Hari Ibu, Momentum Tingkatkan Perjuangan Hak-hak Perempuan

Rabu, 22 Desember 2021 - 21:09 WIB
loading...
Hari Ibu, Momentum Tingkatkan Perjuangan Hak-hak Perempuan
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat memaknai Hari Ibu sebagai hari kebangkitan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. FOTO/TANGKAPAN LAYAR
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat memaknai Hari Ibu sebagai hari kebangkitan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Menurutnya, setiap perempuan memiliki hak yang sama.

"Setiap perempuan memiliki hak yang sama sebagai manusia. Bahkan, gerakan perempuan Indonesia merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan Kemerdekaan Indonesia," kata Lestari Moerdijat dalam diskusi virtual bertema Perempuan Indonesia: Kepemimpinan, Kesetaraan dan Kiprah Membangun Bangsa yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Sukma dan Universitas Syiah Kuala Aceh, Rabu (22/12/2021). Diskusi ini merupakan bagian dari acara peluncuran buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh.

Menurutnya, peringatan Hari Ibu Nasional setiap 22 Desember 2021 berbeda dengan Mothers Day yang dirayakan di dunia barat. Peringatan Hari Ibu di Indonesia, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, lahir dari digelarnya Kongres Perempuan Indonesia II pada 1930 yang di dalam kongres tersebut membahas hak-hak perempuan di berbagai bidang.

Baca juga: Hari Ibu, Iriana Jokowi Ajak Kaum Perempuan Terus Berjuang

Sejak zaman kerajaan di Nusantara, sudah banyak perempuan mengambil peran sebagai garda terdepan dalam perjuangan. Tokoh-tokoh perempuan di masa itu, juga terlibat dalam pengelolaan negara, pertahanan, perdagangan dan sejumlah bidang sosial kemasyarakatan.

Diakui Rerie, masa reformasi merupakan masa yang kondusif bagi gerakan perempuan Indonesia. Cukup banyak ruang yang dibuka untuk mengangkat berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan saat ini. Meski begitu, Rerie menilai, masih banyak pekerjaan rumah terkait perempuan yang harus segera dituntaskan agar hak-hak perempuan bisa terpenuhi.

Pekerjaan rumah itu, antara lain pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) yang hingga kini masih menghadapi banyak tantangan. "Padahal RUU-TPKS sangat diharapkan untuk segera menjadi undang-undang agar perlindungan dan pencegahan dari tindak kekerasan seksual yang kerap mengancam perempuan, bisa segera direalisasikan," katanya.

Baca juga: Peringati Hari Ibu, Partai Perindo: Solusi Perlindungan Perempuan, Sahkan RUU TPKS Segera!

Pengamat Bidang Militer dan Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie berpendapat, di masa lalu sudah terbukti banyak perempuan berperan aktif dalam skala yang lebih luas di berbagai bidang. Menurut Connie, sejak abad ke-7 perempuan Aceh sudah sangat menonjol perannya di Nusantara, karena menganut budaya matriarki. Sejarah Aceh juga melahirkan sejumlah negarawan perempuan. "Sikap digdayanya perempuan Aceh itu juga karena ajaran Islam yang kuat," ujar Connie.

Mulai terpinggirkannya peran perempuan di Aceh, menurut Connie, terjadi setelah perang kemerdekaan Indonesia karena pengaruh budaya Arab yang cenderung mengenyampingkan peran perempuan dalam keseharian.

Penulis Buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh, Qismullah Yusuf mengungkapkan, perempuan Aceh berperan di sejumlah bidang antara lain di bidang diplomasi, perdagangan, pendidikan, dan membangun jaringan di Nusantara. Langkah membangun jaringan itu, ujar Qismullah, dibuktikan dengan adanya sembilan sultan di Aceh yang bukan orang asli Aceh, tetapi orang Bugis.

Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti berpendapat, di Nusantara pada masa lalu bukan hanya perempuan Aceh yang banyak berkiprah, tapi juga perempuan di sejumlah daerah lainnya. Sangat disayangkan, ujar Titi, di masa kini masih banyak pihak yang mensubordinasikan perempuan terhadap laki-laki.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1161 seconds (0.1#10.140)