Pentingnya Menyamakan Persepsi Toleransi untuk Menghindari Ujaran Kebencian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bangsa Indonesia harus terus memahami dan menyamakan persepsi tentang toleransi untuk menghindari berbagai hal mengancam persatuan dan kesatuan, terutama intoleransi yang bisa berujung radikalisme.
"Kita ini masyarakat plural dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita ini bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, golongan, ras, dan daerah yang tersebar sangat luas. Di antaranya golongan itu bisa bersatu kalau masing-masing itu saling memahami, toleransi, dan saling bisa menghormati," ujar dosen magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Sri Yunanto di Bogor, Jumat (14/1/2022).
Melihat fenomena riuhnya media sosial (medsos) terkait ujaran kebencian, Sri Yunanto menilai masalah ini timbul karena konsep tentang toleransi, ujaran kebencian, dan lain sebagainya di Indonesia masih belum mempunyai persepsi yang sama.
Misalnya soal ujaran kebencian, di mana kelompok tertentu menganggap itu adalah bagian dari kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi. Kelompok lainnya ketika sudah menyinggung agama dimana pun mempunyai kebebasan yang terbatas. Apalagi kalau sudah namanya dogma, keyakinan di mana hal itu sudah tidak bisa diperdebatkan.
"Ini rawan terhadap konflik, sementara kadang-kadang yang mengatakan kebebasan berpendapat, di sebelah lainnya mengatakan ini sudah menyentuh ranah agama yang tidak bisa diperdebatkan dan ini sesuatu yang sensitif," jelasnya.
Ia menegaskan bila itu yang terjadi, maka akhirnya yang menjadi wasit adalah hukum untuk menentukan apakah ini bagian kebebasan berpendapat atau bagian dari ujaran kebencian terhadap suatu agama dan keyakinan.
Mantan staf ahli Menkopolhukam ini melihat, dari sisi historis persoalan seperti ini sudah ada sejak dulu. Seperti dulu kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Baca juga: Kasus Dugaan Ujaran Kebencian Denny Siregar Dilimpahkan ke Polda Metro Jaya
"Saya tidak anti kebebasan dalam berpikir dan berpendapat. Tetapi saya ingatkan teman-teman dengan semangat kebebasan berpendapat dan eforia media sosial harus berhati-hati. Bahwa masalah itu tidak bisa dilihat secara sepihak dari perspektif HAM dan kebebasan berpendapat, tapi orang harus memahami, terutama menyangkut agama," jelasnya.
Dalam konteks ujaran kebencian yang menyangkut agama, lanjut Yunanto, setiap orang akan membaca berbeda dan bereaksi secara berbeda. Karena itu ia mengingatkan hati-hati jangan menafikan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sehingga memiliki pemahaman sesuai agamanya masing-masing.
"Kita ini masyarakat plural dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita ini bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, golongan, ras, dan daerah yang tersebar sangat luas. Di antaranya golongan itu bisa bersatu kalau masing-masing itu saling memahami, toleransi, dan saling bisa menghormati," ujar dosen magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Sri Yunanto di Bogor, Jumat (14/1/2022).
Melihat fenomena riuhnya media sosial (medsos) terkait ujaran kebencian, Sri Yunanto menilai masalah ini timbul karena konsep tentang toleransi, ujaran kebencian, dan lain sebagainya di Indonesia masih belum mempunyai persepsi yang sama.
Misalnya soal ujaran kebencian, di mana kelompok tertentu menganggap itu adalah bagian dari kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi. Kelompok lainnya ketika sudah menyinggung agama dimana pun mempunyai kebebasan yang terbatas. Apalagi kalau sudah namanya dogma, keyakinan di mana hal itu sudah tidak bisa diperdebatkan.
"Ini rawan terhadap konflik, sementara kadang-kadang yang mengatakan kebebasan berpendapat, di sebelah lainnya mengatakan ini sudah menyentuh ranah agama yang tidak bisa diperdebatkan dan ini sesuatu yang sensitif," jelasnya.
Ia menegaskan bila itu yang terjadi, maka akhirnya yang menjadi wasit adalah hukum untuk menentukan apakah ini bagian kebebasan berpendapat atau bagian dari ujaran kebencian terhadap suatu agama dan keyakinan.
Mantan staf ahli Menkopolhukam ini melihat, dari sisi historis persoalan seperti ini sudah ada sejak dulu. Seperti dulu kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Baca juga: Kasus Dugaan Ujaran Kebencian Denny Siregar Dilimpahkan ke Polda Metro Jaya
"Saya tidak anti kebebasan dalam berpikir dan berpendapat. Tetapi saya ingatkan teman-teman dengan semangat kebebasan berpendapat dan eforia media sosial harus berhati-hati. Bahwa masalah itu tidak bisa dilihat secara sepihak dari perspektif HAM dan kebebasan berpendapat, tapi orang harus memahami, terutama menyangkut agama," jelasnya.
Dalam konteks ujaran kebencian yang menyangkut agama, lanjut Yunanto, setiap orang akan membaca berbeda dan bereaksi secara berbeda. Karena itu ia mengingatkan hati-hati jangan menafikan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sehingga memiliki pemahaman sesuai agamanya masing-masing.