Sosok Jenderal Bintang 5 di Indonesia, Diberi Penghargaan karena Jasa-jasanya
loading...
A
A
A
Selama kepemimpinannya, Soedirman menghadapi Agresi Militer Belanda I dan upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1948. Tidak hanya itu, Soedirman juga menghadapi Agresi Militer Belanda II. Bersama pasukannya, Soedirman melakukan perlawanan dan berhasil mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa. Termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin Letkol Soeharto di Yogyakarta. Perlawanan ini berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada.
Sayangnya, penyakit TBC yang diidapnya memaksa Soedirman pensiun dan pindah ke Magelang. Satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Soedirman wafat. Soedirman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
“Jenderal Besar TNI Soedirman dengan berbagai keputusan yang diambil tersebut memberikan kepada generasi-generasi TNI berikutnya suatu warisan yang tangguh dan tidak ternilai harganya, yaitu suatu tradisi kepemimpinan yang heroik, penuh kepahlawanan dan keteladanan. Dengan kepedulian dan sikap yang dipilih beliau tersebut dapat dilihat landasan harga diri dan kebanggaan TNI untuk generasi-generasi pemimpin berikutnya.
Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah suatu sikap dan tindakan pemimpin prajurit sejati. Dari situlah lahir tradisi TNI yang tidak kenal menyerah, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau keompok, yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa,” tulis Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam bukunya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan Dari Pengalaman Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto”
Jenderal Besar TNI A.H Nasution
Mengawali karirnya sebagai guru, pria kelahiran Tapanuli Selatan pada 3 Desember 1918 ini merupakan tokoh militer yang banyak berjasa dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara ini. Selama meniti karirnya di militer, Nasution dianggap sebagai peletak dasar perang gerilya melawan Belanda saat memimpin pasukan Siliwangi melawan Agresi Militer Belanda I.
Setelah Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Nasution bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Mei 1946, Nasution diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Taktik gerilya yang disusun Nasution karena menyadari tidak mungkin tentara Indonesia melawan Belanda yang memiliki kekuatan lebih besar dengan persenjataan yang lebih modern. Strateginya berhasil membuat Belanda dan sekutunya harus menelan kekalahan. Pemikiran dan gagasannya mengenai perang gerilya yang dituangkan dalam buku berjudul “Pokok-Pokok Gerilya” kemudian menjadi referensi bagi kalangan militer di dunia.
Tidak hanya itu, Nasution juga merupakan salah satu tokoh Angkatan Darat (AD) yang menjadi sasaran penculikan dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Beruntung, Nasution berhasil lolos setelah meloncati tembok rumah. Sayangnya, putrinya bernama Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu Pierre Tendean gugur.
Nasution juga merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada 1958. Konsep itu kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, namun pada saat yang sama, tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.
Sayangnya, penyakit TBC yang diidapnya memaksa Soedirman pensiun dan pindah ke Magelang. Satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Soedirman wafat. Soedirman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
“Jenderal Besar TNI Soedirman dengan berbagai keputusan yang diambil tersebut memberikan kepada generasi-generasi TNI berikutnya suatu warisan yang tangguh dan tidak ternilai harganya, yaitu suatu tradisi kepemimpinan yang heroik, penuh kepahlawanan dan keteladanan. Dengan kepedulian dan sikap yang dipilih beliau tersebut dapat dilihat landasan harga diri dan kebanggaan TNI untuk generasi-generasi pemimpin berikutnya.
Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah suatu sikap dan tindakan pemimpin prajurit sejati. Dari situlah lahir tradisi TNI yang tidak kenal menyerah, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau keompok, yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa,” tulis Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam bukunya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan Dari Pengalaman Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto”
Jenderal Besar TNI A.H Nasution
Mengawali karirnya sebagai guru, pria kelahiran Tapanuli Selatan pada 3 Desember 1918 ini merupakan tokoh militer yang banyak berjasa dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara ini. Selama meniti karirnya di militer, Nasution dianggap sebagai peletak dasar perang gerilya melawan Belanda saat memimpin pasukan Siliwangi melawan Agresi Militer Belanda I.
Setelah Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Nasution bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Mei 1946, Nasution diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Taktik gerilya yang disusun Nasution karena menyadari tidak mungkin tentara Indonesia melawan Belanda yang memiliki kekuatan lebih besar dengan persenjataan yang lebih modern. Strateginya berhasil membuat Belanda dan sekutunya harus menelan kekalahan. Pemikiran dan gagasannya mengenai perang gerilya yang dituangkan dalam buku berjudul “Pokok-Pokok Gerilya” kemudian menjadi referensi bagi kalangan militer di dunia.
Tidak hanya itu, Nasution juga merupakan salah satu tokoh Angkatan Darat (AD) yang menjadi sasaran penculikan dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Beruntung, Nasution berhasil lolos setelah meloncati tembok rumah. Sayangnya, putrinya bernama Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu Pierre Tendean gugur.
Nasution juga merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada 1958. Konsep itu kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, namun pada saat yang sama, tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.