P2G Desak Kemenag Buat Aturan Cegah Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Pendidikan dan Guru ( P2G ) sangat prihatin dan mengecam kekerasan seksual oknum guru sebuah pesantren di Kota Bandung terhadap 12 santriwati. Akibat perbuatan tersebut, 8 santriwati yang rata-rata masih berusia 16-17 tahun itu telah melahirkan, dua lainnya sedang hamil.
Atas kejadian tersebut, P2G memberikan catatan kritis sebagai bahan evaluasi sekaligus rekomendasi agar kekerasan apa pun di satuan pendidikan tidak terulang lagi. Pertama, P2G meminta aparat kejaksaan menuntut maksimal dan hakim di pengadilan memutuskan vonis setinggi-tingginya terhadap pelaku kekerasan seksual di pesantren Kota Bandung.
"Hukuman maksimal penjara seumur hidup dan kebiri kimia bagi oknum guru, agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat, jangan sekali-sekali meniru perbuatan hina itu," ungkap Iman Zanatul Haeri, kepala Bidang Advokasi Guru P2G dalam pers rilis P2G yang diterima, Sabtu (11/12/2021).
Iman melanjutkan, apalagi yang bersangkutan merupakan guru yang semestinya menjadi teladan, digugu dan ditiru, membangun karakter bagi muridnya. Pesantren atau lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman, nyaman, dan sehat untuk proses mendukung tumbuh kembang anak secara individual, intelektual, spiritual, dan sosial, bukan sebaliknya. Faktor inilah yang dapat menjadi pemberatan hukuman kepada oknum guru.
Kedua, karakteristik kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama umumnya dilakukan oleh guru atau pengasuh. Mereka orang dewasa dan berkedudukan sebagai pengajar resmi. Ada pemilik lembaga pendidikan dan juga tenaga pendidik yang direkrut yayasan.
Anggota Dewan Pakar P2G Rakhmat Hidayat mendesak agar rekrutmen pengasuh atau guru oleh yayasan harus mempertimbangkan aspek asesmen psikologi, kepribadian, dan sosial. Tidak hanya aspek pedagogi dan profesional.
"Guru seharusnya memiliki kompetensi spiritual, sosial, emosional, dan kepribadian yang baik. Termasuk asesmen potensi perilaku seks menyimpang guru seperti pedofilia," kata dosen sosiologi pendidikan ini.
Menurutnya Kementerian Agama (Kemenag) hendaknya membuat aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaan yang dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru. Berdasarkan fakta di atas, kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama tidak hanya di lembaga formal yang sudah terdaftar, tetapi juga lembaga pendidikan yang belum terdaftar di Kemenag.
Rakhmat memaparkan, satuan pendidikan pesantren di Indonesia mencapai 33.980 pesantren. Satuan pendidikan madrasah sebanyak 83.468. Dan hanya 5 persen madrasah milik pemerintah, statusnya negeri, sementara 95 persen swasta. Data ini belum termasuk pesantren atau madrasah yang belum terdaftar di Kemenag. "Tingginya kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama karena rendahnya pengawasan dari jajaran Kemenag," lanjut Rakhmat.
Ketiga, P2G mendesak Kemenag membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Berbasis Agama, sebagaimana Kemdikbudristek sudah melahirkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. PMA mengatur madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasekha, serta lembaga pendidikan berbasis agama lainnya.
"Regulasi PMA sangat urgen dibuat, mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi, P2G menilai Gus Menteri akan cepat tanggap dengan aspirasi ini," ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Menurut Satriwan, melalui PMA negara bertanggung jawab mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di satuan pendidikan agama. Madrasah, pesantren, seminari dan guru pengasuh dibekali pemahaman serta keterampilan bagaimana cara mencegah dan menanggulangi jika kekerasan terjadi. Apalagi ada kepercayaan keagamaan tertentu di satuan pendidikan berbasis agama, yang dapat disalahgunakan oleh oknum guru menjadi pintu masuk tindakan kekerasan seksual yang korbannya peserta didik.
"Kita tengah mengalami darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan, lahirnya PMA menjadi bukti negara tidak melakukan pembiaran," cetus pengajar Pendidikan Kewarganegaraan ini.
Atas kejadian tersebut, P2G memberikan catatan kritis sebagai bahan evaluasi sekaligus rekomendasi agar kekerasan apa pun di satuan pendidikan tidak terulang lagi. Pertama, P2G meminta aparat kejaksaan menuntut maksimal dan hakim di pengadilan memutuskan vonis setinggi-tingginya terhadap pelaku kekerasan seksual di pesantren Kota Bandung.
"Hukuman maksimal penjara seumur hidup dan kebiri kimia bagi oknum guru, agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat, jangan sekali-sekali meniru perbuatan hina itu," ungkap Iman Zanatul Haeri, kepala Bidang Advokasi Guru P2G dalam pers rilis P2G yang diterima, Sabtu (11/12/2021).
Iman melanjutkan, apalagi yang bersangkutan merupakan guru yang semestinya menjadi teladan, digugu dan ditiru, membangun karakter bagi muridnya. Pesantren atau lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman, nyaman, dan sehat untuk proses mendukung tumbuh kembang anak secara individual, intelektual, spiritual, dan sosial, bukan sebaliknya. Faktor inilah yang dapat menjadi pemberatan hukuman kepada oknum guru.
Kedua, karakteristik kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama umumnya dilakukan oleh guru atau pengasuh. Mereka orang dewasa dan berkedudukan sebagai pengajar resmi. Ada pemilik lembaga pendidikan dan juga tenaga pendidik yang direkrut yayasan.
Anggota Dewan Pakar P2G Rakhmat Hidayat mendesak agar rekrutmen pengasuh atau guru oleh yayasan harus mempertimbangkan aspek asesmen psikologi, kepribadian, dan sosial. Tidak hanya aspek pedagogi dan profesional.
"Guru seharusnya memiliki kompetensi spiritual, sosial, emosional, dan kepribadian yang baik. Termasuk asesmen potensi perilaku seks menyimpang guru seperti pedofilia," kata dosen sosiologi pendidikan ini.
Menurutnya Kementerian Agama (Kemenag) hendaknya membuat aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaan yang dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru. Berdasarkan fakta di atas, kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama tidak hanya di lembaga formal yang sudah terdaftar, tetapi juga lembaga pendidikan yang belum terdaftar di Kemenag.
Rakhmat memaparkan, satuan pendidikan pesantren di Indonesia mencapai 33.980 pesantren. Satuan pendidikan madrasah sebanyak 83.468. Dan hanya 5 persen madrasah milik pemerintah, statusnya negeri, sementara 95 persen swasta. Data ini belum termasuk pesantren atau madrasah yang belum terdaftar di Kemenag. "Tingginya kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama karena rendahnya pengawasan dari jajaran Kemenag," lanjut Rakhmat.
Baca Juga
Ketiga, P2G mendesak Kemenag membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Berbasis Agama, sebagaimana Kemdikbudristek sudah melahirkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. PMA mengatur madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasekha, serta lembaga pendidikan berbasis agama lainnya.
"Regulasi PMA sangat urgen dibuat, mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi, P2G menilai Gus Menteri akan cepat tanggap dengan aspirasi ini," ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Menurut Satriwan, melalui PMA negara bertanggung jawab mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di satuan pendidikan agama. Madrasah, pesantren, seminari dan guru pengasuh dibekali pemahaman serta keterampilan bagaimana cara mencegah dan menanggulangi jika kekerasan terjadi. Apalagi ada kepercayaan keagamaan tertentu di satuan pendidikan berbasis agama, yang dapat disalahgunakan oleh oknum guru menjadi pintu masuk tindakan kekerasan seksual yang korbannya peserta didik.
"Kita tengah mengalami darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan, lahirnya PMA menjadi bukti negara tidak melakukan pembiaran," cetus pengajar Pendidikan Kewarganegaraan ini.
(muh)