Teror Diskusi UGM, Elsam Minta Bebaskan Kampus dari Represi

Senin, 01 Juni 2020 - 18:13 WIB
loading...
Teror Diskusi UGM, Elsam Minta Bebaskan Kampus dari Represi
Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Foto/dok Okezone
A A A
JAKARTA - Ancaman dan intimidasi terhadap penyelenggaraan diskusi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) masih mendapat sorotan publik. Berbagai kecaman dilontarkan terhadap aksi teror tersebut.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) meminta agar pemerintah menjamin kampus bebas dari represi. Hal ini dikaitkan karena adanya tuduhan makar melalui rencana diskusi tersebut. Dugaan itu dinilai tak sesuai dengan ketentuan hukum.

“Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 28/PUU-IV/2017 bahwa makar dan pemberontakan yang diatur Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP harus dimaknai tidak sampai mengganggu kebebasan publik,” papar Deputi Direktur Advokasi Elsam, Andi Muttaqien kepada SINDOnews, Senin (1/6/2020).( )

Terlebih lagi, lanjut Andi, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik. Hal itu tegas diakui oleh negara yang tertuang secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum di Bologna, 18 September 1988.

“Tuduhan makar dan tindakan intimidasi di atas melukai penikmatan hak setiap orang untuk berpendapat, serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi demi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya seperti yang tertuang dalam Pasal 28E Ayat 3 dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,” paparnya.

Dia juga merujuk pada sikap Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Di dalam Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik tersebut, negara menjamin setiap orang untuk berpendapat tanpa intervensi dan berekspresi, termasuk menerima dan mengolah informasi dalam berbagai media.

Andi menilai, penyelenggara dan narasumber adalah bagian dari entitas pendidikan tinggi yang pada marwahnya berperan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Akademisi dan peserta pendidikan tinggi sebagai sivitas akademika dilindungi dan dijamin oleh negara untuk penikmatan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.

Hal ini diatur dalam Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang No.12 Tahun 2020 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti. Artinya, setiap topik yang diangkat dalam mimbar akademik merupakan bagian dari strategi pengembangan ilmu pengetahuan.

“CLS sebagai sivitas akademika FH UGM dan narasumber sebagai sivitas akademika FH UII dapat dengan bebas untuk membahas persoalan impeachment terhadap pemimpin negara dan pemerintahan karena menggunakan basis keilmuan hukum tata negara,” ujarnya.

Karena itu, Andi mendesak agar Polda Yogyakarta menyelidiki peristiwa intimidasi tersebut. Termasuk juga menyelidiki peretasan perangkat telepon milik penyelenggara, dosen dan para pihak terkait yang diteror.

Andi juga meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk memastikan kebebasan mimbar akademik merupakan bagian dari strategi pengembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai informasi, diskusi yang diselenggarakan Constitutional Law Society (CLS) FH UGM sempat menuai polemik lantaran terkait dengan tema yang diusung. Awalnya diskusi ini mengangkat tema "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan". Kemudian, diubah menjadi ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’.

Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) itu rencananya dihelat secara virtual pada Jumat (29/5/2020). Alih-alih terlaksana, kegiatan itu justru dibatalkan karena muncul berbagai teror dan intimidasi kepada panitia penyelenggara serta narasumber.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1163 seconds (0.1#10.140)