Bunuh Diri Puisi di Tenda Pengungsian
loading...
A
A
A
Adam Sudewo
Pembaca sastra dan membaptis dirinya sebagai the last visceral realist, bergiat di Tjirebon Book Club.
Dua tahun terakhir, Munir, seorang pengungsi dari Rohingya, memutuskan menggantung diri di tempat pengungsian. Gempa psikologis akibat ketidakjelasan pemberangkatan pengungsi Rohingnya ke negara pihak ketiga yang kelak menjadi tempat perlindungan, adalah kemungkinan penyebab Munir bunuh diri.
baca juga: 12 Hari di Tempat Pengungsian, Bayi Korban Banjir Sintang Butuh Bantuan
Malam itu, ia menatap tali gantungan seperti takdir. Seketika ia teringat masa kecilnya; saat langit masih sebiru sabun cuci, rumah-rumah yang tiba-tiba dibakar, desing peluru, mayat-mayat bergelimpang, atau perahu-perahu kecil terbalik di laut lepas yang ditumpaki orang-orang sepertinya. Ingatan itu terasa panas. Membuat Munir ingin segera menangis-menjerit sampai memecah ledakan bom yang tertancap di kepalanya. Tapi ia tak melakukan itu. Yang ia ingingkan saat ini hanyalah mengahkiri hidupnya, mencari tanah tempatnya dilahirkan.
Sementara itu, seorang penulis yang merekam kisahnya diasingkan dari negara asal tanpa alasan yang jelas. Karenanya, ia harus meninggalkan meja kerjanya, tumpukan daftar bacaan yang tak pernah disentuh, bahkan laporan-laporan dari tenda pengungsian yang selama ini ia kumpulkan dengan teliti. Tak seorangpun tahu siapa penulis tersebut. Segala berita tentangnya hanya sampai permukaan. Bahkan, tak seorangpun tahu apakah kini ia hidup atau mati.
Memang, banyak sekali literatur tentang seorang penulis yang dipaksa menghadapi pengasingan, deportasi, dan sebagainya. Atau ketika mereka merekam tenda-tenda pengungsian dan pengasingan dengan meniuapkan sekepul harapan. Dalam hal ini, Utuy Tatang Sontani dan Pramoedya Ananta Toer bisa menjadi contoh yang baik sekaligus membuat kita berpikir bahwa rumah satu-satunya bagi seorang penulis bukan lagi bentangan georgrafis yang luas, melainkan hal yang benar-benar subtil, yakni buku-buku yang ditulisnya dan kepalanya sendiri.
baca juga: Belasan Tahun di Tempat Pengungsian, Ratusan Warga Afghanistan Geruduk Kanwil Kemenkumham Jatim
Suatu ketika, Roberto Bolaño menulis dalam Between Parentheses (2004), “Exile is courage. True exile is the true measure of each writer.” Di sini, Bolaño seperti memetakan sekaligus melilitkan pengungsian dan pengasingan menjadi kata kerja dan kata sifat dalam arti yang sepadan. Membuat kabur juga mempertegas batas kedekatan definisi pengungsian dan pengasingan.
Lebih jauh, Bolaño menganggap kesusastraan dan pengasingan seperti dua mata koin yang sama. Dan nasib penulis sepenuhnya berada di tangan kesempatan. Untuk diam, mengacuhkan, bahkan menggugat kesempatan tersebut.
Mungkin itulah yang ingin disampaikan dan dihadapi Nissa Rengganis dalam buku kumpulan puisi terbarunya Suara dari Pengungsian (2021). Sebelumnya, Nissa menulis dua buku puisi: Manuskrip Sepi (2015), yang berhasil meraih Anugerah Puisi Indonesia 2015, sebagai pemeriksaan terhadap kesunyian dan hal-hal psikis tentang menjadi seorang perempuan, dan Obituari Puisi (2019), tentang lintasan melengkung puisi dan anti-puisi dalam selubung-selebung kesakitan.
Pembaca sastra dan membaptis dirinya sebagai the last visceral realist, bergiat di Tjirebon Book Club.
Dua tahun terakhir, Munir, seorang pengungsi dari Rohingya, memutuskan menggantung diri di tempat pengungsian. Gempa psikologis akibat ketidakjelasan pemberangkatan pengungsi Rohingnya ke negara pihak ketiga yang kelak menjadi tempat perlindungan, adalah kemungkinan penyebab Munir bunuh diri.
baca juga: 12 Hari di Tempat Pengungsian, Bayi Korban Banjir Sintang Butuh Bantuan
Malam itu, ia menatap tali gantungan seperti takdir. Seketika ia teringat masa kecilnya; saat langit masih sebiru sabun cuci, rumah-rumah yang tiba-tiba dibakar, desing peluru, mayat-mayat bergelimpang, atau perahu-perahu kecil terbalik di laut lepas yang ditumpaki orang-orang sepertinya. Ingatan itu terasa panas. Membuat Munir ingin segera menangis-menjerit sampai memecah ledakan bom yang tertancap di kepalanya. Tapi ia tak melakukan itu. Yang ia ingingkan saat ini hanyalah mengahkiri hidupnya, mencari tanah tempatnya dilahirkan.
Sementara itu, seorang penulis yang merekam kisahnya diasingkan dari negara asal tanpa alasan yang jelas. Karenanya, ia harus meninggalkan meja kerjanya, tumpukan daftar bacaan yang tak pernah disentuh, bahkan laporan-laporan dari tenda pengungsian yang selama ini ia kumpulkan dengan teliti. Tak seorangpun tahu siapa penulis tersebut. Segala berita tentangnya hanya sampai permukaan. Bahkan, tak seorangpun tahu apakah kini ia hidup atau mati.
Memang, banyak sekali literatur tentang seorang penulis yang dipaksa menghadapi pengasingan, deportasi, dan sebagainya. Atau ketika mereka merekam tenda-tenda pengungsian dan pengasingan dengan meniuapkan sekepul harapan. Dalam hal ini, Utuy Tatang Sontani dan Pramoedya Ananta Toer bisa menjadi contoh yang baik sekaligus membuat kita berpikir bahwa rumah satu-satunya bagi seorang penulis bukan lagi bentangan georgrafis yang luas, melainkan hal yang benar-benar subtil, yakni buku-buku yang ditulisnya dan kepalanya sendiri.
baca juga: Belasan Tahun di Tempat Pengungsian, Ratusan Warga Afghanistan Geruduk Kanwil Kemenkumham Jatim
Suatu ketika, Roberto Bolaño menulis dalam Between Parentheses (2004), “Exile is courage. True exile is the true measure of each writer.” Di sini, Bolaño seperti memetakan sekaligus melilitkan pengungsian dan pengasingan menjadi kata kerja dan kata sifat dalam arti yang sepadan. Membuat kabur juga mempertegas batas kedekatan definisi pengungsian dan pengasingan.
Lebih jauh, Bolaño menganggap kesusastraan dan pengasingan seperti dua mata koin yang sama. Dan nasib penulis sepenuhnya berada di tangan kesempatan. Untuk diam, mengacuhkan, bahkan menggugat kesempatan tersebut.
Mungkin itulah yang ingin disampaikan dan dihadapi Nissa Rengganis dalam buku kumpulan puisi terbarunya Suara dari Pengungsian (2021). Sebelumnya, Nissa menulis dua buku puisi: Manuskrip Sepi (2015), yang berhasil meraih Anugerah Puisi Indonesia 2015, sebagai pemeriksaan terhadap kesunyian dan hal-hal psikis tentang menjadi seorang perempuan, dan Obituari Puisi (2019), tentang lintasan melengkung puisi dan anti-puisi dalam selubung-selebung kesakitan.