13 Kasus Pelanggaran HAM Berat Belum Tuntas, Mahfud MD: Pembuktiannya Tak Mudah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan bahwa saat ini ada 13 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum tuntas. Padahal penyelidikan beberapa kasus telah dimulai 20 tahun lalu.
Menurut Mahfud MD, penanganannya masih mandek di tahap pemberian petunjuk dari penyidik Kejaksaan kepada penyelidik Komnas HAM.
"Secara umum, penyelesaian secara yudisial menyisakan berbagai permasalahan pembuktian yang tak mudah, baik dalam penentuan pelaku lapangan maupun komandan atasan yang bertanggung jawab maupun pembuktian atas unsur-unsur perbuatan pelanggaran HAM yang berat," kata Mahfud MD dalam FGD bertajuk 'Solusi Penyelesaian Kasus Dugaan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang Masih Dalam Tahap Penyelidikan' yang digelar Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum UI, Rabu (27/10/2021).
Baca juga: 2.331 Kasus Pelanggaran HAM Diadukan Selama 2021
Mahfud MD menjelaskan, sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia yaitu "Negatief Wettelijk Stesel" sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 183 KUHP. Di dalam pasal itu, mensyaratkan terpenuhinya minimal 2 alat bukti yang sah dan keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku.
"Menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya secara maksimal atau optimal," paparnya.
Menurut Mahfud paradigma yang berkembang di masyarakat meyakini ke-13 kasus 857 sebagai peristiwa Pelanggaran HAM berat seakan-akan mengekstentifikasi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.
"Yang mana dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau yang biasa disebut dengan notoire feiten notorious, juga harus disikapi dengan cara yang bijak, benar dan berkeadilan," katanya.
Baca juga: Koalisi Sipil di Swiss Gelar Pengadilan Pelanggaran HAM Rezim Turki
Menko Polhukam berharap hasil kesimpulan FGD dapat menjadi rekomendasi strategis dan selaras dengan komitmen bersama untuk senantiasa melakukan pemajuan dan penghormatan dan perlindungan HAM. Menurut dia, hal itu sebagaimana Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM.
Menurut Mahfud MD, penanganannya masih mandek di tahap pemberian petunjuk dari penyidik Kejaksaan kepada penyelidik Komnas HAM.
"Secara umum, penyelesaian secara yudisial menyisakan berbagai permasalahan pembuktian yang tak mudah, baik dalam penentuan pelaku lapangan maupun komandan atasan yang bertanggung jawab maupun pembuktian atas unsur-unsur perbuatan pelanggaran HAM yang berat," kata Mahfud MD dalam FGD bertajuk 'Solusi Penyelesaian Kasus Dugaan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang Masih Dalam Tahap Penyelidikan' yang digelar Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum UI, Rabu (27/10/2021).
Baca juga: 2.331 Kasus Pelanggaran HAM Diadukan Selama 2021
Mahfud MD menjelaskan, sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia yaitu "Negatief Wettelijk Stesel" sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 183 KUHP. Di dalam pasal itu, mensyaratkan terpenuhinya minimal 2 alat bukti yang sah dan keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku.
"Menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya secara maksimal atau optimal," paparnya.
Menurut Mahfud paradigma yang berkembang di masyarakat meyakini ke-13 kasus 857 sebagai peristiwa Pelanggaran HAM berat seakan-akan mengekstentifikasi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.
"Yang mana dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau yang biasa disebut dengan notoire feiten notorious, juga harus disikapi dengan cara yang bijak, benar dan berkeadilan," katanya.
Baca juga: Koalisi Sipil di Swiss Gelar Pengadilan Pelanggaran HAM Rezim Turki
Menko Polhukam berharap hasil kesimpulan FGD dapat menjadi rekomendasi strategis dan selaras dengan komitmen bersama untuk senantiasa melakukan pemajuan dan penghormatan dan perlindungan HAM. Menurut dia, hal itu sebagaimana Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM.
(abd)