Menunggu Nasib Garuda 

Senin, 25 Oktober 2021 - 05:28 WIB
loading...
Menunggu Nasib Garuda 
Nasib maskapai Garuda Indonesia kini di ujung tanduk. FOTO/WAWAN BASTIAN
A A A
Maskapai Garuda Indonesia kini sedang diujung tanduk. Beban utang perusahaan yang mencapai Rp70 triliun menjadi penyebabnya.

Sebagai maskapai pelat merah yang menjadi kebanggan nasional, kondisi ini sangat disayangkan. Bagaimanapun, perusahaan penerbangan Garuda Indonesia adalah flagship kebanggan nasional yang kiprahnya dikenal di pasar global.

Namun, kebanggaan itu kini terancam hilang karena kondisi keuangan emiten berkode GIAA itu mengalami masalah pelik. Ancaman kebangkrutan pun sudah di mata. Bahkan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku pemegang saham mayoritas tampaknya mulai kewalahan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan maskapai yang berdiri sejak 1949 itu.

Masalah Garuda sejatinya bukan terjadi kali ini saja. Jauh sebelumnya, maskapai yang identik dengan warna biru itu kerap mengalami berbagai isu tak sedap. Mulai dari keterkaitan dengan kasus pembunuhan aktivitis hak azasi manusia (HAM) almarhum Munir, dugaan korupsi Emirsyah Satar saat menjabat direktur utama, lalu penyelundupan Harley Davidson dan sepeda lipat Brompton di zaman Ari Ashkara menjabat direktur utama. Tiga tahun lalu, Garuda juga dihebohkan dengan laporan keuangan yang memasukkan piutang perusahaan sebagai pendapatan.

Kondisi yang dialami Garuda saat ini bisa jadi merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang terjadi sebelumnya. Sehingga, ini bisa menjadi pelajaran pahit agar bagaimana sebuah BUMN mampu memberikan manfaat dan berkontribusi kepada negara dan masyarakat lebih luas.

Dengan sederet fakta-fakta tersebut, pantas kiranya jika Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmojo menyatakan bahwa beban Garuda terlalu besar sehingga opsi likuidasi bisa ditempuh jika restrukturisasi utang menemui jalan buntu. Menurutnya, suntikan modal pemerintah melalui Penyertaan Modal Negata (PMN) yang lazim diberikan kepada perusahaan BUMN pun bakal tak sanggup menutupi persoalan karena nilai utangnya terlalu besar.

Memang, dalam upaya perbaikan kinerja keuangannya Garuda terus berupaya melakukan restrukturisasi kepada para kreditur dan perusahaan yang menyewakan pesawat (lessor). Namun, hingga saat ini belum ada informasi sejauh mana langkah tersebut membuahkan hasil.

Opsi lain yang menyeruak adalah membubarkan Garuda untuk kemudian digantikan oleh Pelita Air Service, yang notabene sama-sama perusahaan BUMN. Namun, langkah ini pun tentu bukan perkara mudah karena otomatis harus memberdayakan perusahaan induk Pelita Air yakni Pertamina untuk memberikan perhatian lebih kepada Pelita Air termasuk urusan permodalan guna menambah armada dan mewujudkannya menjadi penerbangan berjadwal.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Irfan Setiaputra mengakui, fokus perusahaan saat ini adalah pada restrukturisasi utang yang sudah dijalankan sejak beberapa bulan sebelumnya. Irfan optimistis dengan sinyal positif industri penerbangan di masa pemulihan pandemi yang mulai terkendali.

Menurutnya, kembali dibukanya sektor pariwisata menjadi momentum dalam upaya perbaikan kinerja maskapai kebanggaan nasional itu.

Sesungguhnya masalah di BUMN tak hanya terjadi di Garuda Indonesia. Sejumlah BUMN karya pun tak luput dari persoalan utang dan buruknya kinerja keuangan.

Perihal ini, sejumlah kalangan termasuk DPR pun turut bersuara. Berbagai usulan pun muncul termasuk membubarkan perusahaan pelat merah yang kinerjanya melempem dan berpotensi membebani keuangan negara.

Kini, apapun langkah yang diambil oleh pemerintah untuk memperbaikin kinerja BUMN seyogianya harus mampu memberikan manfaat bagi masyarakat. Yang juga penting adalah jangan ada lagi pihak yang justru memanfaatkan perusahaan BUMN hanya untuk kepentingan pribadi dan menambah pundi-pundi kelompoknya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1380 seconds (0.1#10.140)