Mahfud MD Sebut Pemerintah Ajukan RUU Perampasan Aset tapi DPR Tidak Setuju

Selasa, 14 Desember 2021 - 09:59 WIB
loading...
Mahfud MD Sebut Pemerintah Ajukan RUU Perampasan Aset tapi DPR Tidak Setuju
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan tahun ini pemerintah mengajukan dua RUU, salah satunya perampasan aset tindak pidana tetapi tidak masuk priorotas pembahasan DPR. Foto/ist
A A A
JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah pernah mengajukan RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal atau Uang Tunai kepada DPR pada 2021.

"Nah sebenarnya pada tahun 2021 ini pemerintah sudah mengajukan dua RUU terkait pemberantasan korupsi, tentang perampasan aset dalam tindak pidana dan pembatasan transaksi uang kartal atau uang tunai. Itu yang diajukan ke DPR agar bisa dijadikan undang-undang," kata Mahfud dalam siaran virtual di YouTube Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (14/12/2021).

Namun, kata Mahfud, ketika itu, DPR memutuskan bahwa tidak menjadikan kedua RUU yang diajukan pemerintah itu menjadi suatu yang harus diprioritaskan. "Nah tetapi kedua RUU tersebut di DPR pada tahun 2021 tidak menjadi prioritas. Artinya DPR tidak setuju lah," ujar Mahfud.



Meski begitu, Mahfud mengungkapkan, ada semacam percintaan dari Pemerintah kepada DPR bisa dipertimbangkan untuk diutamakan di tahun 2022 mendatang.

"Namun ketika itu ada kesepakatan ya kalau tidak bisa dua-duanya, pemerintah usul salah satunya maka pada waktu itu ada semacam pengertian secara lisan saja begitu bahwa oke yang UU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana itu bisa dipertimbangkan untuk masuk di tahun 2022," ucap Mahfud.

Mahfud mengatakan, RUU yang diajukan pemerintah itu dalam rangka semangat antikorupsi. Sehingga, setiap tindakan yang bersifat koruptif dalam segera dicegah atau diberangus.



"Maksudnya aset tindak pidana itu bisa segera dirampas kemudian orang berbelanja dalam di luar tertentu harus lewat bank, agar apa, agar diketahui sumbernya dari mana dan dikirim ke mana. Tidak boleh langsung dari tangan ke tangan kalau misalnya sampai Rp100 juta misalnya," papar Mahfud.

"Ini lebih mudah karena tindak pidananya sudah jelas tinggal bagaimana perampasan asetnya ketika seorang terdakwa atau tersangka misalnya hilang, tidak muncul dan sebagainya. Itu akan lebih mudah daripada undang-undang tentang pembatasan belanja uang tunai itu," tambah Mahfud.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1072 seconds (0.1#10.140)