Skema Feed-in Tariff Memberatkan, Pengamat Ini Beberkan Kelemahannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diketahui menyiapkan skema feed-in tariff di Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) sebagai insentif bagi investor untuk mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Skema ini mematok harga listrik dari pembangkit EBT di awal kontrak yang tujuannya memberi kepastian bagi investor.
Kendati tujuannya sebagai insentif dapat dimaklumi, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengingatkan bahwa ada kelemahan pada skema ini. Kelemahan tersebut, kata dia, pertama adalah bahwa skema feed-in tariff akan memberatkan PLN sebagai offtaker listrik swasta karena membeli dengan harga yang sudah ditetapkan.
Kedua, skema ini akan kembali kepada negara dalam hal ini Pemerintah yang akan membayar selisih harga tersebut. Namun, imbuh Mamit, permasalahannya adalah pemerintah tidak bisa membayar tepat waktu kepada PLN. "Jadi memang sedikit banyak akan memberatkan bagi PLN dan ke depannya dam juga akan memberatkan Pemerintah sendiri," ujarnya, Selasa (28/9/2021).
Karena itu, dalam hal ini dia berharap Pemerintah mempertimbangkan kondisi keuangan negara dan juga masyarakat. Jangan sampai pengembangan EBT ke depan malah berdampak pada kenaikan tarif listrik yang cukup signifikan. "Transisi energi adalah keniscayaan, pasti terjadi. Tetapi kita juga harus melihat kondisi perekonomian dari masyarakat dan kondisi keuangan negara. Jangan sampai nanti akhirnya justru akan memberatkan banyak pihak terkait hal ini," kata Mamit.
Dia menambahkan, Pemerintah juga tidak bisa membebankan tarif listrik kepada masyarakat di tengah kondisi akibat pandemi saat ini. "Saya kira masih ada opsi-opsi lain yang bisa dibicarakan tanpa harus ada feed-in tariff ini. Tetapi bagi pengusaha, skema feed-in tariff ini memang tercepat bagi mereka dalam perhitungannya," tandasnya. CM
Kendati tujuannya sebagai insentif dapat dimaklumi, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengingatkan bahwa ada kelemahan pada skema ini. Kelemahan tersebut, kata dia, pertama adalah bahwa skema feed-in tariff akan memberatkan PLN sebagai offtaker listrik swasta karena membeli dengan harga yang sudah ditetapkan.
Kedua, skema ini akan kembali kepada negara dalam hal ini Pemerintah yang akan membayar selisih harga tersebut. Namun, imbuh Mamit, permasalahannya adalah pemerintah tidak bisa membayar tepat waktu kepada PLN. "Jadi memang sedikit banyak akan memberatkan bagi PLN dan ke depannya dam juga akan memberatkan Pemerintah sendiri," ujarnya, Selasa (28/9/2021).
Karena itu, dalam hal ini dia berharap Pemerintah mempertimbangkan kondisi keuangan negara dan juga masyarakat. Jangan sampai pengembangan EBT ke depan malah berdampak pada kenaikan tarif listrik yang cukup signifikan. "Transisi energi adalah keniscayaan, pasti terjadi. Tetapi kita juga harus melihat kondisi perekonomian dari masyarakat dan kondisi keuangan negara. Jangan sampai nanti akhirnya justru akan memberatkan banyak pihak terkait hal ini," kata Mamit.
Dia menambahkan, Pemerintah juga tidak bisa membebankan tarif listrik kepada masyarakat di tengah kondisi akibat pandemi saat ini. "Saya kira masih ada opsi-opsi lain yang bisa dibicarakan tanpa harus ada feed-in tariff ini. Tetapi bagi pengusaha, skema feed-in tariff ini memang tercepat bagi mereka dalam perhitungannya," tandasnya. CM
(ars)