Belajar dari Kasus Nirina Zubir, Perindo Dorong Cap Jempol Jadi Identitas Tunggal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus mafia tanah yang merugikan keluarga artis Nirina Zubir menyedot perhatian banyak pihak. Tak terkecuali Partai Perindo . Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai Perindo Christophorus Taufik menilai kasus yang menimpa keluarga Nirina Zubir itu merupakan bentuk kelemahan sistem administrasi yang ada di Indonesia.
"Jadi mestinya negara itu bisa memastikan untuk meminimalisir itu. Contohnya begini, kalau kita beli tanah kan prosesnya panjang sekali. Kalau tanah girik kita dimulai dari tingkat desa, kemudian ke PPAT dan semua itu disarankan untuk berhati-hati," ujar Taufik ketika ditemui di MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (23/11/2021).
Dia menjelaskan, sistem kependudukan di Indonesia bukanlah identitas tunggal atau single identity. Dengan demikian, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dapat dengan mudah memanfaatkan hal tersebut.
Di kasus tanah yang menimpa keluarga Nirina Zubir, hal itu bermula dari perilaku asisten rumah tangga yang memalsukan, kemudian memprosesnya ke notaris. Selanjutnya, sang notaris pun tanpa pertimbangan panjang bisa langsung memprosesnya.
Saat ke Badan Badan Pertanahan Nasional (BPN) hal yang sama juga dilakukan. Dia menduga ada penyaringan yang tidak berjalan dengan baik di sana.
"Saya pikir benang merahnya adalah negara harus memastikan bahwa dari waktu ke waktu sistem pengamanan bisa semakin ditingkatkan," katanya.
Dia menuturkan, seharusnya saat ini di Indonesia lebih memberdayakan pembubuhan cap jempol pada surat atau dokumen yang dibuat sebagai identitas tunggal. Pasalnya, hal itu dinilai efektif untuk mencegah tindak kriminal.
"Setiap tanda tangan harus ada cap jempol kenapa ini tidak diberdayakan dengan identitas tunggal. Sehingga nanti kalau tanda jempolnya beda itu sudah masalah. Atau single identity, sehingga data begitu diinput ke BPN itu langsung bisa connect ke dukcapil," tuturnya.
Kendati demikian, kalau kurangnya data yang tersimpan seperti sekarang dan negara belum maksimal, maka mau tidak mau beban ada di masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat diimbau untuk berhati-hati dalam hal menjaga tanahnya.
"Mengimbau kepada masyarakat yang memiliki tanah-tanah sejenis ya memang harus ekstra hati-hati menjaga. Karena saya lihat secara sistem masih banyak bolong-bolong yang harus diselesaikan, bukan enggak bisa tapi perlu waktu," paparnya.
Dia menjelaskan, sebenarnya pemilik tanah mempunyai kewajiban untuk menjaga tanahnya. Contoh lain disebutkan, kalau tanah kosong, bisa dilakukan dilakukan dengan penguasaan fisik, seperti menempatkan plang atau diberi pagar.
"Pemilik tanah itu juga punya kewajiban untuk menjaga tanahnya dengan cara, kalau tanah kosong biasanya dilakukan dengan penguasaan fisik, ya dipagar atau dikasih plang," ucapnya.
"Jadi mestinya negara itu bisa memastikan untuk meminimalisir itu. Contohnya begini, kalau kita beli tanah kan prosesnya panjang sekali. Kalau tanah girik kita dimulai dari tingkat desa, kemudian ke PPAT dan semua itu disarankan untuk berhati-hati," ujar Taufik ketika ditemui di MNC Tower, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (23/11/2021).
Dia menjelaskan, sistem kependudukan di Indonesia bukanlah identitas tunggal atau single identity. Dengan demikian, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dapat dengan mudah memanfaatkan hal tersebut.
Di kasus tanah yang menimpa keluarga Nirina Zubir, hal itu bermula dari perilaku asisten rumah tangga yang memalsukan, kemudian memprosesnya ke notaris. Selanjutnya, sang notaris pun tanpa pertimbangan panjang bisa langsung memprosesnya.
Saat ke Badan Badan Pertanahan Nasional (BPN) hal yang sama juga dilakukan. Dia menduga ada penyaringan yang tidak berjalan dengan baik di sana.
"Saya pikir benang merahnya adalah negara harus memastikan bahwa dari waktu ke waktu sistem pengamanan bisa semakin ditingkatkan," katanya.
Dia menuturkan, seharusnya saat ini di Indonesia lebih memberdayakan pembubuhan cap jempol pada surat atau dokumen yang dibuat sebagai identitas tunggal. Pasalnya, hal itu dinilai efektif untuk mencegah tindak kriminal.
"Setiap tanda tangan harus ada cap jempol kenapa ini tidak diberdayakan dengan identitas tunggal. Sehingga nanti kalau tanda jempolnya beda itu sudah masalah. Atau single identity, sehingga data begitu diinput ke BPN itu langsung bisa connect ke dukcapil," tuturnya.
Kendati demikian, kalau kurangnya data yang tersimpan seperti sekarang dan negara belum maksimal, maka mau tidak mau beban ada di masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat diimbau untuk berhati-hati dalam hal menjaga tanahnya.
"Mengimbau kepada masyarakat yang memiliki tanah-tanah sejenis ya memang harus ekstra hati-hati menjaga. Karena saya lihat secara sistem masih banyak bolong-bolong yang harus diselesaikan, bukan enggak bisa tapi perlu waktu," paparnya.
Dia menjelaskan, sebenarnya pemilik tanah mempunyai kewajiban untuk menjaga tanahnya. Contoh lain disebutkan, kalau tanah kosong, bisa dilakukan dilakukan dengan penguasaan fisik, seperti menempatkan plang atau diberi pagar.
"Pemilik tanah itu juga punya kewajiban untuk menjaga tanahnya dengan cara, kalau tanah kosong biasanya dilakukan dengan penguasaan fisik, ya dipagar atau dikasih plang," ucapnya.
(rca)