KAGAMA Menulis V Jadi Ajang Peluncuran Buku The Story of Gondes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Pusat KAGAMA menggelar acara KAGAMA Menulis V yang menghadirkan pembicara penulis Nursodik Gunarjo, Sabtu (6/6/2020). Acara ini disambut antusias dengan diikuti 400 peserta secara daring.
Selain Nursodik, hadir dalam acara tersebut Ketua II PP KAGAMA Bambang E Marsono; Ketua VII Sandya Yudda; Wakil Sekjen Hasannudin M. Kholil, dan Kordep Peningkatan Kompetensi Alumni, Aji Erlangga. Selain itu hadir para narasumber Andreas Maryoto, wartawan Kompas, dan Budi Setyarso, Pemred Koran Tempo. Bertindak sebagai moderator Hery Prast dan Rokhmadi Antok, keduanya Anggota Pengurus Bidang Fasilitasi Alumni, PP KAGAMA.
Dalam acara bertajuk The Power of Storytelling tersebut, juga diluncurkan buku The Story of Gondes. Buku ini karya Nursodik Gunarjo yang secara berkala ditayangkan di grup FB KAGAMA.
Saat ini secara terbatas dijual di kalangan sendiri. Setelah acara launching ini buku akan dijual untuk umum. Dari hasil penjualan buku (setelah dipotong biaya produksi) dikumpulkan untuk donasi sosial, beasiswa, dan support alumni UGM.
Gun, panggilan akrab Nursodik Gunarjo, mengawali pembicaraannya dengan pertanyaan mengapa seseorang memilih menulis. Jawaban versinya adalah menulis itu murah dan mudah.
Namun, hal yang dia tekankan adalah semua orang bisa menulis. Satu bukti ditunjukkan oleh alumnus S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM ini.
Bukti itu adalah skripsi, tesis, dan berbagai karya tulis yang bisa dihasilkan oleh para audiens. “Saya yakin bapak ibu bisa. Menulis skripsi yang panjang saja bisa, masa storytelling yang pendek tidak,” kata Gunarso.
“Yakinlah bahwa penulis itu tidak dilahirkan, tetapi diciptakan. Tidak ada satu orang bayi pun lahir dengan membawa bolpen,” jelas priayang punya nama panggilan lain, Pakde Gondes ini.
Gun kemudian kembali bertanya kepada audiens ketika dia memberikan gambar sebuah gelas. Ternyata, tak ada satu pun audiens yang memberikan deskripsi sama atas gelas yang ditampilkan.
Hal itu menjadi bukti bahwa setiap orang punya sudut pandang masing-masing dalam memandang sesuatu. “Bahan yang sama dan sederhana itu bisa ditulis sebagai bahan tulisan Anda. Jangan khawatir, storytelling yang penting adalah authencity, keaslian," katanya.
“Selama Anda bisa mendefinisikannya dengan baik, itu akan menjadi hal yang menarik,” terangnya.
Oleh karena itu, pria yang juga bekerja di Kementerian Kominfo tersebut menekankan, dalam membuat sebuah tulisan, penulis tidak sekadar menyampaikan sesuatu.
Namun, lanjut Gun, seperti apa cara penyampaian yang dipilih dalam sebuah tulisan. Hal ini ada kaitannya dengan siapa audiens yang disasar.
Bagi Gun, seorang penulis bak seorang juru masak. Kata dia bahan bisa apa saja, tetapi bila ditangani juru tangan yang berbeda, maka hasilnya juga berbeda.
Pria kelahiran Wonosobo ini kemudian mengibaratkan dengan warung sate di satu kota yang jumlahnya banyak. Namun, setiap orang pasti akan memiliki kecenderungan untuk mengunjungi warung tertentu karena kecocokan rasanya.
Hal itu jika dikembalikan pada konteks semula, maka berarti tulisan juga tentang sebuah rasa. Oleh sebab itu, Gun berpesan, untuk tidak meniru tulisan dari penulis manapun.
“Bikinlah tulisan Anda sendiri karena itu memiliki rasa tersendiri,” ucap Gun. “Storytelling yang bagus bukanlah berbicara tentang hal-hal hebat. Tetapi membicarakan sesuatu secara hebat,” sambung pria kelahiran 1968 ini.
Lebih lanjut, bahan yang sifatnya remeh-temeh, kata Gun, bisa diolah dan disajikan dengan tidak biasa dan unik. Hanya dengan berlatih seseorang bisa melakukannya. Kata Gun, jika seseorang sudah biasa menulis, itu tandanya dia bisa.
“Setiap orang memiliki ciri tersendiri, memiliki gaya sendiri, dan memiliki cara menceritakan sesuatu sendiri. Jagalah itu sebagai modal untuk menulis,” tutur Gun.
“Setiap orang itu genuine, tidak sama, dan ciri-cirinya akan kelihatan. Itu DNA Anda, yakinlah Anda unik. Itu harus dijaga!” tambahnya.
Kemudian, Gun menyarankan, untuk menulis layaknya seorang yang sedang dimabuk cinta. Sebab, orang-orang yang sedang dimabuk cinta tiba-tiba saja menjadi pujangga.
Kata-kata yang keluar akan cenderung lebih puitis. Gun menyarankan, awali menulis dengan cinta, baru passion. Jika hanya sekadar menulis, tanpa cinta, hasilnya bakal tidak keruan. “Mulailah menulis sekarang juga, tentang apa? Semua, baik sesuatu yang hebat atau tidak. Namun, tulislah dengan cara yang tidak biasa,” ujar Gun.
“Jangan pernah berpikir bahwa Anda tidak bisa. Saya dulu bukan penulis, tapi sering. Jadi, yakinlah bahwa Anda bisa,” pungkas pria yang berulang tahun tiap 12 April tersebut.
Selain Nursodik, hadir dalam acara tersebut Ketua II PP KAGAMA Bambang E Marsono; Ketua VII Sandya Yudda; Wakil Sekjen Hasannudin M. Kholil, dan Kordep Peningkatan Kompetensi Alumni, Aji Erlangga. Selain itu hadir para narasumber Andreas Maryoto, wartawan Kompas, dan Budi Setyarso, Pemred Koran Tempo. Bertindak sebagai moderator Hery Prast dan Rokhmadi Antok, keduanya Anggota Pengurus Bidang Fasilitasi Alumni, PP KAGAMA.
Dalam acara bertajuk The Power of Storytelling tersebut, juga diluncurkan buku The Story of Gondes. Buku ini karya Nursodik Gunarjo yang secara berkala ditayangkan di grup FB KAGAMA.
Saat ini secara terbatas dijual di kalangan sendiri. Setelah acara launching ini buku akan dijual untuk umum. Dari hasil penjualan buku (setelah dipotong biaya produksi) dikumpulkan untuk donasi sosial, beasiswa, dan support alumni UGM.
Gun, panggilan akrab Nursodik Gunarjo, mengawali pembicaraannya dengan pertanyaan mengapa seseorang memilih menulis. Jawaban versinya adalah menulis itu murah dan mudah.
Namun, hal yang dia tekankan adalah semua orang bisa menulis. Satu bukti ditunjukkan oleh alumnus S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM ini.
Bukti itu adalah skripsi, tesis, dan berbagai karya tulis yang bisa dihasilkan oleh para audiens. “Saya yakin bapak ibu bisa. Menulis skripsi yang panjang saja bisa, masa storytelling yang pendek tidak,” kata Gunarso.
“Yakinlah bahwa penulis itu tidak dilahirkan, tetapi diciptakan. Tidak ada satu orang bayi pun lahir dengan membawa bolpen,” jelas priayang punya nama panggilan lain, Pakde Gondes ini.
Gun kemudian kembali bertanya kepada audiens ketika dia memberikan gambar sebuah gelas. Ternyata, tak ada satu pun audiens yang memberikan deskripsi sama atas gelas yang ditampilkan.
Hal itu menjadi bukti bahwa setiap orang punya sudut pandang masing-masing dalam memandang sesuatu. “Bahan yang sama dan sederhana itu bisa ditulis sebagai bahan tulisan Anda. Jangan khawatir, storytelling yang penting adalah authencity, keaslian," katanya.
“Selama Anda bisa mendefinisikannya dengan baik, itu akan menjadi hal yang menarik,” terangnya.
Oleh karena itu, pria yang juga bekerja di Kementerian Kominfo tersebut menekankan, dalam membuat sebuah tulisan, penulis tidak sekadar menyampaikan sesuatu.
Namun, lanjut Gun, seperti apa cara penyampaian yang dipilih dalam sebuah tulisan. Hal ini ada kaitannya dengan siapa audiens yang disasar.
Bagi Gun, seorang penulis bak seorang juru masak. Kata dia bahan bisa apa saja, tetapi bila ditangani juru tangan yang berbeda, maka hasilnya juga berbeda.
Pria kelahiran Wonosobo ini kemudian mengibaratkan dengan warung sate di satu kota yang jumlahnya banyak. Namun, setiap orang pasti akan memiliki kecenderungan untuk mengunjungi warung tertentu karena kecocokan rasanya.
Hal itu jika dikembalikan pada konteks semula, maka berarti tulisan juga tentang sebuah rasa. Oleh sebab itu, Gun berpesan, untuk tidak meniru tulisan dari penulis manapun.
“Bikinlah tulisan Anda sendiri karena itu memiliki rasa tersendiri,” ucap Gun. “Storytelling yang bagus bukanlah berbicara tentang hal-hal hebat. Tetapi membicarakan sesuatu secara hebat,” sambung pria kelahiran 1968 ini.
Lebih lanjut, bahan yang sifatnya remeh-temeh, kata Gun, bisa diolah dan disajikan dengan tidak biasa dan unik. Hanya dengan berlatih seseorang bisa melakukannya. Kata Gun, jika seseorang sudah biasa menulis, itu tandanya dia bisa.
“Setiap orang memiliki ciri tersendiri, memiliki gaya sendiri, dan memiliki cara menceritakan sesuatu sendiri. Jagalah itu sebagai modal untuk menulis,” tutur Gun.
“Setiap orang itu genuine, tidak sama, dan ciri-cirinya akan kelihatan. Itu DNA Anda, yakinlah Anda unik. Itu harus dijaga!” tambahnya.
Kemudian, Gun menyarankan, untuk menulis layaknya seorang yang sedang dimabuk cinta. Sebab, orang-orang yang sedang dimabuk cinta tiba-tiba saja menjadi pujangga.
Kata-kata yang keluar akan cenderung lebih puitis. Gun menyarankan, awali menulis dengan cinta, baru passion. Jika hanya sekadar menulis, tanpa cinta, hasilnya bakal tidak keruan. “Mulailah menulis sekarang juga, tentang apa? Semua, baik sesuatu yang hebat atau tidak. Namun, tulislah dengan cara yang tidak biasa,” ujar Gun.
“Jangan pernah berpikir bahwa Anda tidak bisa. Saya dulu bukan penulis, tapi sering. Jadi, yakinlah bahwa Anda bisa,” pungkas pria yang berulang tahun tiap 12 April tersebut.
(zil)