Solusi Pelat 'RF' Tak Cukup dengan Razia
loading...
A
A
A
RABU (18/1) pekan lalu, Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya menilang sedikitnya 124 kendaraan yang melanggar penggunaan pelat nomor khusus dan rahasia. Kode pelat khusus ini lazimnya diawali dengan dua huruf, yakni RF yang tertera di belakang nomor. RF ini singkatan dari rahasia fasilitas.
Langkah Ditlantas Polda Metro Jaya ini patut diapresiasi. Meski jumlah kendaraan berpelat RF ini sangat terbatas, namun sejatinya jika mau diseriusi, total pelanggar diyakini lebih dari angka itu. Khalayak pun selama ini mafhum, ketika di jalan, pengguna pelat RF ini seolah sosok istimewa dan tak tersentuh dengan aneka ragam pasal atau undang-undang.
Mereka "berhak" menerobos beragam aturan jalan, termasuk ganjil genap dan gunakan bahu jalan seenaknya. Apalagi jika dilengkapi dengan strobo dan sirene, ulah mereka kian menjadi-jadi seperti jagoan.
Fenomena ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Tak ayal, ketika pekan lalu jajaran Ditlantas Polda Metro Jaya melakukan razia, banyak kalangan memberikan apresiasi positif. Selain menunjukkan keberanian kerja aparat penegak hukum, langkah Ditlantas ini juga makin membukakan mata publik bahwa ternyata kendaraan berpelat khusus itu bukanlah seperti dewa yang tak tersentuh dosa. Bahkan merujuk pernyataan anggota Kompolnas Pudji Hartanto, pelat RF statusnya sama di mata hukum lantaran sama-sama berwarna hitam. Pelat RF bukanlah masuk dalam tujuh golongan kendaraan yang berhak mendapat prioritas di jalan sebagaimana isi dari UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tapi umumnya publik selama ini kadung "membenarkan" ulah pelat RF ini. Praktis, ketika mobil pelat RF meminta jalan khusus meski tanpa ada pengawalan, pengendara lain rela mengalah. Mereka takut berurusan dan bergesekan. Apalagi sang empu di mobil RF itu tentu bukanlah sembarang orang. Setidaknya bisa aparat polisi, tentara atau pejabat pemerintah.
Razia pelat RF yang dilakukan Ditlantas Polda Metro Jaya ini semestinya menjadi momentum bersama untuk membenahi pengaturan pelat khusus tersebut. Publik menyadari, pelat khusus adalah hal yang lazim digunakan seperti untuk presiden, pejabat tinggi, tamu kenegaraan dan lain sebagainya. Dan, jika memang kendaraan berkode RF bukanlah masuk dalam prioritas, maka saatnya untuk dikaji ulang atas kebijakan ini.
Jika memang tak masuk prioritas, lebih baik pelat model ini ditiadakan. Pilihan ini lebih bijak, ketimbang banyak pelat RF justru disalahgunakan. Termasuk yang tak kalah memprihatinkan, ada anggota DPR yang memiliki pelat khusus sama hingga lima buah. Padahal polisi hanya memberikan izin pelat khusus itu untuk satu unit saja. Kok bisa? Kita semua juga heran. Tapi faktanya memang demikian.
Penghapusan pelat RF patut dipertimbangkan karena melihat praktiknya lebih banyak digunakan untuk hal yang tidak semestinya. Jika memang ada kebutuhan keamanan atau kerahasiaan, akan lebih baik jika pelat ini diterbitkan seselektif mungkin. Artinya, pelat khusus ini tidak seolah diobral hingga pejabat level eselon 3 seperti sekarang sebagaimana diatur di Peraturan Kapolri No 3/ 2012 tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia bagi Kendaraan Bermotor Dinas. Pelat RF ini juga rawan menciptakan pasar gelap. Indikasi ini setidaknya dikuatkan seperti ulah anggota DPR dari PDIP yang bisa memiliki pelat khusus polisi hingga lima buah.
Yang patut juga dipikirkan lebih jauh adalah kenapa banyak pihak seolah begitu bangga dan berebut untuk mendapatkan pelat RF ini. Tentu hal ini tidak terlepas dari keinginan mereka mendapat perlakuan istimewa di jalan. Kemacetan lalu lintas di Indonesia menjadi pemicu utama kenapa pejabat ingin mendapat jalur khusus itu. Maka, masalah kemacetan ini harus benar-benar dicarikan solusi yang komprehensif. Ketika kemacetan bukan lagi menjadi masalah krusial bangsa, tentu kegairahan memiliki pelat RF diyakini menjadi berkurang.
Semua pihak harus mendukung upaya polisi menertibkan perilaku penggunaan RF yang cenderung tak terpuji ini. Bahkan, demi memberikan efek jera, pelanggar-pelanggar pelat khusus ini bisa saja dipublikasikan. Hal ini tak berlebihan, sebab sebagai pejabat tentu sudah seharusnya memosisikan sebagai teladan.
Kita pun juga meyakini, menertibkan pelat RF di tengah praktik regulasi yang acakadut ini juga bukan hal enteng. Untuk itu, razia bukanlah langkah final. Yang justru lebih penting adalah menghilangkan faktor pemicu para pengendara itu berani nekat melanggar. Tak kalah penting adalah membangun kesadaran kolektif untuk menjaga jalan raya sebagai kebutuhan dan milik bersama.
Langkah Ditlantas Polda Metro Jaya ini patut diapresiasi. Meski jumlah kendaraan berpelat RF ini sangat terbatas, namun sejatinya jika mau diseriusi, total pelanggar diyakini lebih dari angka itu. Khalayak pun selama ini mafhum, ketika di jalan, pengguna pelat RF ini seolah sosok istimewa dan tak tersentuh dengan aneka ragam pasal atau undang-undang.
Mereka "berhak" menerobos beragam aturan jalan, termasuk ganjil genap dan gunakan bahu jalan seenaknya. Apalagi jika dilengkapi dengan strobo dan sirene, ulah mereka kian menjadi-jadi seperti jagoan.
Fenomena ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Tak ayal, ketika pekan lalu jajaran Ditlantas Polda Metro Jaya melakukan razia, banyak kalangan memberikan apresiasi positif. Selain menunjukkan keberanian kerja aparat penegak hukum, langkah Ditlantas ini juga makin membukakan mata publik bahwa ternyata kendaraan berpelat khusus itu bukanlah seperti dewa yang tak tersentuh dosa. Bahkan merujuk pernyataan anggota Kompolnas Pudji Hartanto, pelat RF statusnya sama di mata hukum lantaran sama-sama berwarna hitam. Pelat RF bukanlah masuk dalam tujuh golongan kendaraan yang berhak mendapat prioritas di jalan sebagaimana isi dari UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tapi umumnya publik selama ini kadung "membenarkan" ulah pelat RF ini. Praktis, ketika mobil pelat RF meminta jalan khusus meski tanpa ada pengawalan, pengendara lain rela mengalah. Mereka takut berurusan dan bergesekan. Apalagi sang empu di mobil RF itu tentu bukanlah sembarang orang. Setidaknya bisa aparat polisi, tentara atau pejabat pemerintah.
Razia pelat RF yang dilakukan Ditlantas Polda Metro Jaya ini semestinya menjadi momentum bersama untuk membenahi pengaturan pelat khusus tersebut. Publik menyadari, pelat khusus adalah hal yang lazim digunakan seperti untuk presiden, pejabat tinggi, tamu kenegaraan dan lain sebagainya. Dan, jika memang kendaraan berkode RF bukanlah masuk dalam prioritas, maka saatnya untuk dikaji ulang atas kebijakan ini.
Jika memang tak masuk prioritas, lebih baik pelat model ini ditiadakan. Pilihan ini lebih bijak, ketimbang banyak pelat RF justru disalahgunakan. Termasuk yang tak kalah memprihatinkan, ada anggota DPR yang memiliki pelat khusus sama hingga lima buah. Padahal polisi hanya memberikan izin pelat khusus itu untuk satu unit saja. Kok bisa? Kita semua juga heran. Tapi faktanya memang demikian.
Penghapusan pelat RF patut dipertimbangkan karena melihat praktiknya lebih banyak digunakan untuk hal yang tidak semestinya. Jika memang ada kebutuhan keamanan atau kerahasiaan, akan lebih baik jika pelat ini diterbitkan seselektif mungkin. Artinya, pelat khusus ini tidak seolah diobral hingga pejabat level eselon 3 seperti sekarang sebagaimana diatur di Peraturan Kapolri No 3/ 2012 tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia bagi Kendaraan Bermotor Dinas. Pelat RF ini juga rawan menciptakan pasar gelap. Indikasi ini setidaknya dikuatkan seperti ulah anggota DPR dari PDIP yang bisa memiliki pelat khusus polisi hingga lima buah.
Yang patut juga dipikirkan lebih jauh adalah kenapa banyak pihak seolah begitu bangga dan berebut untuk mendapatkan pelat RF ini. Tentu hal ini tidak terlepas dari keinginan mereka mendapat perlakuan istimewa di jalan. Kemacetan lalu lintas di Indonesia menjadi pemicu utama kenapa pejabat ingin mendapat jalur khusus itu. Maka, masalah kemacetan ini harus benar-benar dicarikan solusi yang komprehensif. Ketika kemacetan bukan lagi menjadi masalah krusial bangsa, tentu kegairahan memiliki pelat RF diyakini menjadi berkurang.
Semua pihak harus mendukung upaya polisi menertibkan perilaku penggunaan RF yang cenderung tak terpuji ini. Bahkan, demi memberikan efek jera, pelanggar-pelanggar pelat khusus ini bisa saja dipublikasikan. Hal ini tak berlebihan, sebab sebagai pejabat tentu sudah seharusnya memosisikan sebagai teladan.
Kita pun juga meyakini, menertibkan pelat RF di tengah praktik regulasi yang acakadut ini juga bukan hal enteng. Untuk itu, razia bukanlah langkah final. Yang justru lebih penting adalah menghilangkan faktor pemicu para pengendara itu berani nekat melanggar. Tak kalah penting adalah membangun kesadaran kolektif untuk menjaga jalan raya sebagai kebutuhan dan milik bersama.
(bmm)