Moderasi Beragama di Kampus
loading...
A
A
A
Berdasar itu, paparan buku SI mesti menyorongkan jawaban atau ikut berupaya meng-counter corak-corak paham radikal. Selain tentunya memaparkan kajian Alquran dan Hadis, konten buku-buku SI juga perlu kiranya menjelaskan kerangka teoritik bahwa ajaran agama tidak lagi hanya bisa dilihat melalui satu-dua keilmuan (halaman: 175). Menafsirkan Alquran selain harus mumpuni bersastra Arab dan keilmuan agama, juga sudah waktunya melibatkan keilmuan lain macam sosiologi, psikologi, antropologi.
baca juga: Resensi Buku Lagi Probation: Menikmati Susahnya Mencari Kerja
Dari tamsil semacam ini, kiranya mahasiswa bakal menyimpulkan bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi ustaz, dai, penceramah. Sehingga, mahasiswa tidak lekas mudah melabelkan seseorang menjadi panutan beragama sekadar cakap bicara dan berbusana “religi”. Pun, menjadikan mahasiswa menyadari bahwa agama tidak bisa disejajarkan layaknya ilmu eksakta. Mengapa? Lantaran agama bersifat luwes dan lentur. Agama menyediakan seribu pintu, seribu tafsiran. Dengan kata lain, masuk melewati pintu A, tidak berarti keliru; sementara pintu B teranggap paling sahih. Bahkan, seribu pintu tersebut bisa dianggap sebagai keseluruhan “kebenaran”.
baca juga: Sekjen INASGOC Luncurkan Buku The Art of Asian Games: Great Team, Great Leader
Penekanan tersebut kiranya terbilang tepat bila dikaitkan untuk meredam bibit ekstremisme yang bertipologi memandang sebuah ayat/dalil berdasar apa yang tertulis, tekstualis. Terpenting lagi kandungan buku-buku mata kuliah SI selayaknya menyorongkan kemampuan mahasiswa menangkap esensi ajaran Islam berupa kemudahan dalam menjalani praktik beragama dan selalu mengedepankan keluhuran budi (halaman: 44).
Kehadiran buku Pengantar Studi Islam ini, selain sebagai referensi mahasiswa mengambil mata kuliah SI, senyatanya turut menguar pentingnya moderasi beragama; kala agama tidak dimonopoli oleh pemahaman satu mazhab/firqah. Nilai-nilai keberagaman itulah yang mestinya akan memunculkan sikap penghormatan satu sama lain. Walhasil, prinsip yang mesti dipegang seorang mahasiswa adalah tidak merasa mazhabnya/aliran keagamaannya/ormasnya menjadi paling benar sembari menyalahkan corak keberagamaan pihak lain.
baca juga: Kamu Merasa Cowok Fashionable? 5 Buku Ini Wajib Dibaca!
Pembabakan penting buku ini juga menibakan pemahaman atas transmisi keilmuan (sanad). Dengan kata lain, tidak tepat bila studi keislaman dimaknai belajar langsung dari Alquran dan Hadis. Butuh seperangkat dan aneka keilmuan yang menyertainya. Pun, peranan ilmuwan muslim (ulama) itu sendiri sebagai rantai transmisi dari Nabi Muhammad Saw hingga hari ini. Walhasil, bakal kontraproduktif manakala bercakap-paham Islam sekadar dari kegiatan membaca terjemahan Alquran maupun Hadis.
Fase usia mahasiswa merupakan fase pencarian jati diri; termasuk babakan agama. Salah pijakan, bakal jatuh terperosok pada kubangan radikalisme dan eksklusivitas beragama. Walhasil, mata kuliah SI dan atau sejenisnya senyatanya berada di garis depan dan oleh karenanya, muatan di dalam mata kuliah tersebut mestinya mengkampanyekan inklusivitas dan toleransi. Sehingga civitas kampus menjadi sebenar-benar agen perubahan; dari fanatik mazhab menuju moderasi beragama. Wallahu a’lam
Judul : Pengantar Studi Islam
baca juga: Resensi Buku Lagi Probation: Menikmati Susahnya Mencari Kerja
Dari tamsil semacam ini, kiranya mahasiswa bakal menyimpulkan bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi ustaz, dai, penceramah. Sehingga, mahasiswa tidak lekas mudah melabelkan seseorang menjadi panutan beragama sekadar cakap bicara dan berbusana “religi”. Pun, menjadikan mahasiswa menyadari bahwa agama tidak bisa disejajarkan layaknya ilmu eksakta. Mengapa? Lantaran agama bersifat luwes dan lentur. Agama menyediakan seribu pintu, seribu tafsiran. Dengan kata lain, masuk melewati pintu A, tidak berarti keliru; sementara pintu B teranggap paling sahih. Bahkan, seribu pintu tersebut bisa dianggap sebagai keseluruhan “kebenaran”.
baca juga: Sekjen INASGOC Luncurkan Buku The Art of Asian Games: Great Team, Great Leader
Penekanan tersebut kiranya terbilang tepat bila dikaitkan untuk meredam bibit ekstremisme yang bertipologi memandang sebuah ayat/dalil berdasar apa yang tertulis, tekstualis. Terpenting lagi kandungan buku-buku mata kuliah SI selayaknya menyorongkan kemampuan mahasiswa menangkap esensi ajaran Islam berupa kemudahan dalam menjalani praktik beragama dan selalu mengedepankan keluhuran budi (halaman: 44).
Kehadiran buku Pengantar Studi Islam ini, selain sebagai referensi mahasiswa mengambil mata kuliah SI, senyatanya turut menguar pentingnya moderasi beragama; kala agama tidak dimonopoli oleh pemahaman satu mazhab/firqah. Nilai-nilai keberagaman itulah yang mestinya akan memunculkan sikap penghormatan satu sama lain. Walhasil, prinsip yang mesti dipegang seorang mahasiswa adalah tidak merasa mazhabnya/aliran keagamaannya/ormasnya menjadi paling benar sembari menyalahkan corak keberagamaan pihak lain.
baca juga: Kamu Merasa Cowok Fashionable? 5 Buku Ini Wajib Dibaca!
Pembabakan penting buku ini juga menibakan pemahaman atas transmisi keilmuan (sanad). Dengan kata lain, tidak tepat bila studi keislaman dimaknai belajar langsung dari Alquran dan Hadis. Butuh seperangkat dan aneka keilmuan yang menyertainya. Pun, peranan ilmuwan muslim (ulama) itu sendiri sebagai rantai transmisi dari Nabi Muhammad Saw hingga hari ini. Walhasil, bakal kontraproduktif manakala bercakap-paham Islam sekadar dari kegiatan membaca terjemahan Alquran maupun Hadis.
Fase usia mahasiswa merupakan fase pencarian jati diri; termasuk babakan agama. Salah pijakan, bakal jatuh terperosok pada kubangan radikalisme dan eksklusivitas beragama. Walhasil, mata kuliah SI dan atau sejenisnya senyatanya berada di garis depan dan oleh karenanya, muatan di dalam mata kuliah tersebut mestinya mengkampanyekan inklusivitas dan toleransi. Sehingga civitas kampus menjadi sebenar-benar agen perubahan; dari fanatik mazhab menuju moderasi beragama. Wallahu a’lam
Judul : Pengantar Studi Islam