Yusril Gugat AD/ART Demokrat ke MA, Pakar Hukum: Secara Ketatanegaraan Mustahil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar angkat suara soal keterangan Menko Polhukam Mahfud MD soal putusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang tidak berlaku surut dalam memutus uji materiil. Hal ini terkait gugatan AD/ART Partai Demokrat yang dilayangkan Yusril Ihza Mahendra ke MA.
Zainal membenarkan adanya pernyataan dari Mahfud tersebut lantaran putusan hakim MA dalam uji materiil bersifat pasti. Namun, dirinya tidak mengelak jika hakim mempunyai keputusan yang berbeda.
“Kalaupun misalnya (gugatan) diterima toh itu berlaku ke depan, saya enggak tahu kecuali hakimnya memberlakukan surut,” ujar Zainal ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Kamis (30/09/2021).
“Tapi pada dasarnya keputusan Judicial Review itu bersifat pasti. Tapi, kalau ternyata itu ada implikasi ke belakang, terpaksa biasanya diatur oleh hakim,” sambungnya.
Pria yang kerap disapa Uceng tersebut juga memberikan contoh. Misalnya ada seorang terpidana mati lalu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa hukuman mati tersebut melanggar HAM, lalu MK pun menerima logika dari pemohon.
“Masa MK bilang ‘biarkan Anda mati dahulu nanti ke depan baru tidak boleh hukuman mati’, padahal pemohonnya dia sendiri. Jadi walaupun pada dasarnya Judicial Review berlaku ke depan tapi ada kemungkinan dengan pertimbangan tertentu itu diberlakukan surut,” jelas Zainal.
Meskipun begitu, Zainal tetap menyoroti adanya perdebatan yang bisa muncul dari gugatan yang dilakukan Yusril ihza Mahendra ke MA. Menurut Zainal, secara ketatanegaraan itu merupakan hal yang mustahil.
“Yang pertama secara ketatanegaraan mustahil untuk menyamakan AD/ART dengan peraturan perundang-undangan, kan yang bisa dibawa ke Mahkamah Agung itu adalah peraturan perundang-undangan, AD/ART itu bukan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
“AD/ART itu konstitusi bagi partai, internal partai,” tuturnya lagi.
Zainal juga menyampaikan bahwa sebuah peraturan itu dibuat oleh lembaga negara. Oleh sebabnya bagaimana mungkin partai itu dianggap sebagai lembaga negara.
“Jadi kalau mengeluarkan peraturan itukan harus lembaga negara, ada otoritas. Bagaimana mungkin, partai disebut sebagai lembaga negara, partai itu bukan lembaga negara,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Zainal sekaligus menanggapi pernyataan Mahfud yang mengatakan gugatan tersebut merupakan ‘terobosan baru’. Menurutnya, perkataan Mahfud sebagaimana terobosan baru mengartikan bahwa AD/ART secara logika harus disamakan dahulu oleh peraturan perundang-undangan.
“Barangkali yang dimaksudkan Pak Mahfud AD/ART dianggap sebagai peraturan perundang-undangan, itu jelas terobosan. Terlepas dari benar atau tidak, saya sendiri mengatakan itu tidak,” katanya.
“Jadi yang paling mendasar adalah bisakah dilogikakan bahwa yang namanya AD/ART itu adalah peraturan perundang-perundangan,” tutupnya.
Zainal membenarkan adanya pernyataan dari Mahfud tersebut lantaran putusan hakim MA dalam uji materiil bersifat pasti. Namun, dirinya tidak mengelak jika hakim mempunyai keputusan yang berbeda.
“Kalaupun misalnya (gugatan) diterima toh itu berlaku ke depan, saya enggak tahu kecuali hakimnya memberlakukan surut,” ujar Zainal ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Kamis (30/09/2021).
“Tapi pada dasarnya keputusan Judicial Review itu bersifat pasti. Tapi, kalau ternyata itu ada implikasi ke belakang, terpaksa biasanya diatur oleh hakim,” sambungnya.
Pria yang kerap disapa Uceng tersebut juga memberikan contoh. Misalnya ada seorang terpidana mati lalu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa hukuman mati tersebut melanggar HAM, lalu MK pun menerima logika dari pemohon.
“Masa MK bilang ‘biarkan Anda mati dahulu nanti ke depan baru tidak boleh hukuman mati’, padahal pemohonnya dia sendiri. Jadi walaupun pada dasarnya Judicial Review berlaku ke depan tapi ada kemungkinan dengan pertimbangan tertentu itu diberlakukan surut,” jelas Zainal.
Meskipun begitu, Zainal tetap menyoroti adanya perdebatan yang bisa muncul dari gugatan yang dilakukan Yusril ihza Mahendra ke MA. Menurut Zainal, secara ketatanegaraan itu merupakan hal yang mustahil.
“Yang pertama secara ketatanegaraan mustahil untuk menyamakan AD/ART dengan peraturan perundang-undangan, kan yang bisa dibawa ke Mahkamah Agung itu adalah peraturan perundang-undangan, AD/ART itu bukan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
“AD/ART itu konstitusi bagi partai, internal partai,” tuturnya lagi.
Zainal juga menyampaikan bahwa sebuah peraturan itu dibuat oleh lembaga negara. Oleh sebabnya bagaimana mungkin partai itu dianggap sebagai lembaga negara.
“Jadi kalau mengeluarkan peraturan itukan harus lembaga negara, ada otoritas. Bagaimana mungkin, partai disebut sebagai lembaga negara, partai itu bukan lembaga negara,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Zainal sekaligus menanggapi pernyataan Mahfud yang mengatakan gugatan tersebut merupakan ‘terobosan baru’. Menurutnya, perkataan Mahfud sebagaimana terobosan baru mengartikan bahwa AD/ART secara logika harus disamakan dahulu oleh peraturan perundang-undangan.
“Barangkali yang dimaksudkan Pak Mahfud AD/ART dianggap sebagai peraturan perundang-undangan, itu jelas terobosan. Terlepas dari benar atau tidak, saya sendiri mengatakan itu tidak,” katanya.
“Jadi yang paling mendasar adalah bisakah dilogikakan bahwa yang namanya AD/ART itu adalah peraturan perundang-perundangan,” tutupnya.
(kri)