisa mempertimbangkan pengenaan pajak robot seperti yang dilakukan oleh Jepang. Selain bertujuan menekan laju otomasi di sektor produksi, pemerintah juga harus menambah alokasi investasi sumber daya manusia Indonesia. Kedua, perlu roadmap yang jelas terkait transformasi sumber daya manusia Indonesia. Masalah seperti mismatchantara sektor pendidikan dengan sektor riil, kebutuhan talenta digital dan lain-lain harus segera ditemukan titik pangkalnya. Karena sektor tenaga kerja juga berkaitan dengan aspek sosial politik lainnya seperti kesejahteraan, tingkat kriminalitas dan stabilitas politik.
Dibutuhkan komitmen semua pihak dalam menyiapkan SDM Indonesia mengahadapi kerentanan ini. Jika tidak, kisah pemberontakan dan kerusuhan pekerja Luddite abad 18 di Inggris yang menolak kedatangan mesin untuk pertanian mungkin saja terjadi, dalam cara yang lain jika kita gagap mengantisipasi dan beradaptasi. Bukankah keinginan Indonesia untuk lepas landas 2045 dan kesempatan mendulang berkah bonus demografi bisa menjadi bencana (catasthrope)?
(bmm)