Kepala BKKBN Hasto Wardoyo Tegaskan Stunting Hanya Bisa Diatasi dengan Kolaborasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sepuluh atau 20 tahun mendatang, jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar daripada jumlah penduduk usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Itulah yang disebut bonus demografi. Akan tetapi bonus demografi tidak akan dapat dinikmati apabila penduduk usia produktif yang diharapkan mendongkrak kemakmuran justru dalam kondisi sakit-sakitan, kurang cerdas, sehingga tidak mampu bersaing dengan generasi usia produktif bangsa lainnya.
Maka bila ingin menikmati bonus demografi pada 10 hingga 20 tahun mendatang, bangsa Indonesia harus mencegah lahirnya bayi stunting sekarang. Karena itulah pemerintah berjuang keras menciptakan Indonesia bebas stunting. Penurunan prevalensi stunting pada balita menjadi agenda utama pemerintah. Bahkan Sekretariat Wakil Presiden mengkoordinasikan upaya percepatan pencegahan stunting agar konvergen, baik pada perencanaan, pelaksanaan, termasuk pemantauan dan evaluasinya di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk desa.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memikul tanggung jawab mencegah bayi lahir stunting. Kepala BKKBN Dr. (H.C) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (4/11/2021), menuturkan strategi lembaga yang dipimpinnya dalam mencegah bayi lahir stunting. “Kami menyusun strategi berlapis untuk mencegah bayi lahir stunting. Ada faktor-faktor jauh, dan faktor-faktor dekat yang harus diatasi,” katanya.
Faktor-faktor jauh yang dimaksud Hasto adalah persoalan-persoalan yang bersifat sensitif, seperti ketersediaan air bersih, kekumuhan, rumah tidak layak huni, serta persoalan kemiskinan lainnya. Untuk mengatasi persoalan ini BKKBN berkoordinasi dan konvergen dengan lintas kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Kesehatan.
“Bila air bersih tidak tersedia, keadaan rumah kumuh, maka bayi yang lahir tidak akan sehat, sakit-sakitan. Ini bisa jadi salah satu penyebab bayi stunting,” ujarnya.
Sedangkan faktor dekat adalah masalah spacing, atau jarak kelahiran dan jarak kehamilan. Apabila jarak ini tidak bisa dijaga, maka akan jadi keniscayaan bayi yang lahir stunting. “Soal kehamilan ini kuncinya jangan terlalu muda, jangan terlalu tua, jangan terlalu sering, dan jangan terlalu banyak,” kata mantan Bupati Kulon Progo ini.
Bayi yang terlahir stunting secara fisik akan kalah dengan bayi normal demikian pula secara mental dan intelektual juga rendah dan sakit-sakitan, kardiovaskular, stroke, darah tinggi serangan jantung. “Itu semua jadi langganan akrab orang stunting. Kesimpulannya, kalau kita stunting kita jadi gak produktif, malah jadi beban,” ujarnya.
Untuk mengatasi faktor dekat ini, BKKBN membuat Program Pendamping Keluarga. Tahun depan BKKBN menerjunkan 600 ribu tenaga Pendamping Keluarga yang melekat di seluruh Indonesia. Pendamping Keluarga ini terdiri dari bidan, kader Keluarga Berencana (KB), kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) “Pendamping Keluarga yang sudah kami training ini akan mengawal reproduksi, proses kehamilan dan kelahiran di seluruh kelurahan dan desa di Indonesia,” ujarnya.
BKKBN memastikan proses reproduksi masyarakat dapat dikawal dengan baik. Para Pendamping Keluarga ini akan mengarahkan kepada setiap penduduk selama seribu hari pertama kehidupan bayi. “Seribu hari pertama ini sangat menentukan bayi akan tumbuh stunting atau tidak. Para Pendamping Keluarga ini akan mengarahkan penduduk untuk cek status gizi, dan perkembangan bayi,” katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, sebuah desa yang berpenduduk 3.000 orang misalnya, itu akan ada 21 pernikahan setiap tahun, atau sekitar dua pernikahan setiap bulan. Pendamping Keluarga sudah mulai bekerja mendampingi pasangan yang mau menikah. “Mengecek kesehatan mereka, layak hamil atau tidak,” ujarnya.
Maka bila ingin menikmati bonus demografi pada 10 hingga 20 tahun mendatang, bangsa Indonesia harus mencegah lahirnya bayi stunting sekarang. Karena itulah pemerintah berjuang keras menciptakan Indonesia bebas stunting. Penurunan prevalensi stunting pada balita menjadi agenda utama pemerintah. Bahkan Sekretariat Wakil Presiden mengkoordinasikan upaya percepatan pencegahan stunting agar konvergen, baik pada perencanaan, pelaksanaan, termasuk pemantauan dan evaluasinya di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk desa.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memikul tanggung jawab mencegah bayi lahir stunting. Kepala BKKBN Dr. (H.C) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (4/11/2021), menuturkan strategi lembaga yang dipimpinnya dalam mencegah bayi lahir stunting. “Kami menyusun strategi berlapis untuk mencegah bayi lahir stunting. Ada faktor-faktor jauh, dan faktor-faktor dekat yang harus diatasi,” katanya.
Faktor-faktor jauh yang dimaksud Hasto adalah persoalan-persoalan yang bersifat sensitif, seperti ketersediaan air bersih, kekumuhan, rumah tidak layak huni, serta persoalan kemiskinan lainnya. Untuk mengatasi persoalan ini BKKBN berkoordinasi dan konvergen dengan lintas kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Kesehatan.
“Bila air bersih tidak tersedia, keadaan rumah kumuh, maka bayi yang lahir tidak akan sehat, sakit-sakitan. Ini bisa jadi salah satu penyebab bayi stunting,” ujarnya.
Sedangkan faktor dekat adalah masalah spacing, atau jarak kelahiran dan jarak kehamilan. Apabila jarak ini tidak bisa dijaga, maka akan jadi keniscayaan bayi yang lahir stunting. “Soal kehamilan ini kuncinya jangan terlalu muda, jangan terlalu tua, jangan terlalu sering, dan jangan terlalu banyak,” kata mantan Bupati Kulon Progo ini.
Bayi yang terlahir stunting secara fisik akan kalah dengan bayi normal demikian pula secara mental dan intelektual juga rendah dan sakit-sakitan, kardiovaskular, stroke, darah tinggi serangan jantung. “Itu semua jadi langganan akrab orang stunting. Kesimpulannya, kalau kita stunting kita jadi gak produktif, malah jadi beban,” ujarnya.
Untuk mengatasi faktor dekat ini, BKKBN membuat Program Pendamping Keluarga. Tahun depan BKKBN menerjunkan 600 ribu tenaga Pendamping Keluarga yang melekat di seluruh Indonesia. Pendamping Keluarga ini terdiri dari bidan, kader Keluarga Berencana (KB), kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) “Pendamping Keluarga yang sudah kami training ini akan mengawal reproduksi, proses kehamilan dan kelahiran di seluruh kelurahan dan desa di Indonesia,” ujarnya.
BKKBN memastikan proses reproduksi masyarakat dapat dikawal dengan baik. Para Pendamping Keluarga ini akan mengarahkan kepada setiap penduduk selama seribu hari pertama kehidupan bayi. “Seribu hari pertama ini sangat menentukan bayi akan tumbuh stunting atau tidak. Para Pendamping Keluarga ini akan mengarahkan penduduk untuk cek status gizi, dan perkembangan bayi,” katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, sebuah desa yang berpenduduk 3.000 orang misalnya, itu akan ada 21 pernikahan setiap tahun, atau sekitar dua pernikahan setiap bulan. Pendamping Keluarga sudah mulai bekerja mendampingi pasangan yang mau menikah. “Mengecek kesehatan mereka, layak hamil atau tidak,” ujarnya.