Legitimasi Hukum Ibu Kota Negara Nusantara
loading...
A
A
A
Adam Setiawan
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda,
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
AKHIRNYA Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) resmi menjadi undang-undang pascapersetujuan mayoritas fraksi di DPR pada rapat pembahasan tingkat kedua. Dengan RUU IKN disetujui menjadi undang-undang, pelaksanaan pemindahan ibu kota negara yang dinamakan Nusantara mempunyai legitimasi hukum yang sah. Adapun tujuan dan urgensi dari pemindahan ibu kota negara adalah sama dengan yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato sidang tahunan yakni untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi. Selama ini dinilai telah terjadi kesenjangan ekonomi antara Jakarta, Jawa, dan di luar Jawa. Selain itu, pemindahan ibu kota negara dilatarbelakangi oleh peningkatan jumlah penduduk, kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun.
Banyak kalangan yang menilai bahwa pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan proyek ambisius Presiden Jokowi agar meninggalkan legacy dari pemerintahan yang dipimpinnya.
Secara historis, pemindahan ibu kota negara pernah dilakukan pada 1946 akibat terjadi ketegangan antara pemerintahan Indonesia dan Belanda berkaitan dengan kedaulatan. Ibu kota negara Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Kemudian, pasca-Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1948, pemindahan ibu kota negara terjadi lagi tatkala Presiden Soekarno menyerahkan pemerintahan ke Sjafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera, berkedudukan di Bukittinggi. Adapun pemindahan ibu kota negara di zaman pemerintahan Presiden Soekarno dilakukan saat negara dalam keadaan darurat (staatnood).
Kembali ke masalah pengesahan RUU IKN menjadi undang-undang. Ada beberapa catatan evaluasi yang perlu diperhatikan. Pertama, ada problematika formil dalam pembentukan UU IKN. Kedua, masalah format hierarki peraturan perundang-undangan. Ketiga, persoalan eksistensi Otorita Ibu Kota Negara (Otorita IKN).
Formil
Jika diamati, proses legislasi UU IKN relatif cepat: hanya dalam waktu 43 hari. Secara logika rasanya mustahil untuk menyelesaikan RUU IKN dalam waktu sesingkat itu mengingat ada beberapa hal fundamental yang perlu dikaji secara komprehensif. Karena itu, tidak heran banyak kalangan yang menilai UU IKN dibuat secara tergesa-gesa, bahkan terkesan untuk memenuhi ambisi pemerintah saja.
Secara yuridis, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan. Masukan secara lisan dapat dilakukan melalui: a) rapat dengar pendapat umum; b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan d) seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Namun, dalam praktiknya proses legislasi UU IKN tidak memberikan ruang yang terbuka bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kaltim, untuk menyampaikan aspirasinya atas pemindahan ibu kota negara.
Hal demikian dapat dilihat dari tidak adanya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Kendati ada pelaksanaan konsultasi publik yang digelar di Universitas Mulawarman, tetapi pelaksanaannya dilakukan secara tertutup, bahkan sampai detik ini masyarakat tidak bisa mengakses draf final UU IKN, baik secara offline maupun online (website DPR). Tentunya hal tersebut melanggar asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pentingnya mengimplementasikan secara penuh asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Sebab itu, sudah seyogianya pemerintah bersama DPR belajar dan introspeksi agar memperbaiki kualitas legislasinya dengan mengedepankan asas keterbukaan.
Hierarki
Lagi-lagi, para pembentuk undang-undang ceroboh lantaran ada kesalahan yang cukup mendasar dalam merumuskan ketentuan penutup. Terdapat kekeliruan tata urutan peraturan perundang-undang sehingga memunculkan ambiguitas norma sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30. Di pasal itu yang disebutkan bahwa pada saat Peraturan Presiden mengenai pemindahan status ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta ke IKN (...) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diundangkan, ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidak sesuai dengan bangunan asas preferensi hukum, asas lex superior derograt legi inferior yang bermakna aturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan keberlakuan aturan hukum yang lebih rendah. Ketentuan dalam Pasal 30 bertentangan dengan asas kesesuaian antarjenis, hierarki, dan materi muatan. Karena itu, konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidaklah tepat karena secara teoritis pencabutan peraturan harus dengan peraturan di atas atau setingkatnya. Dengan demikian, pencabutan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus dengan undang-undang, bukan peraturan presiden.
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda,
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
AKHIRNYA Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) resmi menjadi undang-undang pascapersetujuan mayoritas fraksi di DPR pada rapat pembahasan tingkat kedua. Dengan RUU IKN disetujui menjadi undang-undang, pelaksanaan pemindahan ibu kota negara yang dinamakan Nusantara mempunyai legitimasi hukum yang sah. Adapun tujuan dan urgensi dari pemindahan ibu kota negara adalah sama dengan yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato sidang tahunan yakni untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi. Selama ini dinilai telah terjadi kesenjangan ekonomi antara Jakarta, Jawa, dan di luar Jawa. Selain itu, pemindahan ibu kota negara dilatarbelakangi oleh peningkatan jumlah penduduk, kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun.
Banyak kalangan yang menilai bahwa pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan proyek ambisius Presiden Jokowi agar meninggalkan legacy dari pemerintahan yang dipimpinnya.
Secara historis, pemindahan ibu kota negara pernah dilakukan pada 1946 akibat terjadi ketegangan antara pemerintahan Indonesia dan Belanda berkaitan dengan kedaulatan. Ibu kota negara Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Kemudian, pasca-Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1948, pemindahan ibu kota negara terjadi lagi tatkala Presiden Soekarno menyerahkan pemerintahan ke Sjafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera, berkedudukan di Bukittinggi. Adapun pemindahan ibu kota negara di zaman pemerintahan Presiden Soekarno dilakukan saat negara dalam keadaan darurat (staatnood).
Kembali ke masalah pengesahan RUU IKN menjadi undang-undang. Ada beberapa catatan evaluasi yang perlu diperhatikan. Pertama, ada problematika formil dalam pembentukan UU IKN. Kedua, masalah format hierarki peraturan perundang-undangan. Ketiga, persoalan eksistensi Otorita Ibu Kota Negara (Otorita IKN).
Formil
Jika diamati, proses legislasi UU IKN relatif cepat: hanya dalam waktu 43 hari. Secara logika rasanya mustahil untuk menyelesaikan RUU IKN dalam waktu sesingkat itu mengingat ada beberapa hal fundamental yang perlu dikaji secara komprehensif. Karena itu, tidak heran banyak kalangan yang menilai UU IKN dibuat secara tergesa-gesa, bahkan terkesan untuk memenuhi ambisi pemerintah saja.
Secara yuridis, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan. Masukan secara lisan dapat dilakukan melalui: a) rapat dengar pendapat umum; b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan d) seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Namun, dalam praktiknya proses legislasi UU IKN tidak memberikan ruang yang terbuka bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kaltim, untuk menyampaikan aspirasinya atas pemindahan ibu kota negara.
Hal demikian dapat dilihat dari tidak adanya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Kendati ada pelaksanaan konsultasi publik yang digelar di Universitas Mulawarman, tetapi pelaksanaannya dilakukan secara tertutup, bahkan sampai detik ini masyarakat tidak bisa mengakses draf final UU IKN, baik secara offline maupun online (website DPR). Tentunya hal tersebut melanggar asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pentingnya mengimplementasikan secara penuh asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Sebab itu, sudah seyogianya pemerintah bersama DPR belajar dan introspeksi agar memperbaiki kualitas legislasinya dengan mengedepankan asas keterbukaan.
Hierarki
Lagi-lagi, para pembentuk undang-undang ceroboh lantaran ada kesalahan yang cukup mendasar dalam merumuskan ketentuan penutup. Terdapat kekeliruan tata urutan peraturan perundang-undang sehingga memunculkan ambiguitas norma sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30. Di pasal itu yang disebutkan bahwa pada saat Peraturan Presiden mengenai pemindahan status ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta ke IKN (...) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diundangkan, ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidak sesuai dengan bangunan asas preferensi hukum, asas lex superior derograt legi inferior yang bermakna aturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan keberlakuan aturan hukum yang lebih rendah. Ketentuan dalam Pasal 30 bertentangan dengan asas kesesuaian antarjenis, hierarki, dan materi muatan. Karena itu, konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidaklah tepat karena secara teoritis pencabutan peraturan harus dengan peraturan di atas atau setingkatnya. Dengan demikian, pencabutan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus dengan undang-undang, bukan peraturan presiden.